WANITA BERHAJI
TANPA MAHRAM ?
لا تسافر امرأة
فوق ثلاث إلا مع زوج أو محرم
`Tidak halal
bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya`. (HR Muttafaq ‘alaihi)
لا يحل لامرأة
تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر سفرا فوق ثلاث إلا مع ذي محرم أو زوج متفق عليه
Tidak halal
bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian
lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya. (HR Muttafaq ‘alaihi)
Dalil larangan bepergian tanpa mahram ?
Dalil pokok seorang istri menunaikan haji
tanpa suami atau mahramnya adalah tidak boleh berdasarkan hadis Nabi dari Ibnu
Umar: “Haram atas wanita Islam yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan
bepergian sendiri tanpa laki-laki mahramnya selama perjalanan tiga malam” (HR
Muslim).
Demikian
juga hadis lain dari Ibnu Abbas: “Jangan seorang wanita bersafar, melainkan ia
bersafar bersama mahramnya” (HR Bukhari-Muslim).
Seorang sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji dan aku berkewajiban untuk berperang ini dan itu.” Maka, Nabi SAW bersabda, “Pergi hajilah bersama istrimu” (HR Bukhari-Muslim).
Akan tetapi, ternyata dalam praktiknya para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Hal ini dikaitkan dengan memaknai kata istitho’ah sebagai syarat untuk berhaji. Seorang wanita menjadi wajib menunaikan ibadah haji jika ia istitho’ah atau mampu, salah satu kemampuan itu adalah adanya mahram.
Ulama Hanafiyah dan Hambali bersikukuh pada hadis-hadis di atas sebagai sandaran ketidakbolehan seorang wanita berangkat haji tanpa mahram. Ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah lebih berpendapat membolehkan asal ada kondisi yang memungkinkan.
Mahram tersebut bukan tiada, melainkan diganti. Ulama Syafi’iyah menyatakan, jika ada para wanita yang tsiqah dua atau lebih yang memberikan rasa aman, maka hal itu cukup sebagai pengganti mahram atau suami.
Pandangannya adalah “yang paling tepat tidak disyaratkan adanya mahram bagi para wanita tersebut. Sudah cukup sebenarnya jika sudah ada jamaah yang jumlahnya banyak”. Ulama Malikiyah pada prinsipnya membolehkan dan mengatakan, “Jika mereka tidak menemukan mahram atau pasangan (suami yang menemani), maka ia boleh bersafar untuk haji wajib selama berada bersama sama dengan orang-orang (wanita atau pria) yang memberikan rasa aman.”
Ibnu Thaimiyah, juga Ibnu Muflih, menyatakan, “Seorang wanita bisa melakukan haji tanpa mahram selama dia aman.” Al-Athram menyampaikan bahwa Imam Ahmad berkata, “Memiliki mahram bukan merupakan syarat untuk haji yang wajib, ini adalah karena seorang perempuan dapat pergi haji bersama perempuan lain dan juga dengan siapa pun yang memberi rasa aman.” Ibnu Sirin menyatakan, “Ia harus pergi dengan Muslim yang baik.”
Imam Bukhari dalam kitab sahihnya menyatakan bahwa Umar RA memberi izin kepada istri-istri Nabi SAW untuk melakukan ibadah haji. Dia mengirim Utsman Bin Affan dan Abdurrahman untuk menemani mereka.
Mereka yang membolehkan pergi haji tanpa mahram juga bersandarkan pada hadis Nabi dari Adiy Ibn Hatim “… kamu pasti akan melihat bahwa seorang wanita akan berjalan dari Hira menuju Makkah tanpa suaminya selain dia takut hanya kepada Allah....” (HR Bukhari-Muslim).
Terhadap haji yang sunah, maka ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan atau terlarangnya wanita atau istri pergi menunaikan ibadah haji tanpa didampingi suami atau mahramnya.
Demikian hukum fikih berkaitan wanita berangkat menunaikan ibadah haji (yang wajib) dan status mahram. Faktanya adalah terjadi perbedaan pendapat. Karenanya, maka bagi kita yang ada pada saat ini, tentu memiliki kebebasan untuk mengambil pandangan yang menurut kita paling benar dan diyakini dasar-dasar pikirannya.
Jika mampu berangkat bersama mahram, maka itu adalah yang paling tepat. Akan tetapi, jika upaya maksimal seorang istri yang ingin berangkat bersama mahramnya tidak berhasil, maka fikih masih memberi ruang kepadanya.
Seorang sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji dan aku berkewajiban untuk berperang ini dan itu.” Maka, Nabi SAW bersabda, “Pergi hajilah bersama istrimu” (HR Bukhari-Muslim).
Akan tetapi, ternyata dalam praktiknya para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Hal ini dikaitkan dengan memaknai kata istitho’ah sebagai syarat untuk berhaji. Seorang wanita menjadi wajib menunaikan ibadah haji jika ia istitho’ah atau mampu, salah satu kemampuan itu adalah adanya mahram.
Ulama Hanafiyah dan Hambali bersikukuh pada hadis-hadis di atas sebagai sandaran ketidakbolehan seorang wanita berangkat haji tanpa mahram. Ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah lebih berpendapat membolehkan asal ada kondisi yang memungkinkan.
Mahram tersebut bukan tiada, melainkan diganti. Ulama Syafi’iyah menyatakan, jika ada para wanita yang tsiqah dua atau lebih yang memberikan rasa aman, maka hal itu cukup sebagai pengganti mahram atau suami.
Pandangannya adalah “yang paling tepat tidak disyaratkan adanya mahram bagi para wanita tersebut. Sudah cukup sebenarnya jika sudah ada jamaah yang jumlahnya banyak”. Ulama Malikiyah pada prinsipnya membolehkan dan mengatakan, “Jika mereka tidak menemukan mahram atau pasangan (suami yang menemani), maka ia boleh bersafar untuk haji wajib selama berada bersama sama dengan orang-orang (wanita atau pria) yang memberikan rasa aman.”
Ibnu Thaimiyah, juga Ibnu Muflih, menyatakan, “Seorang wanita bisa melakukan haji tanpa mahram selama dia aman.” Al-Athram menyampaikan bahwa Imam Ahmad berkata, “Memiliki mahram bukan merupakan syarat untuk haji yang wajib, ini adalah karena seorang perempuan dapat pergi haji bersama perempuan lain dan juga dengan siapa pun yang memberi rasa aman.” Ibnu Sirin menyatakan, “Ia harus pergi dengan Muslim yang baik.”
Imam Bukhari dalam kitab sahihnya menyatakan bahwa Umar RA memberi izin kepada istri-istri Nabi SAW untuk melakukan ibadah haji. Dia mengirim Utsman Bin Affan dan Abdurrahman untuk menemani mereka.
Mereka yang membolehkan pergi haji tanpa mahram juga bersandarkan pada hadis Nabi dari Adiy Ibn Hatim “… kamu pasti akan melihat bahwa seorang wanita akan berjalan dari Hira menuju Makkah tanpa suaminya selain dia takut hanya kepada Allah....” (HR Bukhari-Muslim).
Terhadap haji yang sunah, maka ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan atau terlarangnya wanita atau istri pergi menunaikan ibadah haji tanpa didampingi suami atau mahramnya.
Demikian hukum fikih berkaitan wanita berangkat menunaikan ibadah haji (yang wajib) dan status mahram. Faktanya adalah terjadi perbedaan pendapat. Karenanya, maka bagi kita yang ada pada saat ini, tentu memiliki kebebasan untuk mengambil pandangan yang menurut kita paling benar dan diyakini dasar-dasar pikirannya.
Jika mampu berangkat bersama mahram, maka itu adalah yang paling tepat. Akan tetapi, jika upaya maksimal seorang istri yang ingin berangkat bersama mahramnya tidak berhasil, maka fikih masih memberi ruang kepadanya.
Pergi haji tanpa mahram ?
Namun para
ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah
mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang.
1. Pendapat
Pertama: Mengharuskan ada mahram secara mutlak.
Seorang
wanita yang sudah akil baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih dari tiga
hari kecuali ada suami atau mahram bersamanya. Hal itu sudah ditekankan oleh
Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu dalam sabda beliau.
لا يحل لامرأة
تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر سفرا فوق ثلاث إلا مع ذي محرم أو زوج متفق عليه
Tidak halal
bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat untuk bepergian
lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya. (HR Muttafaq ‘alaihi)
عن أبي معبد عن
ابن عباس قال: خطب النبي -صلى الله عليه وسلم- فقال: لا تسافر امرأة إلا ومعها ذو
محرم. فقال رجل: يا رسول الله إني قد اكتتبت في غزوة كذا، وقد أرادت امرأتي أن
تحج؟ فقال رسول الله: احجج مع امرأتك متفق عليه
Dari Ibnu
Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW berkhutbah, "Dan janganlah seorang
wanita bepergian kecuali bersama mahramnya." Ada seorang bertanya,`Ya
Rasulullah SAW, aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu namun
isteriku bermaksud pergi haji. Rasulullah SAW bersabda,"Pergilah bersama
isterimu untuk haji bersama isterimu." (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad.)
Dengan dua
dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, sebagian ulama berpendapat wanita
diharamkan bepergian sejauh perjalanan 3 hari, kecuali harus benar-benar
ditemani oleh mahramnya atau suaminya. Dan di antara yang berpendapat demikian
antara lain: Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, An-Nakha`i,
Al-Hasan, At-Tsauri dan Ishaq rahimahumullah.
2. Pendapat
Kedua: Tidak mengharuskan secara mutlak
Sebagian
ulama memahami hadits yang digunakan oleh pendapat di atas bukan sebagai syarat
mutlak, melainkan sebagai sebagai gambaran tentang perhatian Islam kepada para
wanita dan upaya melindungi mereka dari ketidak-amanan perjalanan.
Hal itu
lantaran di masa itu memang belum ada jaminan keamanan bagi wanita yang
bepergian sendirian. Sehingga keberadaan mahram atau suami adalah antisipasi
dari buruknya keadaan di masa lalu, khususnya dalam perjalanan menembus padang
pasir jauh dari peradaban.
Namun ketika
keadaan masyarakat sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi ancaman dan bahaya
yang menghadang di tengah jalan, maka tidak lagi diperlukan mahram atau suami.
Hal itu tergambar dalam sabda nabi SAW yang lainnya, seperti berikut ini:
حديث عدي بن
حاتم فقال: يا عدي هل رأيت الحيرة؟ قلت: لم أرها وقد أنبئت عنها. قال: فإن طال بك
حياة لترين الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف بالكعبة، لا تخاف إلا الله. قال عدي:
فرأيت الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف بالكعبة لا تخاف إلا الله) أخرجه البخاري
`Wahai Adi,
Pernahkah kamu ke Hirah? Aku menjawab, belum tapi hanya mendengar tentangnya.
Beliau bersabda, "Apabila umurmu panjang, kamu akan melihat wanita
bepergian dari kota Hirahberjalan sendirian hinggabisa tawaf di Ka`bah, dengan
keadaan tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja`. Adi berkata,
"Maka akhirnya aku menyaksikan wanita bepergian dari Hirah hingga tawaf di
ka’bah tanpa takut kecuali hanya kepada Allah." (HR Bukhari).
Ini adalah
pendapat yang didukung oleh Al-Imam Malik. Al-Imam Asy-Syafi`i, Daud
Azh-Zhahiri, Hasan Al-Bashri, Al-Mawardi dan lainnya. Bahkan Al-Imam
Asy-syafi’i dalam salah satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita
yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Semua mensyaratkan
satu hal saja, yaitu amannya perjalanan dari fitnah.
Al-Imam
Malik rahimahullah mengatakan bila aman dari fitnah, para wanita boleh
bepergian tanpa mahram atau suami, asalkan ditemani oleh sejumlah wanita yang tsiqah
(bisa dipercaya).
Sedangkan Al-Mawardi
dari ulama kalangan As-Syafi’iyah mengatakan bahwa sebagian dari kalangan
pendukung mazhab As-syafi’i berpendapat bahwa bila perjalanan itu aman dan
tidak ada kekhawatiran dari khalwat antara laki dan perempuan, maka para wanita
boleh bepergian tanpa mahram bahkan tanpa teman seorang wanita yang tsiqah.
Sumber:1.http://www.republika.co.id
2.http://www.eramuslim.com
Jakarta 25/8/2015
Bagus ulasannya
BalasHapus