IBADAH YANG DITERIMA ?
وَقَدِمْنَا
إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا
Artinya : “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al Furqan : 23)
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ
عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ
فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم [ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ibunda
kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata:
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang
mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada
(perintahnya dari kami) maka tertolak (H.R alBukhari dan Muslim). Dalam riwayat
Muslim: Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah
kami, maka tertolak.
Muqaddimah
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ
اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dan
berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap bid’ah
adalah sesat (H.R Abu
Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah)
Sudah merupakan hak seorang hamba setiap
melaksanakan suatu kewajiban yang disyariatkan oleh agamanya mendapatkan
balasan sesuai dengan apa yang ia kerjakan , seperti halnya buruh mendapatkan
upah dari apa yang ia kerjakan.
Kita sebagai
ummat islam tentunya mengharapkan hal demikan. Namun pernahkah kita menyangka
bahwa amal yang kita kerjakan dengan mengharapkan ridho Allah ( Ikhlas ) akan
tertolak bila tidak sesuai dengan apa yang di misalkan oleh nabi Saw..? padahal
kita ketahui bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan mutaba’ah atau
mengikuti sunah nabi Muhammad Saw, sebagaimana dijelaskan dalam hadits nabi
saw.
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang
membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka
perkara itu tertolak”.
Imam an
Nawawi didalam “syarh” nya menyebutkan bahwa para ahli bahasa arab mengatakan
makna “ar Roddu” di sini (didalam hadits diatas) adalah ditolak, artinya batil
dan tidak dihitung.
Beliau
menambahkan bahwa hadits tersebut merupakan suatu kaidah besar dari berbagai
kaidah islam, ia termasuk dari jawami’ kalim Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Hadits itu secara tegas menolak segala bentuk bid’ah dan berbagai
perkara baru.
Adapun
tentang kadar penolakan amal seorang pelaku bid’ah maka disesuaikan dengan
kategori bid’ah yang dilakukannya.
al Lajnah ad
Daimah Li al Buhuts didalam
fatwanya no. 6719 menyebutkan bahwa perbuatan bid’ah berbeda-beda, diantaranya
ada yang menafikan pokok-pokok agama, ada pula (bid’ah) didalam sifat ibadah
atau mengadakan sesuatu yang baru didalam agama yang tidak disyariatkan.
Amal yang diterima ?
Ikhlash
dan benar yang menjadi syarat diterimanya amal ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)
Allah
Ta'ala berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
"Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya." (QS. Al-Mulk: 2) amal terbaik adalah yang paling
ikhlash dan paling shawab/benar.
Sedangkan
orang yang beribadah tanpa disertai dua syarat di atas, maka ibadahnya akan
tertolak. Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata, "Beramal tanpa
ikhlas dan mengikuti Sunnah laksana musafir yang memenuhi tempat minumnya
dengan pasir, sangat memberatkannya dan tidak memberinya manfaat."
(PurWD/voa-islam.com)
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa
saja yang membuat perkara baru yang tidak ada tuntunanya dalam agama kami, maka
amalannya tertolak.” (HR. Al-Bukhari: 2697)
Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hendaklah kalian
mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa' rasyidin yang datang sesudahku. Gigitlah
ia dengan gerahammu. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang muhdats (perkara
baru dalam urusan dien), karena seburuk-buruk urusan dalam dien adalah yang
muhdats. Dan setiap perkara baru dalam dien adalah bid'ah dan setiap bid'ah
adalah kesesatan." (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan
al-Haakim)
Ibadah yang diterima ?
Arti Ibadah ( العِبَادَةُ ) secara bahasa adalah tunduk dan menghinakan diri serta khusyu’.
Di dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith ibadah
artinya ”tunduk kepada Tuhan yang
menciptakan”. Imam Al
Qurthuby berkata ”Asal ibadah ialah tunduk dan
menghinakan diri”.
Secara
istilah arti ibadah adalah sebagaimana perkataan Ibnu Katsir : “Ibadah adalah taat kepada Allah dengan
melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang”.
Kemudian Ibnu Taimiyah berkata
: “Ibadah ialah sesuatu yang
mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi Allah berupa perkataan atau
perbuatan yang nampak atau pun tidak nampak”.
Peribadatan
seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila
telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu :
1. IKHLAS ( اَلإِخْلاَصُ
)
Ikhlas
merupakan salah satu makna dari syahadat ( أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwa tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah
itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah I berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5]
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka
beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar
: 2]
Kemudian
Rasulullah r bersabda :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا
كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya
Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya
mengharap ridho Allah”. [HR. Abu
Dawud dan Nasa’i]
2.
AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )
Al-Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi
Muhammad r) merupakan
salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai
dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan
secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka
ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena
Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada
kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad dalam segala
hal, dengan firman-Nya :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]
Dan Allah
Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS.
Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah
r juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang
tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang
siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu
tertolak”. [HR. Muslim]
Sumber:1.https://abufawaz.wordpress.com
2.http://www.voa-islam.com
Jakarta 28/10/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar