KAIDAH2
MENAFSIRKAN AL-QUR’AN ?
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا . (النسآء : 105)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar engkau menghukumi di antara manusia dengan apa yang diwahyukan Allah kepadamu. Dan janganlah engkau memusuhi (orang tak bersalah) karena membela mereka yang khianat.” (QS. An-Nisaa`: 105)
Makna Kaidah ?
Sedangkan secara terminologi, kaidah adalah rumusan asas yang menjadi hukum atau aturan yang sudah pasti yang dijadikan sebagai patokan. Asy-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H) mengistilahkannya dengan,
قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَا .
“Hukum yang komprehensif yang diaplikasikan atas seluruh partikelnya.”
Adapun yang dimaksud dengan kaidah tafsir di sini, yaitu sejumlah aturan tertentu yang komprehensif yang bisa mengantarkan seseorang dalam memahami makna dan hukum-hukum Al-Qur`an serta menafsirkannya diiringi kemampuan untuk mempreferensikan saat terdapat ikthtilaf di dalamnya.
Sedangkan secara terminologi, kaidah adalah rumusan asas yang menjadi hukum atau aturan yang sudah pasti yang dijadikan sebagai patokan. Asy-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H) mengistilahkannya dengan,
قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَا .
“Hukum yang komprehensif yang diaplikasikan atas seluruh partikelnya.”
Adapun yang dimaksud dengan kaidah tafsir di sini, yaitu sejumlah aturan tertentu yang komprehensif yang bisa mengantarkan seseorang dalam memahami makna dan hukum-hukum Al-Qur`an serta menafsirkannya diiringi kemampuan untuk mempreferensikan saat terdapat ikthtilaf di dalamnya.
Kaidah Pertama; Sesuai dengan Kaidah
Bahasa Arab
Karena Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab, menafsirkan Al-Qur`an harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Tidak boleh ada ayat atau kalimat yang penafsirannya menyalahi kaidah bahasa Arab yang baku dan berlaku. Untuk itu, seorang mufasir harus menguasai bahasa Arab dengan baik. Mujahid bin Jabr (w. 103 H) berkata, “Seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh berbicara tentang Kitab Allah jika dia tidak menguasai dengan baik bahasa-bahasa yang digunakan bangsa Arab.”
Karena Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab, menafsirkan Al-Qur`an harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Tidak boleh ada ayat atau kalimat yang penafsirannya menyalahi kaidah bahasa Arab yang baku dan berlaku. Untuk itu, seorang mufasir harus menguasai bahasa Arab dengan baik. Mujahid bin Jabr (w. 103 H) berkata, “Seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh berbicara tentang Kitab Allah jika dia tidak menguasai dengan baik bahasa-bahasa yang digunakan bangsa Arab.”
Kaidah Kedua; Menggabungkan Antara
Riwayah dan Dirayah
Riwayah dan dirayah (knowledge) adalah dua istilah yang sering digunakan untuk memudahkan penyebutkan bagi hadits dan ra`yu, antara manqul dan ma’qul. Metode ini banyak digunakan oleh para ulama tafsir, seperti Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi (w. 671 H), Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H), dan Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w. 1250 H), dan lain-lain, meski ada perbedaan penyajian di antara mereka.
Riwayah dan dirayah (knowledge) adalah dua istilah yang sering digunakan untuk memudahkan penyebutkan bagi hadits dan ra`yu, antara manqul dan ma’qul. Metode ini banyak digunakan oleh para ulama tafsir, seperti Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi (w. 671 H), Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H), dan Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w. 1250 H), dan lain-lain, meski ada perbedaan penyajian di antara mereka.
Kaidah Ketiga; Mendahulukan
Penafsiran Al-Qur`an dengan Al-Qur`an
Al-Qur`an Al-Karim adalah kalamullah, maka yang paling mengetahui maknanya adalah Allah sendiri. Dalam menafsirkan Al-Qur`an, sekiranya terdapat suatu ayat yang bisa menafsirkan ayat lain, maka ayat ini mesti didahulukan untuk menafsirkan ayat tersebut. Bagaimanapun, Al-Qur`an itu saling memebenarkan satu sama lain, dan saling menafsirkan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Allah SWT berfirman,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا . (النسآء : 82)
“Apakah mereka tidak mau mentadabburi Al-Qur`an? Sekiranya Al-Qur`an itu berasal dari sisi selain Allah, niscaya mereka akan mendapatkan banyak perbedaan di dalamnya.” (QS. An-Nisaa`: 82)
Al-Qur`an Al-Karim adalah kalamullah, maka yang paling mengetahui maknanya adalah Allah sendiri. Dalam menafsirkan Al-Qur`an, sekiranya terdapat suatu ayat yang bisa menafsirkan ayat lain, maka ayat ini mesti didahulukan untuk menafsirkan ayat tersebut. Bagaimanapun, Al-Qur`an itu saling memebenarkan satu sama lain, dan saling menafsirkan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Allah SWT berfirman,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا . (النسآء : 82)
“Apakah mereka tidak mau mentadabburi Al-Qur`an? Sekiranya Al-Qur`an itu berasal dari sisi selain Allah, niscaya mereka akan mendapatkan banyak perbedaan di dalamnya.” (QS. An-Nisaa`: 82)
Kaidah Keempat;
Menafsirkan Al-Qur`an dengan Sunnah
Jika suatu ayat tidak ada tafsirnya pada ayat lain, maka langkah berikutnya ialah menafsirkannya dengan Sunnah Rasulullah SAW yang shahih. Ibnu Taimiyah berkata, “Sekiranya engkau tidak mendapatkan tafsirnya dalam Al-Qur`an, maka tafsirkanlah dengan Sunnah, karena ia adalah penjelas dan penerangnya. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i mengatakan; ‘Semua yang diputuskan oleh Rasulullah SAW adalah apa yang beliau pahami dari Al-Qur`an. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا . (النسآء : 105)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar engkau menghukumi di antara manusia dengan apa yang diwahyukan Allah kepadamu. Dan janganlah engkau memusuhi (orang tak bersalah) karena membela mereka yang khianat.” (QS. An-Nisaa`: 105)
Jika suatu ayat tidak ada tafsirnya pada ayat lain, maka langkah berikutnya ialah menafsirkannya dengan Sunnah Rasulullah SAW yang shahih. Ibnu Taimiyah berkata, “Sekiranya engkau tidak mendapatkan tafsirnya dalam Al-Qur`an, maka tafsirkanlah dengan Sunnah, karena ia adalah penjelas dan penerangnya. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i mengatakan; ‘Semua yang diputuskan oleh Rasulullah SAW adalah apa yang beliau pahami dari Al-Qur`an. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا . (النسآء : 105)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar engkau menghukumi di antara manusia dengan apa yang diwahyukan Allah kepadamu. Dan janganlah engkau memusuhi (orang tak bersalah) karena membela mereka yang khianat.” (QS. An-Nisaa`: 105)
Kaidah Kelima; Mengedepankan Pendapat
Sahabat Sebelum Pendapat Sendiri
Setelah Rasulullah SAW, tidak ada orang yang paling mengetahui agama ini selain para sahabat RA. Merekalah orang-orang yang mendengar langsung ajaran Islam dari sang pembawa risalah, Nabi Muhammad SAW. Mereka turut menyaksikan turunnya wahyu. Bahkan, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur`an turun karena mereka. Tidak mengherankan, jika sebagian ulama menganggap bahwa tafsir sahabat kedudukannya sama seperti hadits marfu’. Imam Az-Zarkasyi berkata, “Sesungguhnya kedudukan tafsir sahabat bagi mereka itu adalah marfu’ (terangkat) sampai kepada Nabi SAW, sebagaimana yang dikatakan Al-Hakim dalam Tafsir-nya.”
Setelah Rasulullah SAW, tidak ada orang yang paling mengetahui agama ini selain para sahabat RA. Merekalah orang-orang yang mendengar langsung ajaran Islam dari sang pembawa risalah, Nabi Muhammad SAW. Mereka turut menyaksikan turunnya wahyu. Bahkan, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur`an turun karena mereka. Tidak mengherankan, jika sebagian ulama menganggap bahwa tafsir sahabat kedudukannya sama seperti hadits marfu’. Imam Az-Zarkasyi berkata, “Sesungguhnya kedudukan tafsir sahabat bagi mereka itu adalah marfu’ (terangkat) sampai kepada Nabi SAW, sebagaimana yang dikatakan Al-Hakim dalam Tafsir-nya.”
Kaidah Keenam; Mencermati dan
Memaksimalkan Peran Asbab Nuzul
Tidak semua ayat Al-Qur`an turun dengan sebab tertentu. Namun, justru sebagian besarnya turun sebagai permulaan suatu hukum dari Allah. Adapun sebagiannya lagi turun setelah terjadi suatu peristiwa atau karena ada pertanyaan, baik itu dari sahabat, kaum kafir Quraisy, maupun Ahlu Kitab. Ayat-ayat Al-Qur`an yang turun karena sebab inilah yang menjadi ajang pembahasan dan kajian para ulama tafsir. Sebab, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat akan sangat membantu dalam pemahaman maksud dan penerapan hukumnya.
Tidak semua ayat Al-Qur`an turun dengan sebab tertentu. Namun, justru sebagian besarnya turun sebagai permulaan suatu hukum dari Allah. Adapun sebagiannya lagi turun setelah terjadi suatu peristiwa atau karena ada pertanyaan, baik itu dari sahabat, kaum kafir Quraisy, maupun Ahlu Kitab. Ayat-ayat Al-Qur`an yang turun karena sebab inilah yang menjadi ajang pembahasan dan kajian para ulama tafsir. Sebab, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat akan sangat membantu dalam pemahaman maksud dan penerapan hukumnya.
Beberapa Adab
yang harus dimiliki oleh Panafsir al-Qur’an ?
Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuty di atas, Ahmad Bazawy
Al-Dāwy meringkaskan sejumlah
adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1. Akidah
yang lurus
2. Terbebas
dari hawa nafsu
3. Niat
yang baik
4. Akhlak
yang baik
5. Tawadhu'
dan lemah lembut
6. Bersikap
zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta'ala
7. Memperlihatkan
taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syara' serta sikap menghindar dari
perkara-perkara yang dilarang
8. Tidak
bersandar pada ahli bid'ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9. Bisa
dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitab
Allah sebagai pemimpin yang diikuti.[6]
Sedangkan Manna' Al-Qattan menyebutkan sebelas etika yang
harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1. Berniat
baik dan bertujuan benar
2. Berakhlak
baik
3. Taat
dan beramal
4. Berlaku
jujur dan teliti dalam penukilan
5. Tawadu'
dan lemah lembut
6. Berjiwa
mulia
7. Vokal
dalam menyampaikan kebenaran
8. Berpenampilan
baik (berwibawa dan terhormat)
9. Bersikap
tenang dan mantap
10. Mendahulukan orang yang lebih
utama daripada dirinya
11. Mempersiapkan dan menempuh
langkah-langkah penafsiran secara baik[7]
[6]Ahmad
Bazawy Al-Dāwy, Syurūt Al-Mufassir wa Ādābuh, dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245, diakses pada 21
Oktober 2010.
Sumber:1.http://abduhzulfidar.blogspot.com
2.http://upikabu-abidin.blogspot.com
Jakarta 10/8/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar