IBADAH LAHIR DAN
BATHIN ?
وَمَاخَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.( QS Adz-Dzaariyat : 56.)
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan
selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
(QS. Al Ahzab: 21).
Juga
didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”
(HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan
ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Begitu pula
dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama.
Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no.
46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Muqaddimah
وَمَاخَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS Adz-Dzaariyat : 56.
Ayat ini menegaskan tentang tujuan diciptakannya
jin dan manusia di muka bumi ini, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Makna ibdah
dalam pengertian yang komprehensif disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu
Taimiyah, beliau menyebutkan :
العبادة
هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah
adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Alloh dan
yang diridhaiNya berupa perkataan atau perbuatan baik yang berupa amalan batin
ataupun yang dhahir (nyata).
KESALAH fahaman
terhadap ilmu tasawuf yang melahirkan tuduhan sesat biasanya bersumber dari
ketiada fahaman tentang hakikat tasawuf yang terkait dengan syariah. Anggapan
keliru yang beredar, kaum sufi tidak terlalu taat pada syariah, bahkan ada ang
menafikan syariah.
Padahal,
mempraktikkan syariah pada taraf sempurna itulah akan ditemukan intisari
tasawuf. Syariah yang dijalankan dengan sempurna itu tidak sekedar hukum
dzahir, tapi juga mementingkan fiqih batin.
Maka,
tasawuf yang sebenar merupakan praktik dari syariah itu pada tingkat yang
sempurna (ihsan), dzahir dan batin. Antara syariah dan tasawuf memiliki kaiatan
erat yang tiada dapat dipisah. Jika dipisah, maka Islam menjadi tidak sempurna.
Karena itu,
Prof. Syed Naquib al-Attas memberi pengertian bahwa tasawuf merupakan
pengamalan syariah dalam bentuk yang sempurna dan berasaskan ilmu; ilmu tentang
syariah yang hendak diamalkan dan ilmu tentang kepada siapa dank arena siapa
amal ibadah diamalkan
Ibadah Menurut
Sufi ?
Menurut ulama sufi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah, keikhlasan itu terbagi menjadi 3 derajat:
Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap pahala surga dan takut pada siksa neraka.
Kedua, beribadah kepada Allah untuk menghormati-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya.
Ketiga, beribadah kepada Allah demi Dia bukan karena mengharap surga-Nya dan bukan karena takut neraka-Nya.
Yang ketiga inilah derajat ikhlas yang tertinggi. Karena, ia merupakan derajat ikhlasnya para siddiqin yaitu orang yang mencacapi keimanan tingkat tinggi.
Dalam ungkapan lain dari ulama sufi disebutkan bahwa orang yang beribadah kerena takut neraka maka itu keikhlasan seorang budak. Sedang yang beribadah karena mengharap surga, maka disebut keikhlasan seorang pedagang.[1]
Menurut ulama sufi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah, keikhlasan itu terbagi menjadi 3 derajat:
Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap pahala surga dan takut pada siksa neraka.
Kedua, beribadah kepada Allah untuk menghormati-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya.
Ketiga, beribadah kepada Allah demi Dia bukan karena mengharap surga-Nya dan bukan karena takut neraka-Nya.
Yang ketiga inilah derajat ikhlas yang tertinggi. Karena, ia merupakan derajat ikhlasnya para siddiqin yaitu orang yang mencacapi keimanan tingkat tinggi.
Dalam ungkapan lain dari ulama sufi disebutkan bahwa orang yang beribadah kerena takut neraka maka itu keikhlasan seorang budak. Sedang yang beribadah karena mengharap surga, maka disebut keikhlasan seorang pedagang.[1]
Ibadah Menurut
Ulama ?
Beribadah karena cinta pada Allah, seperti pandangan ualam sufi di atas, tidak salah. Akan tetapi mencintai Allah bukan satu-satunya induk yang memotivasi seseorang untuk beribadah dan beramal. Seperti disinggung di muka, beribadah karena berharap pahala, dan karena takut neraka juga termasuk ibadah.
Beribadah karena cinta pada Allah, seperti pandangan ualam sufi di atas, tidak salah. Akan tetapi mencintai Allah bukan satu-satunya induk yang memotivasi seseorang untuk beribadah dan beramal. Seperti disinggung di muka, beribadah karena berharap pahala, dan karena takut neraka juga termasuk ibadah.
Tujuan Ibadah ?
Dalil tujuan ibadah menurut Al-Quran adalah sebagai berikut:
1. QS Al-A'raf 7:55 ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً
Artinya: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
2. QS Al-Anbiya' 21:90 إِنَّهُـمْ كَـانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَ يَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُـوا لَنَا خَاشِعِيـنَ
Artinya: Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.
3. QS Al-Anbiya' 21:28 وَهُم مِّنْ خَشْيَتِـهِ مُشْفِقُــونَ
Artinya: .. dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.
4. QS An-Nahl 16:50 يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِــمْ وَيَفْعَلُــونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).
Dalil tujuan ibadah menurut Al-Quran adalah sebagai berikut:
1. QS Al-A'raf 7:55 ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً
Artinya: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
2. QS Al-Anbiya' 21:90 إِنَّهُـمْ كَـانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَ يَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُـوا لَنَا خَاشِعِيـنَ
Artinya: Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.
3. QS Al-Anbiya' 21:28 وَهُم مِّنْ خَشْيَتِـهِ مُشْفِقُــونَ
Artinya: .. dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.
4. QS An-Nahl 16:50 يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِــمْ وَيَفْعَلُــونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).
Makna Ibadalah
dalam Tasawuf ?
yaitu Tasawuf
yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru
al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah
(Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru
al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan
sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu:
1) Tingkatan orang-orang biasa
(Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama.
2) Tingkatan orang-orang istimewa
(Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua.
3) Tingkatan orang-orang yang
teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan
pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan
kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga
dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).
Dalam Fiqh,
diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya
suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi
Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat
ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama
Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya
Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:
1) Taharah yang sifatnya
mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis.
2) Taharah yang sifatnya
mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa.
3) Taharah yang sifatnya
mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.
4) Taharah yang sifatnya
mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri
persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat
rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering
disebut Ilmu Zahir.
Ikhtitam
لَّقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ
وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ
“Sesungguhnya
pada diri Rasulullah ada contoh tauladan yang baik orang yang berharap
kepada Allah dan hari akhir.” (Qs. Al Ahzaab : 21)
Syekh Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa
siapapun ditaklif (dibebani menjalankan) syari’at. Tidak ada perbedaan antara santri, kiai, awam
dan wali. Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban
syari’at. Apabila ada yang mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti
hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak
perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Subhahu Wata’ala wajib menjalankan
seluruh amal dzahir dan batin (Hasyim ‘Asy’ari, al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara,
hal. 6).
Syekh
al-Junaid al-Baghdadi, guru besar para sufi, memperingatkan kemunculan
orang-orang jahil yang memakai ‘baju tasawuf’ yang palsu dengan menggugurkan
kewajiban syariat ini. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat
tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu
Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’,
hal. 386).
Sumber:1.http://www.hidayatullah.com 2.http://santriblarah.blogspot.com
3.http://www.alkhoirot.net
Jakarta 3/8/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar