Hakikat
Tasawuf ?
Makna
Sufi
Nama dan ajaran Sufisme tidak pernah dikenal atau ada pada masa kehidupan Rasul shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabat dan Tabi’in. kemudian setelah itu muncul sekelompok orang zuhud yang mengenakan pakaian sangat sederhana yang disebut dengan shuuf (kulit domba) dan dari situlah awal penamaan sufi. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata sufiya yang dalam buku-buku falsafah Yunani diartikan dengan hikmah.
Nama dan ajaran Sufisme tidak pernah dikenal atau ada pada masa kehidupan Rasul shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabat dan Tabi’in. kemudian setelah itu muncul sekelompok orang zuhud yang mengenakan pakaian sangat sederhana yang disebut dengan shuuf (kulit domba) dan dari situlah awal penamaan sufi. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata sufiya yang dalam buku-buku falsafah Yunani diartikan dengan hikmah.
Bashrah,
sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan
Sufi. Yang mana (di masa tabi’in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai
berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang
belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam),
hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu
domba (Shuuf). Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian
semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan Sufi, sebagai nisbat
kepada Shuuf (Lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam mengenai hal ini. Majmu’
Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16).
Oleh
karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena nisbat kepadanya
dinamakan Shuffi, bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah ta’ala,
karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi, bukan pula nisbat kepada makhluk
pilihan Allah karena nisbat kepadanya adalah Shafawi dan bukan pula nisbat
kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa
dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut
dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Yang
jelas munculnya nama baru ini ternyata membawa dampak bagi kaum muslimin, di
mana akhirnya ajaran Sufi ini pecah menjadi sekian banyak aliran (tarekat) dan
sufi yang berkembang sekarang ini lebih banyak kebid’ahan dan penyimpangannya
dibanding pendahulunya.
Makna
Sufi Menurut Orang Sufi
Mereka pun telah berbeda dalam menafsirkan kata sufi itu sendiri, yang menunjukkan bahwa kalimat ini tidak berdasar dan menimbulkan berbagai pemecahan dengan berbagai nama yang dipakai, semisal perkataan Al-Khur’i, “Tasawuf adalah mengambil kepada (ilmu) hakikat dan berputus asa dengan apa yang ada di tangan para makhluk.” (Lihat ‘Awariful Ma’arif hal 62, Syahrudi, Cet. Darul Ma’arif-Beirut). Dikatakan oleh Junaid, “Tasawuf adalah kamu bersama Allah dengan tanpa hubungan.” (Lihat at-Ta’aruf limazhhab ahlut Tashawwuf, hal 34, Kalabazi)
Mereka pun telah berbeda dalam menafsirkan kata sufi itu sendiri, yang menunjukkan bahwa kalimat ini tidak berdasar dan menimbulkan berbagai pemecahan dengan berbagai nama yang dipakai, semisal perkataan Al-Khur’i, “Tasawuf adalah mengambil kepada (ilmu) hakikat dan berputus asa dengan apa yang ada di tangan para makhluk.” (Lihat ‘Awariful Ma’arif hal 62, Syahrudi, Cet. Darul Ma’arif-Beirut). Dikatakan oleh Junaid, “Tasawuf adalah kamu bersama Allah dengan tanpa hubungan.” (Lihat at-Ta’aruf limazhhab ahlut Tashawwuf, hal 34, Kalabazi)
Bahaya
Sufi ?
Bila diperhatikan, bahwa ternyata ajaran sufi selama ini dampak negatifnya sangatlah besar, baik dari sisi akidah seseorang, ibadah dan akhlak.
Bila diperhatikan, bahwa ternyata ajaran sufi selama ini dampak negatifnya sangatlah besar, baik dari sisi akidah seseorang, ibadah dan akhlak.
Di
antara bahaya ajaran sufi antara lain adalah (lihat Talbis Iblis hal
374):
1.
Memalingkan manusia dari Al-Qur’an dan Al Hadits dengan berbagai cara,
misalnya:
- Tuduhan bahwa menghayati Al-Qur’an semata dapat memalingkan seseorang dari pandangan Allah.
- Tuduhan bahwa pahala membaca zikir mereka lebih besar pahalanya dari membaca Al-Qur’an.
- Tuduhan bahwa memahami dan menafsirkan Al-Qur’an adalah untuk para guru-guru mereka, sedangkan orang awam tidak boleh atau tidak bisa memahaminya.
- Tuduhan bahwa Al-Qur’an dan hadits adalah tingkatan syariat dan ilmu yang nampak. Sedangkan ilmu laduni menurut mereka ia adalah paling sempurna dan lebih tinggi dari Al-Qur’an.
2.
Membuka celah untuk menafsirkan nash-nash Al-Qur’an atau hadits sekehendak
nafsu mereka. Semisal: penafsiran Amin dengan “Menuju kepada Engkau”. Mereka
menafsirkan ayat 219 dalam surat Al-Baqarah:
وَيَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
“Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih
dari keperluan.”
Dan
kata al Al ‘afwu dalam ayat di atas diartikan dengan kelebihan atau tambahan,
sehingga tidak boleh menyimpan harta yang lebih dan harus di infakkan
seluruhnya bila telah melebihi kebutuhan primernya, dsb.
3.
Merusak akidah islamiyah yang benar.
Di antaranya dalam masalah wihdatul wujud, para wali punya kekuatan untuk mengatur dunia dsb. Yang bila diamati bahwa akidah sufiyah adalah gado-gado dari berbagai keyakinan-keyakinan sesat yang telah diracik menjadi barang yang menarik bagi orang-orang yang jahil.
Di antaranya dalam masalah wihdatul wujud, para wali punya kekuatan untuk mengatur dunia dsb. Yang bila diamati bahwa akidah sufiyah adalah gado-gado dari berbagai keyakinan-keyakinan sesat yang telah diracik menjadi barang yang menarik bagi orang-orang yang jahil.
4.
Dakwah kepada kefasikan, bidah dan pembolehan segala sesuatu.
Berkata Imam Syafi’i, “jika seorang menjadi sufi di pagi hari maka tidaklah datang waktu zuhur kecuali ia telah menjadi dungu.” (Talbis Iblis 370)
Berkata Imam Syafi’i, “jika seorang menjadi sufi di pagi hari maka tidaklah datang waktu zuhur kecuali ia telah menjadi dungu.” (Talbis Iblis 370)
Kesesatan
Sufi (Sumber: alsofwah.or.id: Ash-sufiyah fil Mizanil Kitab was Sunnah, Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu (Dept. Ilmiah):
Berikut
ini penjelasan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tentang beberapa pokok ajaran
sufi beserta tinjauannya dari pandangan Al-Qur’an dan Sunnah:
1.
Ajaran sufisme memiliki thariqat yang sangat banyak, masing-masing mengklaim
bahwa thariqatnya yang paling benar. Padahal Al-Qur’an melarang itu semua
sebagaimana dalam firman Allah:
وَلا تَكُونُوا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ، مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ
حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (QS. Ar Rum: 31-32). Nabi shallallahu
‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa tarekat atau jalan yang lurus
hanyalah satu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Ibnu Mas’ud.
2.
Ajaran sufisme membolehkan berdoa kepada selain Allah, baik itu nabi, para wali
yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Di antara mereka ketika
beristighatsah ada yang mengucapkan: “Ya Syaikh Abdul Qadir Jailani, Ya Rifai
atau ya Nabi kepadamulah kami bersandar dan minta pertolongan.” Ini menyalahi
firman Allah:
وَلا تَدْعُ
مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ
إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula)
memberi mudarat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian
itu) maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. 10:106)
3.
Ajaran sufisme meyakini adanya Abdal (wali badal), Aqthab (wali kutub) dan
wali-wali lain yang diserahi oleh Allah mengatur segala urusan dan perkara di
alam ini. Padahal orang-orang musyrik saja sebagaimana dikisahkan dalam
Al-Qur’an mengetahui bahwa yang mengatur semua urusan adalah Allah.
4.
Sebagian penganut sufisme meyakini wihdatul wujud (alam adalah satu kesatuan
sebagai wujud Rabb), ittihad atau hulul (bersatunya hamba dengan rabb) sehingga
tidak ada beda antara khaliq dan makhluk. Ajaran ini disebarkan oleh Ibnu Arabi
yang dalam penggalan syairnya ia berkata: “Hamba adalah Rabb dan Rabb adalah
hamba.” (Al Futuhat Al Makiyyah, Ibnu Arabi). Ajaran ini sangat
keterlaluan karena orang yang musyrik atau sangat bodoh sekalipun akan bisa
membedakan dirinya dengan Rabb (Tuhan).
5.
Sebagian kaum sufi mengajarkan zuhud dalam kehidupan, namun dengan cara
meninggalkan sebab-sebab atau usaha dan jihad (berjuang) padahal Allah telah
berfirman:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu.” (QS. Al-Qashshash:
77)
Dan
firman-Nya:
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (QS. 8:60)
6.
Tingkatan ihsan dalam sufi adalah ketika mereka berzikir (kepada Allah), mereka
membayangkan syaikh mereka bahkan ketika shalat pun demikian, tidak jarang di
antara mereka yang menghadap gambar syaikhnya ketika shalat. Ini bertentangan
dengan makna hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim bahwa Ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah kita
melihat-Nya.
7.
Dalam tasawuf seseorang tidak boleh beribadah kepada Allah karena takut neraka
dan karena mengharap surga. Padahal Allah memuji para Nabi yang berdoa
kepada-Nya karena mengharap surga dan karena takut akan Siksa-Nya. Firman
Allah, artinya: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu
bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa
kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS. 21:90), yakni mengharap surga dan
cemas akan siksa dan azab Allah.
8.
Ajaran Sufisme membolehkan mengeraskan suara dalam do’a atau zikir dan
terkadang diiringi alat musik dan disertai tari-tarian sedang Allah telah
berfirman:
ادْعُوا
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah
kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. 7:55)
9.
Sebagian kaum sufi tidak malu-malu menyebut nama khamar, mabuk, wanita dan
jatuh cinta dalam syair-syairnya dan terkadang itu dibaca dalam acara-acara
yang diadakan di masjid, sambil diiringi tepuk tangan dan teriakan-teriakan.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa bertepuk tangan merupakan adat orang-orang
musyrik dalam ibadah mereka. Firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ
صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ
بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.
Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS. 8:35)
10.
Sebagian orang Sufi ada yang senang melakukan atraksi-atraksi tertentu,
misalnya menusuk, memukul diri dengan besi lalu ia memanggil ya jaddah (wahai
eyang) sehingga ia tidak sakit atau terluka. Sebagian orang jahil menyangka
bahwa ini adalah karamah padahal tidak lain adalah istidraj (pemberian yang
menjerumuskan).
11.
Orang-orang Sufi meyakini metode kasyf untuk menyingkap perkara-perkara gaib.
Padahal tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah sebagaimana
Firman-Nya:
قُلْ لا
يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا
يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib,
kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. 27:65)
12.
Orang Sufi berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa Sallam
diciptakan oleh Allah dari nur-Nya. Kemudian dari Nur Muhammad diciptakan alam
ini. Sedang Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
Sallam adalah manusia biasa yang diberi wahyu, dalam pengertian bahwa beliau
anak turun Nabi Adam yang diciptakan dari tanah dan terlahir melalui seorang
ibu. Firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
“Katakanlah:
“Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa.” (QS. Al-Kahfi: 110)
13.
Kaum Sufi punya keyakinan bahwa dunia dan seisinya diciptakan karena Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa Sallam padahal Allah telah berfirman
bahwa jin dan manusia diciptakan adalah untuk beribadah:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. 51:56)
14.
Di antara orang Sufi ada yang mengaku bisa bertemu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa Sallam (setelah beliau meninggal) dalam keadaan terjaga atau
sadar penuh. Ini adalah sesuatu kedustaan, karena Al-Qur’an menjelaskan bahwa
alam barzah itu terdinding sehingga tidak mungkin orang yang telah meninggal
kembali lagi ke dunia, Firman Allah ta’ala:
وَمِنْ
وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Dan
di hadapan mereka (yang telah meninggal) ada dinding sampai hari mereka
dibangkitkan.” (QS. 23:100)
15.
Sebagian penganut tasawuf ada yang mengaku bahwa ia mendapat ilmu langsung dari
Allah tanpa melalui Rasul shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ibnu Arabi
mengatakan: “Dan di kalangan kami ada yang mengambil ilmu langsung dari Allah,
maka ia menjadi pengganti Allah (Khalifatullah).” Ini adalah ucapan yang batil,
karena Al-Qur’an menjelaskan bahwa perintah dan larangan Allah disampaikan
melalui Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Hai
Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (QS. Al-Maidah: 67). Kemudian seseorang tidak akan mungkin
jadi pengganti Allah, karena Allah tidak akan bisa lupa atau terlengah dalam
mengawasi makhluk-Nya, justru Allah yang menjadi pengganti dalam menjaga
keluarga kita, ketika kita sedang safar (bepergian) oleh karena itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa Sallam mengajarkan do’a: “Ya Allah Engkaulah teman dalam
safar dan pengganti dalam keluarga.” (HR. Muslim)
16.
Kaum sufi merayakan maulid dengan berkumpul dan menamakannya Majelis shalawat
Nabi. Sebagian mereka beri’tiqad bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam
datang dalam acara tersebut dan bisa menolong mereka.
17.
Kebanyakan orang sufi bersusah-payah menyiapkan bekal dan uang, sekedar untuk
menziarahi kubur tertentu dan bertabarruk (mencari berkah) di sana, dan ada
pula yang menyembelih binatang atau tawaf. Ini melanggar larangan Rasul shallallahu
‘alaihi wa Sallam, dalam sebuah sabdanya, yang artinya: “Tidak boleh
bersusah payah menyiapkan bekal untuk berpergian kecuali ke tiga masjid :
Masjidil Haram, Masjidku ini (Nabawi), dan Masjidil Aqsha.” (Muttafaq ‘Alaih).
Yang dimaksud bepergian dalam hadits di atas adalah dalam rangka ibadah atau
mendatangi tempat-tempat yang dianggap mulia.
18.
Kaum Sufi sangat fanatik dengan perkataan syaikhnya (gurunya), walaupun
terkadang ucapan itu tidak sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
Sallam. Firman Allah:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah.” (QS. 49:1)
19.
Kaum sufi banyak menggunakan Thalasim (rajah), huruf-huruf, dan angka-angka
dalam memilih (baca: meramal), juga ada yang menggunakan jimat dan pengasihan.
Ini termasuk perbuatan Arraf (tukang ramal) yang berbuat kesyirikan.
20.
Kaum sufi senang membikin-bikin shalawat yang isinya terkadang mengandung
kemusyrikan dan jarang menggunakan shalawat yang telah diajarkan oleh
Rasulullah.
Faktor
Kesesatan Sufi
- Mencari hidayah di luar Al-Qur’an dan as Sunnah.
- Keyakinan terhadap ajaran hakikat yang menyelisihi syariat islam.
- Berlebih-lebihan dalam memuliakan Rasul dan para wali.
- Pengaruh dari pemikiran Yunani.
Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah (ulama yang dibunuh oleh kelompok syiah)
berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran sufi periode pertama dan terakhir, dan
juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang
terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda
dengan ajaran Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul
ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad shallallahu
‘alaihi wa Sallam, dan juga dalam sejarah para sahabatnya yang mulia, serta
makhluk-makhluk pilihan Allah ta’ala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nasrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Budha.” (At
Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)
Buku
referensi (lihat kitab Al Mausuah Al Muyassaroh Fil Adyan Wal Mazahib Wal
Ahyab Al Muashiroh):
- Thalai’ As Shufiyah, Abul Azaim Jadul Karim bakir.
- Fadhoihu as Sufiyah, Abdurrahman Abdul Khalik.
- Hakikah Tasawwuf, Shaleh Fauzan.
- At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir
- Almausuah al muyassaroh fil adyan wal mazahib wal ahyab al Muashiroh
- Ash-sufiyah fil Mizanil Kitab was Sunnah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
- Maarij al Qabul, Hafizh bin Ahmad Al Hakamy
- Mu’jamul Istilahat As Sufiyah al Kasani
- Madaarijus Saalikiin, Ibnul Qayyim Al Jauziyyah
- Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
- Al-Mu’jam as Syufi, Dr. Mahmud Abdurrazak
- Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab.
- ‘Awariful Ma’arif, Syahrudi.
- At-Ta’aruf limazhab ahlu Tasawwuf, Kalabazi.
- Talbis Iblis, Ibnul Jauzi.
Sumber: 1.https://salafymuda.wordpress.com
Jakarta 29/10/2015
WIS BAE BAKA BLI NGARTI AJA NYALAKENANG WONG SEJEN
BalasHapus