MEMATUHI ULIL
AMRI MINKUM ?
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil
amri di antara kalangan kalian”.
(QS.
An Nisaa’ [4]: 59)
عليكم بسنتي
وسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِييْنَ مِنْ بَعْدِي ، تَمَسَّكُوا
بها، وعَضُّوا عليها بالنَّوَاجِذِ ،وإيَّاكُم ومُحْدَثَاتِ الأمورِ؛ فإِنَّ كلَّ
بدعةٍ ضلالةٌ
“Wajib bagi kalian untuk berpegang pada
sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin sepeninggalku. Peganglah ia erat-erat,
gigitlah dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang
diada-adakan karena setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At
Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”).
Muqaddimah
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ
اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Barangsiapa
kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang teguh
pada al ‘urwah al wutsqa”. (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Al ‘urwah al
wutsqa adalah buhul tali yang amat
kokoh, yaitu Laa ilaaha illallaah, artinya barangsiapa kafir kepada thaghut dan
iman kepada Allah, maka dia itu adalah orang yang mengamalkan Laa ilaaha
illallaah, orang yang sudah masuk Islam, karena pintu masuk Islam adalah dengan
perealisasian Laa ilaaha illallaah sebagaimana ini adalah rukun Islam yang pertama.
Firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Ali Imran [3]: 64 :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا
وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah
(Muhammad): “Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan
tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai arbaab
(tuhan-tuhan) selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”.
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudara kalian satu agama”. (QS. At Taubah [9]: 11)
Jika mereka
bertaubat (dari kemusyrikannya), maka mereka adalah saudara satu agama,
maksudnya mereka itu orang-orang muslim, karena sesama muslim adalah saudara,
sebagaimana dalam surat Al Hujurat
[49]: 10 :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara”.
Imam Asy
Syafi’i rahimahullah juga berkata:
أجمع الناس على
أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد
من الناس
“Para ulama
bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela
pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 ).
Dalam hadits Al Bukhariy
dan Muslim Dari Ibnu Umar radliyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada
ilaah (yang haq) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, bila mereka melakukan hal itu, maka
mereka terjaga darah dan hartanya dari saya, kecuali dengan hak Islam,
sedangkan perhitungan mereka adalah atas Allah”
Dalam hadits Al Bukhariy dari Abu Malik Al
Asyja’iy radliyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Siapa yang mengucapkan Laa
ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain
Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedang perhitungannya atas Allah
ta’ala”.
Siapa Ulil Amri Minkum ?
Para
mufassir banyak memberikan keterangan ketika
menafsirkan siapakah Ulil Amri dalam surat An Nisa’ ayat 59, kesimpulannya
adalah sebagai berikut:
- Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman dan memerintah dengan adil.
- Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat.
- Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati secara mutlak baik ketika hukumnya bersesuaian dengan hukum syar’i ataupun menyelisihi. Ulil amri seperti ini tidak sah. Point ini akan dijelaskan lebih rinci dalam pembahasan berikutnya.
Syaikh
Abdullah bin Umar bin Sulaiman
Ad-Dumaiji dalam kitabnya, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl As-Sunnah wa
Al-Jamâ‘ah, hlm. 233-295, mengemukakan syarat-syarat tersebut sebagai
berikut.
Islam, Baligh, Berakal sehat, Merdeka, Laki-laki, Berilmu, Adil, Kecakapan Mental, Kecakapan Fisik, Tidak Ambisius, Berasal dari kalangan Quraisy (Syarat ini terutama berlaku dalam al-imamah al-uzhma (khilafah) jika memang ada calon dari suku Quraisy yang mampu dan memenuhi syarat-syarat sebelumnya).
Islam, Baligh, Berakal sehat, Merdeka, Laki-laki, Berilmu, Adil, Kecakapan Mental, Kecakapan Fisik, Tidak Ambisius, Berasal dari kalangan Quraisy (Syarat ini terutama berlaku dalam al-imamah al-uzhma (khilafah) jika memang ada calon dari suku Quraisy yang mampu dan memenuhi syarat-syarat sebelumnya).
Ada
pernyataan penting dari Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari
mengenai penguasa yang tidak menerapkan syariat Islam. Pernyataan itu dia tulis
dalam bukunya, Al-Wajîz fî ‘Aqîdah As-Salaf Ash-Shâlih Ahl As-Sunnah wa
Al-Jamâ‘ah.
“Adapun
para pemimpin yang meniadakan syariat Allah dan tidak berhukum kepadanya, akan
tetapi berhukum kepada selainnya, maka mereka keluar dari hak (memperoleh)
ketaatan dari kaum muslimin. Tidak ada ketaatan bagi mereka dari rakyat, karena
mereka menyia-nyiakan fungsi-fungsi imamah yang karenanya mereka dijadikan
pemimpin dan berhak didengarkan, ditaati serta tidak diberontak. Karena, wali
(pemimpin) tidak berhak mendapatkan itu, kecuali ia menunaikan urusan-urusan
kaum muslimin, menjaga dan menyebarkan agama, menegakkan hukum, menjaga
perbatasan, berjihad melawan musuh-musuh Islam setelah mereka diberi dakwah,
ber-wala’ kepada kaum muslimin, dan memusuhi musuh-musuh agama.
Syaih Abdur Rahman As-Sa’di berkata:(dalam ayat ini) Allah
memerintahkan (kaum mukminin) untuk taat kepadaNya dan kepada
Rasul-Nya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun
yang sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga memerintahkan
(kepada kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil amri, yaitu orang yang
mengurusimkepentingan ummat, baik itu umarah, pemerintah ataupun muft-mufti
karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia kecuali dengan
taat kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka dalam rangka taat
kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisiNya. Akan tetapi dengan
syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Menyoroti
ayat ini, Ibnul Qoyyim berkata dalam I'lamul Muwaaqi'in 1/38 : "(Dalam
ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimmin) unutk taat kepada-Nya dan kepada
rasul-Nya,dan Allah mengulang fi'il (=taatilah) sebagai i'lam (pemberitahuan)
bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih
dahulu kepada apa yang diperintahkan allah dalam Al-Quran. Jadi, kalau
rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati
secara mutlak, baik perintah itu ada dalam alquran ataupun tidak,karena
Rasulullah shalallahu alahi wasallam diberi Al-Quran dan juga yang semisalnya (
As-Sunnah).”
“Dalam ayat ini juga, Allah
memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah membuang
fi'il (AYAT) dan menjadikannya didalam kandungan taat kepada Rasul, sebagai
pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu ditaati dalam rangka taat kepada
Rasul." (Lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad
fil Ahkam Al-Aqaid hal. 11-12).
Hadits-hadits yang memerintahakan untuk taat kepada Ulil Amri sangat banyak dan bisa dijumpai dalam kitab-kitab jadits yang ditulis oleh para ulama. Di sini akan disebutkan beberapa hadits shahih tentang masalah ini :
Hadits-hadits yang memerintahakan untuk taat kepada Ulil Amri sangat banyak dan bisa dijumpai dalam kitab-kitab jadits yang ditulis oleh para ulama. Di sini akan disebutkan beberapa hadits shahih tentang masalah ini :
Dari
Abdullah bin Umar dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada sulthan), baik dalam perkara yang dia senangi maupun yang dia benci, kecuali kalau dia diperintah dalam perkara maksiat, maka dia tidak boleh mendengar atau taat." (HR. Bukhari 4/329 Musnad 3/1469)
"Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada sulthan), baik dalam perkara yang dia senangi maupun yang dia benci, kecuali kalau dia diperintah dalam perkara maksiat, maka dia tidak boleh mendengar atau taat." (HR. Bukhari 4/329 Musnad 3/1469)
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dia berkata :
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wajib atasmu untuk mendengar dan taat (kepada sulthan) dalam kesulitan dan kemudahanmu, dalam perkara yang menyenangkan dan yang kamu benci, dan tidak kamu sukai." (HR. Muslim 3/1467)
Berkata Ibnu Abil Aziz Al-Hanafi : "Adapun hikmah komitmen dalam mentaati mereka (Umara) sekalipun mereka dhalim adalah karena memberontak dan tidak taat kepada mereka akan mengakibatkan kerusakan yang fatal, lebih dari kedhaliman mereka sendiri, bahkan bersabar dalam menghadapi kedhaliman mereka itu bisa menghapuskan dosa-dosa dan bisa melipatgandakan pahala. Ini karena Allah tidak menguasakan mereka atas kita melainkan karena rusaknya amalan kita. Maka wajib bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam beristighfar, taubat dan memperbaiki amal. Allah berfirman (yang artinya)” :
"Dan apa saja yang meninpa
kamu maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura : 30)
“Maka apabila rakyat ingin lepas dari belenggu kedhaliman Umara, maka hendaklah mereka itu (rakyat) meninggalkan kedhaliman pula." (Syarh Aqidah Thahawiyyah 370)
“Maka apabila rakyat ingin lepas dari belenggu kedhaliman Umara, maka hendaklah mereka itu (rakyat) meninggalkan kedhaliman pula." (Syarh Aqidah Thahawiyyah 370)
Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu 'anhu, dia
berkata : Kekasihku (Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam) pernah berwasiat
kepadaku :
"Dengar dan taatilah (Umara), sekalipun budak Habasyi yang juling matanya." Dan dalam riwayat Bukhari : "sekalipun diperintah oleh budak Habasyi yang panjang dan lebat rambut kepalanya." (HR. Muslim 3/1467 dan Bukhari 1/30)
"Dengar dan taatilah (Umara), sekalipun budak Habasyi yang juling matanya." Dan dalam riwayat Bukhari : "sekalipun diperintah oleh budak Habasyi yang panjang dan lebat rambut kepalanya." (HR. Muslim 3/1467 dan Bukhari 1/30)
Ikhtitam
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maaidah [5]: 44 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah
orang-orang kafir”.
Dan
firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maaidah [5]: 50)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa
orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah dihapus adalah kafir, beliau
menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu
‘Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum
(Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang
mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya daripada ajaran Allah,
maka dia kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119)
Sumber:1.http://www.geocities.ws 2http://www.kiblat.net
3.https://millahibrahim.wordpress.com
Jakarta 8/10/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar