HAJI MABRUR
BALASANNYA SURGA ?
الْعُمْرَةُ
إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ
لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Di
antara umrah yang satu dan umrah lainnya akan menghapuskan dosa di antara
keduanya dan haji mabrur tidak ada bahasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari
no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Kisah Haji Mabrur ?
‘Abdullah
bin Mubarrok sudah berniat akan pergi haji tahun depan. Oleh karena itu, dia
menabung dari sekarang. Menjelang musim haji tiba, dia pergi ke pasar dengan
membawa uang 500 dinar untuk membeli unta. Sayang, uang sebanyak itu tidak
cukup untuk membeli seekor unta. Maka, dia pulang lagi ke rumah.
Di
tengah perjalanan pulang, ‘Abdullah bin Mubarrok melihat ada seorang wanita sedang
membersihkan bulu ayam di tempat sampah.
‘Abdullah
bin Mubarrok tertarik dan mendekati wanita itu. Ketika tahu bahwa ada orang
yang mendekatinya, wanita itu membelakangi ‘Abdullah bin Mubarrok. ‘Abdullah
semakin tertarik dan ingin tahu. Dia terperanjat. Ternyata wanita itu sedang
membersihkan bangkai ayam.
Itu
di ketahui dari tidak ada bekas potongan di leher ayam. Hatinya miris.
‘Abdullah bin Mubarrok bertanya setelah mengucap salam.
“Wahai
ibu, untuk apa ibu membersihkan bangkai ayam ini?”
“Untuk
di makan.” Jawab wanita itu tanpa menoleh.
“Bukankah
ibu tahu, Allah mengharamkan kita memakan bangkai ayam.”
“Bangkai
ayam ini memang haram bagi tuan, tetapi tidak untukku dan anak-anakku,” jawab
si wanita sambil terus membersihkan bangkai ayam itu.
“Memang
apa sebabnya?” ‘Abdullah bin Mubarrok semakin penasaran.
“Jangan
campuri urusanku, pergilah menjauh dariku,”jawab wanita itu dengan nada tidak
senang.
“Demi
Allah, aku tidak akan pergi dari tempat ini sebelum aku tahu masalahmu!.
Katakanlah wahai ibu,” ‘Abdullah bin Mubarrok berharap.
“Baiklah,
karena kau telah meminta dengan nama Allah, aku beritahu masalahku. Ketahuilah
tuan, aku dan anak-anakku sudah tiga hari tidak makan kecuali minum sedikit.
Suamiku gugur di jalan Allah, dan dia tidak meninggalkan warisan yang bisa di
jual untuk menyambung hidup anak-anaknya yang yatim sekarang. Sedangkan, untuk
meminta-minta aku malu. Aku mencari makanan kesana kemari, tapi tidak aku
dapatkan kecuali bangkai ayam ini,” jawab wanita itu panjang lebar.
Hati
‘Abdullah tergetar hebat. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya.
Pandangannya menjadi kabur dan seluruh persendianya menjadi terasa lemas. Dia
benar-benar merasa sangat berdosa jika membiarkan wanita itu dan anak-anaknya
memakan bangkai ayam. Lalu, sambil menunduk, dia berkata dalam hati. “Wahai
ibnu Mubarrok, haji apakah yang lebih mabrur dari pada menolong ibu ini dan
anak-anaknya?”
Dan
tanpa berpikir lagi. ‘Abdullah bin Mubarrok menyerahkan semua uang yang akan di
gunakannya untuk membeli unta pengangkut bekal hajinya nanti.
“Wahai
ibu, mulai detik ini, bangkai ayam itu haram bagimu dan anak-anakmu! Ambilah
ini, dan segeralah beri makan anak-anakmu.”
Wanita
itu gembira sekali. Sambil menerima pemberian ‘Abdullah bin Mubarrok, dia
berkata, “semoga Allah merahmatimu”
Lalu
wanita itu pergi meninggalkan Mubarrok, yang denga ikhlas pulang ke rumah.
Terkubur keinginannya untuk pergi hari.
Ketika
musim haji sudah selesai, ‘Abdullah bin Mubarrok menyambut rombongan haji di
batas kota bersama keluarga dan kerabat haji. Para haji yang baru pulang itu
bercerita bertemu ‘Abdullah bin Mubarrok di tempat ini dan itu. ‘Abdullah bin
Mubarrok tentu saja heran dengan cerita tersebut karena dia tidak jadi pergi
haji. Namun semua orang yang berangkat haji mengaku bertemu dengannya.
Malam
harinya, ‘Abdullah bin Mubarrok mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Konon,
dalam mimpinya, Rasulullah bersabda, “ Wahai ibnu Mubarrok, engkau telah
merelakan bekal hajimu untuk menolong sanak keturunanku sehingga mereka
terbebas dari kesulitan hidup. Maka, Allah mengutus malaikat_NYA yang
diserupakan dengan dirimu pergi haji untukmu setiap tahun. Dan engkau akan
menerima pahalanya sampai hari kiamat.
Menggapai Haji Mabrur ?
- Ikhlas mengharap wajah Allah, tidak riya‘ dan sum’ah. Jadi haji bukanlah untuk cari titel atau gelar “Haji”. Tetapi semata-mata ingin mengharap ganjaran dari Allah.
- Berhaji dengan rezeki yang halal karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ
طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Allah itu thoyyib (baik) dan tidaklah menerima kecuali
dari yang baik” (HR. Muslim no. 1015).
- Menjauh dari maksiat, dosa, bid’ah dan hal-hal yang menyelisihi syari’at. Hal-hal tadi jika dilakukan dapat berpengaruh pada amalan sholeh dan bisa membuat amalannya tidak diterima. Lebih-lebih lagi dalam melakukan haji. Dalam ayat suci Al Qur’an disebutkan firman Allah,
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا
فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka
tidak boleh rafats (berkata kotor), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al Baqarah: 197).
- Berakhlak yang mulia dan bersikap lemah lembut, juga bersikap tawadhu’ (rendah hati) ketika di kendaraan, tempat tinggal, saat bergaul dengan lainnya dan bahkan di setiap keadaan.
- Mengagungkan syi’ar Allah. Orang yang berhaji hendaknya benar-benar mengagungkan syi’ar Allah. Ketika melaksanakan ritual manasik, hendaklah ia menunaikannya dengan penuh pengagungan dan tunduk pada Allah. Hendaklah ia menunaikan kegiatan haji dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa dalam berkata atau berbuat. Jangan bersikap terburu-buru sebagaimana yang dilakukan banyak orang di saat haji. Hendaklah punya sikap sabar yang tinggi karena hal ini sangat berpengaruh besar pada diterimanya amalan dan besarnya pahala.
Sumber:1.http://www.nu.or.id
2.http://muslim.or.id
Jakarta 27/8/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar