Rabu, 24 Juni 2015

RAMADHAN ALA SUFI





RAMADHÂN DALAM DIMENSI SUFI


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang2 yang beriman, diwajibkan bagimu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang2 sebelum kamu. Mudah2an kamu bertakwa” (Al -Baqarah:183)

.    عن أبي هريرة أَن َرسولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: "إِذا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوابُ النَّارِ، وَصُفِّدَتْ الشَّياطينُ". أخرجه مسلمٌ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “ Apabila datang bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu Surga, ditutuplah pintu-pintu Neraka dan Syetan-Syetan dibelenggu. ( HR. Muslim )

.    عن أبي هريرة قالَ: كَانَ رسولُ اللهِ صلي الله عليه وسلم يُبَشِّرُ أصْحَابَةُ يقولُ: "قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللهُ عليكم صِيَامَهُ، تُفَتَّحُ فيه أبوابُ الجَنَّةِ وَتغلَّقُ فيه أبوابُ النَّارِ، فيه لَيْلَةُ خَيْرٌ من ألفِ شَهْرٍ، مَن حُرِمَ خَيْرَها فقد حُرِمَ". وهذا لَفْظُ حماد بن زيد. أخرجه النسائيُّ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Telah datang bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, dibukakan pintu-pintu Surga, ditutup pintu-pintu Neraka. Didalam bulan itu ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya sungguh ia rugi.” (HR. Nasai, Lafadz Hammad bin Zaid)

.    عن أبي هريرة؛ عن النبي صلى الله عليه وسلم: ((من صام رمضان إيماناً واحتساباً، غفر له ما تقدم من  ذنبه، ومن قام ليلة القدر إيماناً واحتساباً، غفر له ما تقدم من ذنبه))  متفق على صحته

“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam: “ Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan ihtisaban ( mengharap balasan dari Allah ) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, barangsiapa yang shalat pada malam lailatul qadr dengan iman dan mengharap balasan dari Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. ( Mutafaqun Alaih )

Muqaddimah
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa atas kamu sekalian, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa“. (Al-Qur ‘an, Al-Baqarah 183)
Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas, bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R) berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah (Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahaya Allah).

Makna Ramadhan ?
Ramadhân terdiri dari lima huruf, Ra’, Mîm, Dhâd, Alîf, dan Nûn.
Hurup ra bermakna Rahmat, rahmat adalah irâdatu îshâalil khayr (Kehendak untuk menyambungkan kebaikan). Makna lain dari rahmat adalah riqqatun fil qalbi taqtadhî at-tafadhdhula wal-ihsâna (perasaan jiwa yang lembut yang melahirkan perbuatan yang baik dan luhur). Dalil yang menunjukkan rahmat dalam al-Quran: Q.S. Al-A’râf: 56, Q.S. Al-Anbiyâ: 107, Q.S. Fâthir: 2, Q.S. Az-Zukhrûf: 32, Q.S. Al-Hadîd: 27, Q.S. Az-Zumâr: 52, Q.S. Al-Isrâ: 82, Q.S. Âli Imrân: 158, dan Q.S. Yûnus: 58. Dalam ayat yang disebut terakhir (Yûnus: 58), Allah menyebutkan, bahwa disebabkan rahmat dan karunia Allah-lah kita mengalami segala hal, termasuk amal baik yang kita lakukan. Oleh karena itu,
Ibnu Athaillah As-Sakandari berkata: “Janganlah kamu merasa bahagia dengan ketaatan yang lahir darimu, tetapi berbahagialah karena ketaatan tersebut bersumber dari Allah”.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Takwîr: 29.
Huruf Mîm bermakna Murâqabah. Sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Ahzâb: 52. Ahmad Aljaririy berkata: “Barangsiapa yang tidak ada taqwa dan muraqabah antara dirinya dengan Allah, maka ia tidak akan sampai pada Kasyaf dan Musyahadah”. Menurut Imam Qusyairiy murâqabah sama dengan Ihsân, yang maksudnya selalu mawas diri dan merasa diperhatikan Allah Swt. Secara etimologi, Murâqabah berarti senantiasa memperhatikan yang dimaksud. Sedangkan secara terminologi, artinya adalah kesadaran untuk senatiasa memandang Allah dengan hati sanubari. Sebagian Ulama mengatakan: “barang siapa di dalam hatinya muraqabah terhadap Allah, maka Allah akan melindungi anggota tubuhnya”.

Huruf Dhâd maknanya Dhâllat, artinya kekayaan yang hilang. Kekayaan yang dimaksud adalah ilmu, sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.: “Kekayaan yang hilang dari seorang mukmin adalah ilmu”. Ilmu menempatkan seseorang yang memilikinya pada posisi derajat yang tinggi (Q.S. Al-Mujâdalah: 11) bahkan menempati posisi setelah Allah dan malaikat-Nya (Q.S. Âli Imrân: 18).
Ibnu Ruslan menyatakan dalam bait Syairnya:
Jadilah seseorang yang selalu bertambah ilmu dan faham tiap saat#
Dan berenanglah di segara manfaat
Setiap orang yang beramal tanpa didasari ilmunya#
Amalnya tertolah tak diterima

Huruf Alîf maknanya Idznun atau izin. Menurut lughawi izin artinya al-I’lâm atau pemberitahuan. Sedangkan menurut istilah, idzin adalah terbukanya larangan bagi orang yang terlarang. Izin yang dimaksud di sini adalah izin Allah Swt., seperti izin yang diberikan Allah kepada Ruhul Amin (Jibril As.) untuk menurunkan al-Quran kepada hati Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Q.S. Al-Bâqarah: 97. Di dalam Al-Quran banyak kata-kata yang merupakan musytaq (derivasi) dari kata idznun. Di antaranya idznillâh, idzni rabbihi, idznî rabbihâ, idzni rabbihim, atau idznî semuanya menunjukkan pada makna izin Allah Swt.

Huruf nûn maknanya nasyâth atau rajin. Nasyâth adalah lawan makna kaslân atau malas. Nasyâth adalah sifat orang mukmin, sedangkan kaslân adalah sifat munafiq. Firman Allah Q.S. Al-Nisâ: 142. Sifat nasyâth yang dimilki seorang mukmin lahir karena pengaruh dzikir Jahar yang dilakukan secara kontinyu bakda shalat fardhu. Dzikir jahar yang dimaksud adalah mengucapkan Lâ ilâha illallâh menurut tatacara yang diajarkan Rasulullah Saw. Dzikir ini dapat memperbaharui iman. Sabda Rasulullah Saw.: ”Perbaharuilah iman kalian dengan ucapan Lâ ilâha illallâh”. Dalil yang menunjukkan adanya dzikir jahar adalah Q.S. Al-A’râf: 204. Singkatnya, dzikir jahar disyariatkan dalam al-Quran, namun sayang, kebanyakan orang tidak mau tahu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa orang yang berdzikir jahar adalah orang yang gila. Firman Allah Q.S. Al-Qalâm: 51.
Ramadhan ala Shufi ?
Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi lainnya.
Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:
Pertama, bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal, kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana penyaksian (musyahadahnya).
Kedua, bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah, dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.
Ketiga, di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman. Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana ‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul ‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.
Keempat, di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi, kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah. Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan, dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang beriman adalah Rumah Allah).
Kelima, munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya, ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah, sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu) dengan-Nya.
Sumber:1.https://gusrachmat.wordpress.com
JAKARTA 24/6/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman