IBADAH
MENDATANGKAN KEBERKAHAN HIDUP ?
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Muqaddimah
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak
ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan
dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan
dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka
lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang
selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu
setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari
no. 39. Lihat penjelasan hadits ini di Fathul Bari)
Dalam
beribadah apapun, kita dituntut untuk senantiasa memiliki rasa khauf (takut dan khawatir)
bilamana amal ibadah kita tertolak. Kondisi seperti inilah yang akan memberikan
motivasi bagi kita untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas ibadah agar
diterima oleh Allah Ta’ala.
Rasa khauf akan memaksa kita untuk senantiasa berhati-hati dalam menjaga
kebenaran dan keikhlasan setiap amal ibadah yang tengah kita lakukan.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang
telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa)
sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Al-Mu’minuun
[23] : 60).
Berkaitan
dengan ayat ini, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam,
“Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, minum khamr, mencuri, kemudian
muncul dalam hatinya rasa takut kepada Allah?” Beliau menjawab, “Tidak, wahai
putri Ash-Shiddiq. Yang dimaksud adalah orang yang shalat, berpuasa, dan
bersedekah, kemudian dalam hatinya muncul rasa takut kepada Allah.” (Riwayat
Ibnu Majah).
Allah Ta’ala
berfirman, “Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.”
(Al-Mudatstsir [74] : 1-6). Salah
satu penyakit yang seringkali menghinggapi kita selepas mengerjakan amal ibadah
adalah anggapan bahwa seakan-akan kita telah sukses mengerjakan amal ibadah
yang besar dengan harapan ingin mendapatkan imbalan yang lebih besar lagi.
Berkaitan
dengan ayat di atas, Imam Mawardi menyampaikan, “Ada lima makna yang terkandung
dalam ayat ini; Pertama, janganlah
engkau memberi lalu berharap mendapatkan ganti yang lebih banyak darinya.
Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Qatadah. Kedua, maknanya janganlah
berharap-harap mendapatkan pahala yang banyak dari Allah atas amal ibadahmu.
Pendapat ini disampaikan oleh Hasan Al-Bashri. Ketiga, jangan berharap balasan dari manusia atas
kenabian yang diberikan kepada Muhammad. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu
Zaid. Keempat, jangan
melipatgandakan amalan hanya lantaran ingin mendapatkan balasan yang lebih
banyak. Pendapat ini diungkapkan oleh Mujahid. Kelima, jangan melakukan amal ibadah agar
dilihat manusia.”
Apa itu Ibadah ?
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah penuh berkah ?
Ibadah di
dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya.
Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan
Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan
melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
1.Kebiasaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
An Nawawi
dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan tidak beranjak dari
tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid’. Dalam bab tersebut
terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in –Simak bin Harb-. Beliau
rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh,
أَكُنْتَ تُجَالِسُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Apakah
engkau sering menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?”
Jabir
menjawab,
نَعَمْ كَثِيرًا
كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ
فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.
“Iya. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah
shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para
sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu
mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum
saja.” (HR. Muslim no. 670)
An Nawawi
mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran berdzikir setelah shubuh dan
mengontinukan duduk di tempat shalat jika tidak memiliki udzur (halangan).
Al Qadhi
mengatakan bahwa inilah sunnah yang biasa dilakukan oleh salaf dan para ulama.
Mereka biasa memanfaatkan waktu tersebut untuk berdzikir dan berdo’a hingga
terbit matahari.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/29, Maktabah Syamilah)
2.Kebiasaan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
Dari Abu Wa’il, dia berkata, “Pada suatu pagi
kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud
selepas kami melaksanakan shalat shubuh. Kemudian kami mengucapkan salam
di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk masuk. Akan tetapi kami berhenti
sejenak di depan pintu. Lalu keluarlah budaknya sembari berkata, “Mari silakan masuk.” Kemudian kami masuk
sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir.
Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Apa yang menghalangi kalian padahal aku
telah mengizinkan kalian untuk masuk?”
Lalu kami menjawab, “Tidak, kami mengira
bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.”
Ibnu Mas’ud lantas bekata, “Apakah kalian mengira bahwa keluargaku telah
lalai?”
Kemudian Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga
dia mengira bahwa matahari telah terbit. Lantas beliau memanggil budaknya, “Wahai budakku, lihatlah apakah matahari
telah terbit.” Si budak tadi kemudian melihat
ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan
dzikirnya. Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau
kembali memanggil budaknya sembari berkata,
“Lihatlah apakah matahari telah terbit.” Kemudian budak tadi melihat ke
luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا
“Segala puji bagi Allah yang telah menolong
kami berdzikir pada pagi hari ini.” (HR. Muslim no. 822)
3.Keadaan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Pagi Hari
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah adalah orang yang gemar beribadah dan bukanlah orang yang
kelihatan bengis sebagaimana anggapan sebagian orang. Kita dapat melihat
aktivitas beliau di pagi hari sebagaimana dikisahkan oleh muridnya –Ibnu Qayyim
Al Jauziyah.-
Ketika menjelaskan faedah dzikir bahwa dzikir
dapat menguatkan hati dan ruh, Ibnul Qayim mengatakan, “Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah suatu saat shalat shubuh. Kemudian
(setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah Ta’ala
hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah
kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah
kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.” (Al Wabilush Shoyib min
Kalamith Thoyib, hal.63, Maktabah Syamilah)
Sumber:1.http://almanhaj.or.id
2.http://rumaysho.com
3.http://www.hidayatullah.com
Jakarta 9/102015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar