MACAMNYA RIDHA ?
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ
“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” [HR.Bukhari)
Muqaddimah
Ridha
bermakna menerima semua realita takdir dan ketentuan Allah dengan senang hati,
ikhlas, lapang dada, bahagia, tanpa merasa kecewa atau marah. Walaupun
ketentuan Allah tersebut tidak sesuai dengan keinginan kita dan kadang membawa
kita pada kesedihan. Saya mengatakan demikian, karena kadang realita
kehidupan memang ada yang membawa kita pada kekecewaan dan kesedihan. Tapi
kalau kita bisa ridha menerima semuanya dan mengembalikan semua kejadian pada
Penguasa Segala Kejadian (Allah), maka kita akan terbebas dari rasa kekecewaan
dan kesedihan hingga kita pun bisa berlapang dada menerima kenyataan hidup,
ridha menerima ketentuan-Nya. Karena sesungguhnya, tidak ada ketentuan-Nya yang
buruk, semua pasti ada hikmahnya, hanya saja memang kadang butuh waktu bagi
kita untuk memahami, hikmah apa yang terkandung dalam setiap ketentuan-Nya.
Dalam hadits
atha’, Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulullah SAW menemui sahabat – sahabat
Anshor, Beliau bersabda: ”apakah kamu orang – orang mukmin?” , lalu mereka
diam, maka berkatalah Umar : “ Ya, Rasulullah”. Beliau SAW bersabda lagi: “
apakah tanda keimananmu?”, mereka berkata: “ kami bersyukur menghadapi
kelapangan, bersabar menghadapi bencana, dan ridha dengan qada’ ketentuan Allah”,
kemudian Nabi SAW bersabda lagi:”Orang- orang mukmin yang benar, demi Tuhan
Ka’ba”.
Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepda Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya selama-lamanya. Mereka kekal
didalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah ayat 100)
“….Allah
ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujaadilah ayat 22)
Ridha Allah
kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan
derajat kemuliaannya. Sedangkan ridha seorang hamba kepada Allah mempunyai arti
menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah
ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Adapun menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan
nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah.
Macamnya Ridha dalam al-Qur’an ?
Sedikitnya,
Alquran dan hadis menyebutkan empat hal ridha yang diperintahkan dan dua hal
ridha yang dilarang. Ridha yang diperintahkan, yaitu pertama, ridha seseorang
terhadap Allah sebagai Rabbnya, agama Islam sebagai dinnya, dan Nabi Muhammad
sebagai rasulnya.
Dari ‘Abbas
bin Abdul Muththalib, Rasulullah SAW bersabda, “Akan merasakan kelezatan iman,
orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta
Muhammad sebagai nabi dan rasulnya." (HR Muslim). Mereka yang ridha kepada
Allah maka Allah pun meridhai mereka (QS al-Mujadalah: 22).
Kedua, ridha orang tua terhadap anaknya. Ridha Allah SWT bergantung pada ridha orang tua sesuai sabda Rasulullah SAW, "Ridha Allah SWT tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah SWT tergantung kepada kemurkaan orang tua." (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim).
Ketiga, ridha suami kepada istrinya. "Setiap istri yang meninggal dunia dan diridhai oleh suaminya maka ia masuk surga." (HR at-Tirmidzi). Keempat, ridha dalam transaksi jual beli. Disebutkan dalam firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan ridha di antaramu." (QS an-Nisaa: 29).
Adapun, ridha yang dilarang, pertama, ridha terhadap dunia. “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami dan merasa ridha dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan itu) dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya di neraka karena apa yang telah mereka lakukan.” (QS Yunus: 7-8).
Kedua, ridha bersama-sama orang yang menyelisih Nabi. Konteks saat ini adalah menyelisihi dan meninggalkan sunah Nabi SAW, balasannya adalah Allah SWT akan mengunci hati mereka dari kebenaran. (QS at-Taubah: 93).
Kedua, ridha orang tua terhadap anaknya. Ridha Allah SWT bergantung pada ridha orang tua sesuai sabda Rasulullah SAW, "Ridha Allah SWT tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah SWT tergantung kepada kemurkaan orang tua." (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim).
Ketiga, ridha suami kepada istrinya. "Setiap istri yang meninggal dunia dan diridhai oleh suaminya maka ia masuk surga." (HR at-Tirmidzi). Keempat, ridha dalam transaksi jual beli. Disebutkan dalam firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan ridha di antaramu." (QS an-Nisaa: 29).
Adapun, ridha yang dilarang, pertama, ridha terhadap dunia. “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami dan merasa ridha dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan (kehidupan itu) dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya di neraka karena apa yang telah mereka lakukan.” (QS Yunus: 7-8).
Kedua, ridha bersama-sama orang yang menyelisih Nabi. Konteks saat ini adalah menyelisihi dan meninggalkan sunah Nabi SAW, balasannya adalah Allah SWT akan mengunci hati mereka dari kebenaran. (QS at-Taubah: 93).
Makna Ridha dalam Tasawuf ?
Ridha
berarti penerimaan, tetapi ia
juga berarti kualitas kepuasan dengan sesuatu atau seseorang. Ridha digambarkan
sebagai”keteguhan di hadapan qadha”. Allah s.w.t. menyebutkan ridha dalam
kitab-Nya, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
terhadap-Nya
(QS. Al-Maidah[5]:119); Dan keridhaan Allah adalah lebih besar (QS Al-Taubah
[9]:72). Dengan cara demikian, keridhaan Allah swt atas hamba-Nya jauh lebih
besar daripada ridha atas-Nya dan mendahuluinya.
1.Dzu Al-Nun berkata,”Kebahagiaan hati dengan berlalunya
Qadha”. Ibn ’Atha berkata, ridha adalah takzimnya hati untuk pilihan abadi dari
Tuhan untuk sang hamba karena dia tahu bahwa Dia s.w.t. telah memilihkan yang
terbaik
untuknya dan
menerimanya serta melepaskan ketidakpuasannya.”
2.Ibnu Khafif mengatakan, ridha adalah kerelaan hati
menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah
untuknya . Sedang menurut Rabi’ah al-’Adawiyah, ridha adalah ”Jika dia telah
gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat” Sepertinya
pengertian ridha demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga
melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi
dan kondisi (Rivay, 2002: 122). Segala peristiwa atau perihal yang terjadi dan
dialami dihadapi dengan hati yang tenang. Sekalipun peristiwa itu perkara
musibah, kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha merupakan maqam
terakhir dari perjalanan salik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan pada
maqam ini. Para salik harus berjuang dan berkorban (mujahadah) secara bertahap
serta terus-menerus melakukan riadhah. Namun, bukan berarti perjalanan para
salik berhenti sampai di sini. Masih ada perjalanan selanjutnya yang mesti
ditempuh dan tentunya masing-masing mereka akan mengalami pengalaman spiritual
yang berbeda.
3.Riḍha dalam
pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap
ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat
119: (Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah), dan juga
sabda Rasulullah SAW.:
“Orang yang merasakan (manisnya) iman adalah orang yang ridha kepada Allah”.
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
“Orang yang merasakan (manisnya) iman adalah orang yang ridha kepada Allah”.
Maqam ridha bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik sendiri. Akan tetapi ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam
ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga
akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan
maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia
akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan
berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik
bagi dirinya.
4.Dzun Nun al-Mishri menyatakan:
Tanda-tanda ridha ada tiga: 1)Tindakan sang hamba meninggalkan keinginannya
karena mengutamakan keinginan Allah s.w.t. sebelum ia melakukan sesuatu;
2)Pengetahuan sang hamba bahwa yang terbaik adalah yang dipilih oleh Allah
setelah ia melakukan suatu; dan 3)Tidak gelisah serta tetap mencintai Allah
ketika sang hamba berada di tengah musibah.[5]
5.Husein bin
Ali r.a. berkata bahwa ridha adalah:
"Tindakan sang hamba meninggalkan segala sesuatu yang menyimpang dari
kehendak dan pilihan Allah, serta tidak mengharapkan apapun selain Dia."[6]
6.Abu Utsman berpendapat bahwa ridha adalah: Menerima
penyingkapan (tajalliyât) keindahan dan keagungan Allah dengan tenang,
serta menerima keagungan sebagai inti keindahan, dan menerima keindahan sebagai
inti rahmat.[7]
Itulah sebabnya Rasulullah s.a.w. berdoa kepada Allah: "...dan aku memohon
ridha kepada-Mu setelah qadha."[8]
Catatan Kaki
[5] "Ada tiga tanda-tanda ridha: 1)Meninggalkan ikhtiar sebelum qadha; 2)Menghilangkan kepahitan setelah qadha; dan, 3)Melimpahnya cinta kepada Allah di tengah musibah." Al-Risâlah, al-Qusyairi 311. Lihat pula: Kasyf al-Khafâ`, al-Ajaluni 1/478.
[6] "Siapapun yang mengandalkan pilihan baik dari Allah untuknya, niscaya tidak akan menginginkan selain apa yang dipilihkan oleh Allah untuknya." Al-Risâlah, al-Qusyairi 311.
[7] Halaman 311, ia menyatakan: "Ridha sebelum qadha adalah keinginan untuk ridha, sementara ridha setelah qadha adalah ridha (yang sebenarnya)."
[8] Al-Nasa`i, al-Sahw 62; al-Musnad, Imam Ahmad 5/191.
[5] "Ada tiga tanda-tanda ridha: 1)Meninggalkan ikhtiar sebelum qadha; 2)Menghilangkan kepahitan setelah qadha; dan, 3)Melimpahnya cinta kepada Allah di tengah musibah." Al-Risâlah, al-Qusyairi 311. Lihat pula: Kasyf al-Khafâ`, al-Ajaluni 1/478.
[6] "Siapapun yang mengandalkan pilihan baik dari Allah untuknya, niscaya tidak akan menginginkan selain apa yang dipilihkan oleh Allah untuknya." Al-Risâlah, al-Qusyairi 311.
[7] Halaman 311, ia menyatakan: "Ridha sebelum qadha adalah keinginan untuk ridha, sementara ridha setelah qadha adalah ridha (yang sebenarnya)."
[8] Al-Nasa`i, al-Sahw 62; al-Musnad, Imam Ahmad 5/191.
Sumber:1.http://www.republika.co.id 2.http://fgulen.com/id
3.http://almanhaj.or.id
4.https://threecahya.wordpress.com
Jakarta 21/10/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar