MENIKAHI PEREMPUAN YANG
HAMIL DILUAR NIKAH ?
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.[QS.
Al-Israa’ : 32].
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan
seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi, no.2165)
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS: Ath-Thalaaq Ayat: 4)
Muqaddimah
Asy-Syaikh
’Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata :
والنهي عن قربانه أبلغ من النهي عن مجرد فعله لأن ذلك يشمل النهي عن جميع مقدماته ودواعيه
”Larangan
(Allah) untuk mendekati zina lebih jelas/tegas daripada larangan perbuatan zina
itu sendiri. Hal itu dikarenakan larangan tersebut juga meliputi larangan
terhadap seluruh sebab yang menurus kepada zina dan faktor-faktor yang
mendorong perbuatan zina” [Taisir
Kariimir-Rahman].
Perempuan
hamil di luar nikah berbeda dengan perempuan hamil dalam masa iddah atau
ditinggal mati suaminya. Untuk mereka yang hamil dalam masa iddah atau
ditinggal mati suami, pernikahan mereka tidak sah. Mereka boleh menikah lagi
setelah melahirkan dan habis masa nifas.
Sedangkan perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah tetap sah.
Sedangkan perempuan hamil di luar nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah tetap sah.
Hukum Nikah Hamil
duluan ?
Sedangkan perempuan hamil di luar
nikah, tidak memiliki iddah. Karena, masa iddah hanya milik mereka yang
menikah. Jadi pernikahan perempuan hamil di luar nikah tetap sah. Demikian
diterangkan Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya, Qutul
Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
Artinya, kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan.
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
Artinya, kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك . وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز . قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك
“Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan
seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh. Diriwayatkan dari Ibnu Umar,
Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud:
Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka
mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.”
Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam Ibnu
Hazm, juga menguatkan pendapat yang mengharamkan.
Sebenarnya golongan yang mengharamkan, pada akhirnya
membolehkan juga, dengan syarat pelakunya sudah bertaubat.
Imam Ahmad membolehkan dengan syarat dia bertaubat, dan
masa iddahnya selesai. Abu Hanifah dan Asy Syafi’i berpendapat boleh
mengawininya tanpa menunggu masa iddah. Bahkan Imam Asy Syafi’i membolehkan
mengawini wanita zina sekalipun sedang hamil, sebab hamil semacam itu (karena
pelakunya adalah laki-laki yang akan menikahinya, pen) bukan alasan haramnya
kawin.
Wanita yang berzina Dinikahi ?
Ini berbeda dengan kasus di atas, ini yang menikahi
wanita tersebut bukanlah laki-laki yang pernah berzina dengannya tetapi,
laki-laki lain. Bolehkah pernikahan mereka berdua?
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang
zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan
orang lain. Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat
segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin hambal dan
lainnya.
Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf
membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik
mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil).
Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra’
(bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak
boleh jima’ (hubungan badan) dulu sampai dia melahirkan.
Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan
hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak
bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy Syafi’i.
Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak
hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya
anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.”
Nikahnya Wanita Hamil ?
Harus dirinci sebagai berikut:
1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya
meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil?
Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia
menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah
masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya. Tidak boleh baginya
nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai.
2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah?
Jika yang menikahinya adalah laki-laki yang
menghamilinya, maka menurut Imam Asy Syafi’i adalah boleh. Imam Abu Hanifah
juga membolehkan tetapi tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan.
Imam Ahmad mengharamkannya. Begitu pula Imam Malik dan
Imam Ibnu Tamiyah. Sedangkan, jika yang menikahinya adalah laki-laki lain, maka
menurut Imam Ibnu taimiyah juga tidak boleh kecuali ia bertaubat, yang lain
mengatakan boleh, selama ia bertobat plus Iddahnya selesai (yakni sampai
melahirkan), inilah pendapat Imam Ahmad.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ?
Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal
53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Keputuasan KHI di atas diperkuat oleh pendapat mayoritas ahli fiqh (jumhur) yang membolehkan menikahi wanita yang dihamilinya. Juga diperkuat oleh beberapa hadits sbb:
i. Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).
ii: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i)
iii: Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka `ku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)
iv: Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."
Kalangan Sahabat Nabi yang membolehkan nikah dalam kasus ini antara lain: Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas.
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Keputuasan KHI di atas diperkuat oleh pendapat mayoritas ahli fiqh (jumhur) yang membolehkan menikahi wanita yang dihamilinya. Juga diperkuat oleh beberapa hadits sbb:
i. Dari Aisyah ra berkata, "Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny).
ii: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Isteriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia!." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut'ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa'i)
iii: Dimasa lalu seorang bertanya kepada Ibnu Abbas ra, "Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), "Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik'. Lalu Ibnu Abbas berkata, "Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka `ku yang menanggungnya." (HR Ibnu Hibban dan Abu Hatim)
iv: Ibnu Umar ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, bolehkan setelah itu menikahinya? Ibnu Umar menjawab, "Ya, bila keduanya bertaubat dan memperbaiki diri."
Kalangan Sahabat Nabi yang membolehkan nikah dalam kasus ini antara lain: Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas.
Sumber:1.http://www.alkhoirot.net
http://www.dakwatuna.com
http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar