MEMAHAMI IMAN DALAM ISLAM ?
(قَالَتِ
الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا
يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ) الحجرات/14
“Orang-orang
Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada
mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah
tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. (QS. Al Hujurat:
14)
(الإيمان
بضع وسبعون شعبة ، أعلاها : قول لا إله إلا الله ، وأدناها : إماطة الأذى عن الطريق) .
“Iman itu
ada tujuh puluh sekian cabang iman, yang tertinggi adalah ‘la ilaha illallah’
(tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan yang ada di jalanan”.(al-Hadits)
Muqaddimah
Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya.
Sedangkan menurut istilah,
pengertian iman adalah membenarkan
dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan).
Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati
bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan
kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta
dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin
(orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas.
Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak
diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga
unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.
Beriman
kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah
memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah
yang artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad)
dan kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu
telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136)
Ayat di atas
memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami
kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam
hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan
manusia.
Hal tersebut
juga dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim tentang iman dan rukunnya. Dari
Abdullah bin Umar, ketika diminta untuk menjelaskan iman, Rasulullah bersabda, “iman itu engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya dan hari akhir serta
beriman kepada ketentuan (takdir) yang baik maupun yang buruk.”
Iman, Islam dan Amal
Shalih ?
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-
berkata: “Kata ‘iman’ terkadang disebutkan secara terpisah dari kata ‘Islam’,
amal sholeh, atau yang lainnya, namun terkadang disebutkan secara bersamaan,
sebagaimana hadits Jibril: “Apa itu Islam…?, apa itu iman?...”. Sebagaimana juga firman Allah –ta’ala-:
(إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ...) الأحزاب/35
"Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min…”.
(QS. Al Ahzab: 35)
Sebagaimana
firman Allah yang lain:
(قَالَتِ
الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا
يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ) الحجرات/14
“Orang-orang
Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada
mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah
tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. (QS. Al Hujurat:
14)
(فَأَخْرَجْنَا
مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ . فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ)
.
“Lalu Kami
keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan
Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang
berserah diri”. (QS. Qdz Dzariyat: 35-36)
Jika iman
dan Islam disebutkan secara bersamaan, maka Islam berarti amalan yang dzahir,
seperti: dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji.
Sedangkan
iman adalah amalan yang berada di hati, seperti: iman kepada Allah, malaikat,
kitab suci, para Rasul dan hari akhir.
Ketika iman
saja yang disebutkan, maka ia juga mewakili Islam dan amal shaleh, sebagaimana
sabda Rasulullah dalam hadits “sya’b” (cabang iman):
(الإيمان
بضع وسبعون شعبة ، أعلاها : قول لا إله إلا الله ، وأدناها : إماطة الأذى عن الطريق) .
“Iman itu
ada tujuh puluh sekian cabang iman, yang tertinggi adalah ‘la ilaha illallah’
(tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah), dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan yang ada di jalanan”.
Dan semua
hadits-hadits yang menjadikan semua bentuk kebaikan adalah bagian dari pada
iman. (Majmu’ Fatawa: 7/13-15)
Hadits
di atas dikenal dengan hadits Jibril dan induknya hadits. Dari
hadits tersebut, para ulama mengatakan bahwa Islam memiliki tiga tingkatan,
yaitu: (1) Islam, (2) Iman dan (3) Ihsan; masing-masing tingkatan ini memiliki
rukun. Berikut ini adalah penjelasan secara singkat mengenai ketiga tingkatan
tersebut.
Antara Islam, Iman, dan Ikhsan ?
1. Islam
Dalam hadits Jibril, dikatakan bahwa Islam adalah (1)
mengakui bahwa ‘Tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali Allah
dan mengakui Muhammad adalah utusan-Nya, (2) menegakkan shalat, (3) menunaikan
zakat, (4) menunaikan puasa Ramadhan, dan (5) berhaji ke Baitullah bagi yang
mampu. Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan bahwa islam memiliki lima rukun.
Yang pertama, seorang muslim harus bersyahadat dengan lisan dan meyakini syahadat tersebut dalam hatinya. Dan perlu diperhatikan bahwa makna kalimat syahadat ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Jika seseorang sudah mengucapkan dan meyakini demikian, maka tidak pantas baginya untuk menjadikan para Nabi, malaikat, para wali dan orang-orang sholih sebagai sesembahan semisal menjadikan mereka sebagai perantara dalam berdo’a. Karena apa saja yang disembah selain Allah adalah sesembahan yang bathil. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil.” (QS. Al Hajj [22] : 62).
Yang pertama, seorang muslim harus bersyahadat dengan lisan dan meyakini syahadat tersebut dalam hatinya. Dan perlu diperhatikan bahwa makna kalimat syahadat ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Jika seseorang sudah mengucapkan dan meyakini demikian, maka tidak pantas baginya untuk menjadikan para Nabi, malaikat, para wali dan orang-orang sholih sebagai sesembahan semisal menjadikan mereka sebagai perantara dalam berdo’a. Karena apa saja yang disembah selain Allah adalah sesembahan yang bathil. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil.” (QS. Al Hajj [22] : 62).
2.Iman
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin
Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul
Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para
pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa
definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan
amal dengan anggota badan. Para ulama
salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan.
Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang,
sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali,
hal. 9).
Imam Asy
Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan
perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab
ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah
dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.”
(Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan
Imam Bukhari rahimahullah
mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari
berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya
iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
Iman secara bahasa berarti pembenaran (tashdiq). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanyakan oleh Jibril ‘alaihis
salam mengenai iman, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,”Iman adalah (1) engkau beriman kepada
Allah, (2) kepada malaikat-Nya, (3) kepada kitab-kitab-Nya, (4) kepada
rasul-rasul-Nya, (5) kepada hari akhir dan (6) beriman kepada takdir yang baik
dan buruk.” Jadi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman memiliki enam rukun.
Apabila salah satu rukun ini tidak dipenuhi maka tidak disebut orang beriman.
Namun, dalam
rukun Iman di dalamnya ada kadar (batasan) wajib di mana keislaman seseorang
tidaklah sah (baca : bisa kafir) kecuali dengan memenuhinya.
Batasan
wajib dalam beriman kepada Allah adalah meyakini bahwa Allah adalah Rabb alam
semesta, Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta; Allah-lah yang berhak
ditujukan ibadah dan bukan selain-Nya; dan Allah memiliki nama dan sifat yang
sempurna yang tidak boleh seseorang mensifati-Nya dengan makhluk-Nya, tidak
boleh nama dan sifat tersebut ditolak keseluruhan atau pun sebagiannya setelah
datang penjelasan mengenai hal ini.
3.Ihsan
Dalam hadits
Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak
mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian ihsan
dan rukunnya.
Dalam
pengertian ihsan ini terdapat dua tingkatan. Tingkatan pertama disebut
tingkatan musyahadah yaitu seseorang
beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa
yang dimaksudkan di sini adalah bukan
melihat zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya. Apabila seorang hamba
sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia
akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada sifat-sifat-Nya. Dan inilah
tingkatan tertinggi dalam derajat Ihsan.
Tingkatan
kedua disebut dengan tingkatan muroqobah
yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia
yakin Allah melihatnya. Dan tingkatan inilah yang banyak dilakukan oleh
banyak orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah
memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya.
Dalam
tingkatan ihsan ini ada juga kadar wajib yang harus ditunaikan oleh
setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah. Kadar yang wajib di
sini adalah seseorang harus memperbagus amalannya dengan mengikhlaskannya
kepada Allah dan harus mencocoki amalan tersebut dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun kadar yang disunnahkan (dianjurkan) adalah seseorang beramal pada
tingkatan muroqobah atau musyahadah sebagaimana dijelaskan
di atas.
Sumber:1.http://muslim.or.id 2.http://rumaysho.com
3.http://islamqa.info 4.https://islamagamaku.wordpress.com
Jakarta 29/10/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar