KITA MUSLIM INDONESIA ?
“…Dan tolong menolonglah kalian
dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan
dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksaan-Nya“. Al-Ma’idah:2
"Tolonglah
saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi”, Lalu seorang sahabat bertanya: "Wahai
Rasulullah, kami memahami tentang menolong orang yang dizalimi, bagaimana
menolongnya kalau dia seorang yang zalim? Nabi berkata (bermaksud): " Kamu
menghalang dan mencegahnya dari berbuat kezaliman. Itulah cara
menolongnya". (HR. Bukhari)
Muqaddimah
Nasionalisme didefinisikan sebagai kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau
aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan serta mengabadikan identitas,
integritas, kemakmuran dan kekuatan suatu bangsa, yakni semangat kebangsaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1997:648).
Meskipun tidak ada benturan disana-sini, kedua kelompok diatas- Islam dan
Nasionalis-mampu mengembangkan hubungan politik relatif harmonis diantara
mereka. Kelompok Nasionalis dipimpin
oleh Soekarno tetap memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu menyusul
diserahkannya kekuasaan Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan
mulai memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional.
Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka
satu-satunya. Kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.
Untuk alasan itu maka Syahrir (pemimpin PSII) memperkirakan bahwa jika
pemilihan umum diselenggarakan, maka Masyumi- yang saat itu merupakan gabungan
dari kalangan muslim modern (muhammadiyah) yang mempunyai basis anggota di
perkotaan dan ortodoks (NU) yang jumlah anggotanya lebih besar dikalangan pedesaan-
akan memperoleh 80% suara.
Sejak itu konfigurasi politik Indonesia terbagi menjadi tiga Ideologi besar
yang dimotori oleh partai-partai politik yang semakin bermunculan pada waktu
itu. Partai-partai tersebut terbagi dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kekuatan besar, yaitu; kekuatan politik dengan
ideologi Islam, yang diwakili olek Masyumi (berdiri 7 November 1945), PSII
(1947), PERTI dan NU (1952), sedangkan ideologi
Nasionalis (sekuler) diwakili oleh PNI dan ideologi Marxis-Sosialis
diwakili oleh Partai Sosialis (1945), PKI (1945), Partai Buruh Indonesia (1945)
dan Persindo, serta partai-partai lainya yang dapat dikategorikan kedalam
mainstream ideologis di atas.
Di Indonesia, nasionalisme
melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai
ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang
merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan Marxis.
Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain yang
mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang
ditulisnya dia menyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis,
sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Satu sintese yang
menurut anggapan saya sendiri adalah sintese yang geweldig (Soekarno dalam
Yatim, 2001:155).
Cinta Tanah Air ?
"Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa.." [Al Baqarah 126]
"Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada
menyembah berhala-berhala." [Ibrahim 35]
Nabi senantiasa mencintai negeri yang didiaminya.
Sebab jika negerinya rusak, penduduknya juga yang akan menderita. Apa enaknya
jika negeri kita sungainya tercemar hingga airnya tak bisa diminum dan udaranya
kotor sehingga sulit bernafas dengan baik?
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata: Sungguh aku
diusir dariMu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling
dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak
mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)” (Musnad al-Haris,
oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Ka'ab bin
'Iyadh Ra bertanya, "Ya Rasulullah, apabila seorang mencintai kaumnya,
apakah itu tergolong fanatisme?" Nabi Saw menjawab, "Tidak, fanatisme
(Ashabiyah) ialah bila seorang mendukung (membantu) kaumnya atas suatu
kezaliman." (HR. Ahmad)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (صحيح البخارى – ج 7 / ص 161)
“Ya Allah,
jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi
cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161)
Nasionalisme Pancasila ?
Pada prinsipnya
nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia
terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang
diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa:
1. menempatkan persatuan – kesatuan,
kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau kepentingan golongan
2. menunjukkan sikap rela berkorban demi
kepentingan bangsa dan negara
3. bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah
air Indonesia serta tidak merasa rendah diri
4. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa
5. menumbuhkan sikap saling mencintai sesama
manusia
6. mengembangkan sikap tenggang rasa
7. tidak semena-mena terhadap orang lain
8. gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
9. senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
10. berani membela kebenaran dan keadilan
11. merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian
dari seluruh umat manusia
12. menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain
Dalam Piagam Madinah (Watsiqah al-Madinah) disebutkan
kewajiban umat untuk menjadi satu kesatuan: “Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah kitab (perjanjian)
dari Muhammad Nabi saw. antara orang-orang Mukmin dan Muslim dari golongan
Quraisy dan Yatsrib. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu (ummah wahidah),
yang berbeda dengan umat lainnya.” (Sirah Ibnu Hisyam, II/119).
Nasionalisme dalam Islam ?
Sementara
dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama
dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi
ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang
kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme (Nur dalam Yatim, 2001:57 58).
Istilah
nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua
pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan
kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual
bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas,
kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu (Op. cit, 1994:684).
Islam adalah faktor penting dalam
bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya, sosial dan politik serta
ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat dalam tubuh warganya
yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad
hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah
memperkokoh bangunan ke-Indonesia-an modern. Sejarah Indonesia juga mencatat
penolakan dan penentangan umat Islam terhadap penindasan kolonialisme. Agenda
ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan keagamaan yang digerakkan oleh SI,
Muhammadiyah dan NU terbukti mengusung cita-cita luhur memperjuangkan
terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Demikian halnya
para tokoh pergerakan nasional dari kalangan muslim, meskipun mereka kelihatan
berbeda-beda penekanan dan perspektifnya tentang nasionalisme Indonesia, tak
diragukan lagi kecintaan dan komitmen mereka pada perjuangan terwujudnya negara
bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Fakta-fakta
tersebut cukup menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru
dari rahim Islamlah, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur.
Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan lebih kuat
jika dibandingkan dengan organisasi lokal yang masih berbasis etnik, termasuk
Budi Utomo yang berbasis kepentingan priyayi Jawa.
Tema Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 mendatang tentang ‘Meneguhkan Islam
Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia’ diharapkan mendorong peran lebih
Islam dalam mengawal terciptanya perdamaian.
“Islam saja tanpa nasionalisme akan menjadi
ekstrem, dan nasionalisme saja tanpa ada landasan Islam akan kering,” kata
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, Rabu (22/4).
Kiai yang
juga bergelar profesor di bidang tasawuf tersebut mengambil contoh beberapa
negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, namun dirundung peperangan
berkepanjangan karena ketiadaan semangat nasionalisme pada warga negaranya.
Seperti Somalia, Afghanistan, Libya, Irak, Suriah, dan Yaman.
“Ulama di
negara-negara itu luar biasa alim, kitab-kitab karyanya jadi pelajar-pelajar
kita, tapi tidak dapat berperan dalam mewujudkan perdamaian. Di (negara) kita, alhamdulillah, keberadaan
ulama-ulama NU dengan nasionalismenya mampu menjaga keutuhan NKRI,” tegas Kiai
Said.
“Sudah
saatnya kiblat peradaban Islam dipindahkan. Bukan lagi di Arab, di Irak, di
Afghanistan, tapi di Indonesia. Islam Nusantara, Islam NU, sudah mampu
menunjukkan bagaimana Islam yang semestinya menjadi pengayom terciptanya
perdamaian,” pungkasnya.
Bagi Natsir, Islam tidak dapat
dipisahkan dari negara. Ia menganggap
bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.
Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi
seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran
yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), "Tidaklah
Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku." (51:
56). Bertitik tolak dari dasar ideologi ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita
hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar
mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Ikhtitam
حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَكِّيِّ يَعْنِي ابْنَ أَبِي لَبِيبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukanlah golongan kami orang yang
menyeru kepada ‘ashabiyah. Bukan golongan kami orang yang berperang atas dasar
ashabiyah, dan bukan golongan kami orang yang mati karena membela ‘ashabiyah
(HR. Abu Dawud)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata: Sungguh aku
diusir dariMu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling
dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak
mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)” (Musnad al-Haris,
oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Dan ketika Nabi pertama sampai di
Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (صحيح البخارى – ج 7 / ص 161)
“Ya Allah,
jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi
cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161)
Sumber:1.Al-Qur’an
Hadits 2.http://abdulkarimmunthe.blogspot.com
3.https://robbani.wordpress.com 4.http://mediaislamraya.blogspot.com
JAKARTA 24/4/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar