MEMAHAMI IHSAN ?
إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ (النحل: 90)
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Qashshash: 90)
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu.” (QS. Al-Qashshash:
77)
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ .
“Engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Muqaddimah
Sabda Beliau tentang ihsan, “Jika kamu tidak merasa begitu (ketahuilah)
bahwa Dia melihatmu” yakni tetaplah untuk memperbagus ibadah,
karena dia senantiasa melihatmu. Dengan
merasakan pengawasan Allah, seseorang dapat memperbagus ibadahnya, seperti
mengerjakannya dengan sempurna syarat dan rukunnya, serta memperhatikan
sunnah-sunnah dan adabnya.
Penjelasan
Beliau tentang ihsan sangat bagus dan tepat sekali. Beliau tidak menerangkan
ihsan adalah memperbagus dan memperbaiki ibadah, tetapi cukup mengatakan, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak merasa begitu, ketahuilah
bahwa Dia melihat-Mu”. Karena dengan adanya rasa dilihat, diawasi
dan diperhatikan oleh Allah, seseorang dengan sendirinya akan memperbagus dan
memperbaiki ibadahnya. Ibarat seorang pembantu yang bekerja dengan serius,
telaten, dan rapi karena merasa diawasi majikannya. Berbeda jika tidak adanya
perasaan demikian, tentu akan membuat seseorang bermalas-malasan dan tidak
sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan.
Sabda
Beliau, “Yang ditanya tidaklah lebih
mengetahui dari yang bertanya”, maksudnya adalah sama-sama tidak
mengetahui kapan kiamat, hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Sabda
Beliau, “Jika seorang budak melahirkan
tuannya” ada beberapa tafsiran, yaitu: (1) Akan banyaknya
budak-budak wanita yang melahirkan anak, seakan-akan budak-budak wanita itu
adalah budak milik si anak, karena budak-budak itu milik bapak si anak. Di sini
terdapat isyarat akan banyaknya penaklukkan negeri. (2) Budak-budak wanita
melahirkan anak yang akan menjadi raja-raja, hingga akhirnya si budak wanita
selaku ibu menjadi rakyatnya, (3) Menunjukkan sudah rusaknya zaman, di mana ummahaatul aulaad (budak-budak
yang melahirkan anak) banyak yang dijual, lalu ada seorang anak yang membeli
ibunya sedangkan ia tidak tahu kalau itu ibunya, (4) Banyaknya
pembangkangan/durhaka anak terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak
memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan
budaknya.
Pengertian
Ihsan ?
Ihsan
berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan
bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman
dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
“Jika
kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’:
7)
“Dan
berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik
terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu
Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.
Tiga
Aspek Pokok dalam Ihsan
Ihsan
meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah,
muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali
ini.
1.
Ibadah
Kita
berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah,
seperti shalat, puasa, haji, dan
sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah,
dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang
hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan
cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa
Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan
diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa
memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut
dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang
diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi,
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau
tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya
Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah
mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing
seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena
itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri
dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul
Firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat
bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana
penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya jarak
antara mereka.
Adapun
tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
- Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
- Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
- Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama,
Tingkat Takwa
Tingkat
takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk
kategori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan masing-masing.
Takwa
akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan
seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah
dapat mengakibatkan sanksi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa.
Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan
meninggalkan semua larangan-Nya.
Kedua,
Tingkat al-Bir
Peringkat
ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan
amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah swt. hal ini dilakukan
setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat
sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
Peringkat
ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan
pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang
wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus
terdapat janji pahala di dalamnya.
Ketiga,
Tingkatan Ihsan
Tingkatan
ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah
orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat
takwa dan al-bir).
Ketika
kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna —seperti yang telah kita
sebutkan sebelumnya– maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan
memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil
menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata
cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan
sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu
yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk
dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui
amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta
dilakukan atas dasar mencari ridha Allah swt.
Ihsan
dalam Pengertian Sufi ?
Para
ulama sufi dalam mengartikan kata ini menjadi dua pengertian. Di antara mereka
ada yang mengartikannya dengan pemahaman benar yang tidak melenceng dari makna
hadits (Lihat arti ihsan sebagaimana yang dikatakan oleh al Kasani dalam Mu’jamul
Istilaahat As Sufiyah al Kasani hal 286), dan banyak di antara mereka yang
berani mengartikan kata ihsan dengan pemahaman wihdatul wujud.
Mereka
mengatakan yang dimaksud ihsan pada pemahaman kedua yang salah bahwa ihsan
adalah, “penglihatan diri Allah kepada hamba-Nya, dan penglihatan diri hamba
kepada Rabbnya. Semisal suatu cermin di mana seorang dapat melihat dirinya di
cermin tersebut. Orang yang Muhsin dia adalah seseorang yang dapat melihat
al-Haq/Allah yang bersifatkan dengan sifat seorang hamba, maka hamba
melihat-Nya berada dibalik sifat-sifatnya dengan tanpa perbedaan, dengan penuh
keyakinan. Maka ia tidaklah melihat al haqiqah dengan haqiqah. Karena Allah ta’ala
yang memperlihatkan sifat padanya dengan sifatnya.” (Lihat Istilah Al Kasani
hal 53).
Di
mana dalam pengertian di atas mereka telah menjadikan makna muraqabah /
perasaan diri terhadap pengawasan Allah dengan penglihatan kepada Allah yang
sebenarnya di segala hal (Lihat Lathaaif I’lam, 1/178).
Perbedaan
Ihsan dengan Tasawuf ?
Ihsan
dalam islam adalah tingkatan tertinggi di mana seorang hamba merasakan seakan
dilihat dan diawasi oleh Allah, sehingga berpengaruh dari setiap perilakunya.
Namun ia tidak berkeyakinan bahwa ia bisa melihat Allah, karena Allah tidak
mungkin dilihat di dunia ini. Sebagaimana kisah Nabi Musa yang ingin melihat
Allah, maka Allah mengatakan: “Kamu sekali-kali tak sanggup untuk
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Rabbnya menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh
pingsan.” (QS. Al-A’raf :143)
Karenanya,
ihsannya islam adalah merupakan dari realisasi akidah yang kuat, sedangkan
ihsannya sufi atau di dalam ajaran sufi secara umum telah banyak dilumuri
dengan kesyirikan dan penyimpangan dalam berakidah. Dengan pengartian kata
ihsan kepada wihdatul wujud atau penglihatan mata telanjang hamba kepada dzat Allah
di dunia ini, atau dengan membayangkan dzat wali-wali mereka ketika shalat.
Sumber:1.https://salafymuda.wordpress.com
2.http://www.dakwatuna.com 3.http://muslim.or.id
Jakarta 29/10/2015
Sangat membantu artikel nya.. Semoga sukses selalu, jangan lupa kunjungi n share juga website Mp3 kami http://resaughiemp3.exnaid.com
BalasHapus