Selasa, 12 Agustus 2014

KAIDAH ILMU AL-QUR'AN




KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR'AN

A.   Pengertian Kaidah-kaidah Penafsiran Al Qur’an
Kaidah-kaidah tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir. Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular.  Adapun kata tafsir secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti mengungkapkan. Secara istilah tafsir dapat diartikan sebagai alat atau ilmu pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Atau  pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
Menurut Qurais Shihab komponen kaidah-kaidah penafsiran Al Qur’an mencakup:
1.    Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran
2.    Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3.    Patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran.
Para ahli tafsir berbeda pandangan dalam hal menentukan kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an. Berikut akan dipaparkan dua orang ulama yang merumuskan kaidah tafsir. Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid.Beberapa kaidah pokok diklasifikasikan sebagai berikut :
1.    Kaidah yang terkait dengan kebahasaan
2.    Kaidah yang terkait dengan hukum
3.    Kaidah yang berhubungan dengan tauhid
4.    Kaidah yang berhubungan dengan pedoman hidup
Muhammad ibn Alawi Al-Maliki Al-Hasani misalnya, berpandangan bahwa oleh karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas, sebagaimana firman Allah dalam QS. Yusuf (10)  : 2,“ sesungguhnya kami menurunkannya berupa al-qur’an dengan bahasa arab, agar kamu memahami “. Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman azas-azasnya, penghayatan terhadap redaksinya dan pengetahuan akan rahasia-rahasia yang dikandungnya.
B.   Macam-macam kaidah-kaidah penafsiran Al Qur'an
1.    Kaidah Dasar
a.    Kaidah Al Qur’an
1)   Kaidah Quraniyah ialah penafsiran al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari al-Quran.
Hal ini didasarkan atas pernyataan Al Quran bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna al-Quran secara tepat hanyalah Allah. QS. Al Qiyamah (75) : 19, “Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”
Jika satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas itu turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegangi oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif. Misalnya  pada QS. AL Maidah (5) : 38 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 
Menurut riwayat ayat ini turun untuk menanggapi suatu kasus pencurian perhiasan yang dilakukan seorang perempuan bernama Tumah. Persoalan yang muncul dalam hal ini, lafaz yang digunakan berbentuk isim mufrad yang dita’rifkan termasuk kategori lafaz umum.  Jumhur ulama’ menerapkan langsung hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul karena lafaz tersebut berbentuk umum.
Selain pendapat tersebut,  ada ulama’ yang memberikan  analisis berbeda, yaitu dengan mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik kualitas peris­tiwa, pelaku, tempat maupun waktunya. Mekanisme pendapat kedua ini lebih banyak menggunakan metode qiyas, karena jika seandainya yang dikehendaki lafaz umum, mengapa Allah masih menunggu peristiwa-peristiwa tertentu.
2)   Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukan bahwa hukum yang terkandung ber­kaitan dengan nama yang mulia. Misalnya pada QS. Al Baqarah (2) : 32 , mereka menjawab:“maha suci engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana.” ayat tersebut merupakan dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan me­ngatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?”. QS. Al Baqarah (2) : 30.  Untuk membuktikan kemahatahuan Tuhan, Dia mengajar Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat  Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemaha-ta­huan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya.
3)   Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat
a)   Dalam satu pengertian Al Quran semuanya muhkam, dalam pengertian lain semuanya mutasyabih, tetapi pada pengertian lain lagi sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih.
Maksud muhkam, ayat-ayatnya tidak ada yang kontradiksi, semua perintahNya kembali kepada kebaikan manusia dan semua laranganNya kembali kepada kejelekan.  Ungkapan yang menunjukkan semuanya muhkam diantaranya pada QS. Zumar (39): 23,  Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.
Argumen lain yang menyatakan semuanya mutasyabih adalah seperti pada QS. Ali Imran (3) : 7:  “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.  Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Mutasyabih dalam hal kebaikan dan kejujuran, petunjuk dan kebenaran dan lain-lain. Di samping hal itu juga ada anggapan sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih, sebagaimana dalam penjelasan di dalam al-Quran.Misalnya ada ayat yang menjelaskan kekuasaan Allah, sedangkan apa yang Dia kehendaki terjadi dan apa yang tidak dikehendaki tidak terjadi, Allah juga memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki tetapi juga menyesatkan kepada orang yang dikehendaki.
b)   Memahami mutasyabih itu harus setelah memahami ayat-ayat muhkamat. Muhkamat adalah ummul kitab, sebagai sesuatu yang pokok, sedangkan yang mutasyabih adalah sebagai cabang. Memahami yang pokok harus terlebih dahulu dari pada me­mahami cabangnya. Dengan demikian jika menafsirkan suatu ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu harus mengetahui ayat yang muhkam sehingga mendapat suatu pengertian yang kongkrit dan mendapat keyakinan yang mendalam tanpa adanya keragu-raguan.
c)    Untuk memahami mutasyabih itu cara mentakwilkannya harus dikembalikan pada muhkamnya. Apabila mufasir sudah mendapat suatu pengertian yang positif dari ayat yang muhkam, maka ia harus menyelidiki dan membahas ayat-ayat mutasyabih dengan berpedoman pada ayat-ayat muhkam.
b.   Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada dalam al-Quran 16:44 dan 64, Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran tetapi menurut wahyu ilahi. Dalam hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran yang ditu­runkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Quran dan kemudian dikenal dengan al-Sunnah. 
Kaidah yang dipergunakan di antaranya ialah:
1)   Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk al-Quran
Berdasarkan atas hadis Nabi sebagai penjelas al-Quran, se­cara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan de­ngan  Al Quran sebagai materi yang dijelaskannya.
2)   Menghimpun hadis yang pokok bahasannya sama.
Hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang sahih. Dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad dan menkhususkan yang umum. Dengan demikian akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan, bahwa hadis berfungsi menafsirkan Al Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap dan lain sebagainya.
c.    Kaidah Perkataan Sahabat
Mufassir  tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat Al Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.
d.   Kaidah Perkataan Tabi’in
Keberadaan perkataan tabiin dalam menafsirkan Al Qur’an ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma’sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra’yi, seperti tafsir para mufasir lainnya setelah tabiin.
2.    Kaidah Umum
Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan kaidah umum penafsiran Al Qur’an :
a.    Dlamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
1)   Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
2)   Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
3)   Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
b.   Penggunaan isim ma’rifat dan isim Nakirah
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
1)   Ta’rif dengan ism dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
2)   Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
3)   pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
4)   Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
5)   Ta’rif dengan ism mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
6)   Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
c.    Pengulangan Kata Benda (isim)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
1)   Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
2)   Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
3)   Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
4)   Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
d.   Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
1)   Kata al-rih/angin, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
2)   Kata al nur/ cahaya dan sabil al-haq/jalan kebenaran selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat/keburukan dan sabil al-bathil / jalan kesesatan selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam.


e.    Mutaradif (kata yang seolah-olah sama)
Dalam Al Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
1)   al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
2)   al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
f.     Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)
3.    Kaidah Khusus
a.    Masalah Nalar dan Bukan Nalar
Wilayah bukan nalar meliputi masalah-masalah metafisika dan perincian ibadah. Sedangkan yang termasuk wilayah nalar meliputi masalah-masalah kemasyarakatan. Wilayah pertama, apabila nilai riwayatnya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun wilayah yang kedua menempatkan penafsiran terhadap teks sesuai dengan proporsinya yang tepat. Dalam hal ini wilayah kedua menjadi lahan garapan bagi para mufasir untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks Al Qur’an
b.   Qath’i dan Dzani
Pemikiran modernis menuntut adalah pemetaan ulang terhadap wilayah dzanni dan qath’i  dalam Al Qur’an. Hal ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang banyak memberikan realitas baru. Misalnya angka kematian yang dapat ditekan dan rata-rata umur manusia yang meningkat dibanding tahun-tahun berikutnya, dengan menggunakan ilmu kedokteran. Karenanya pandangan yang selama ini menyatakan bahwa umur merupakan mafatihul ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah sudah seharusnya berubah .
Pembagian wilayah qath’i dan dzanni didasarkan pada pemetaan wilayah bukan nalar dan wilayah nalar pada poin pertama di atas. Pemetaan ini berpengaruh pada konsep syariat yang selama ini diidentikkan dengan fiqh. Karena itu syariat harus dipisahkan dari fiqh. Syariat bersifat qhat’i, sedangkan fiqh bersifat dzanni. Dengan demikian fiqh menjadi wilayah nalar yang dapat ditafsirkan ulang, dengan bantuan ilmu modern.
c.    Takwil
Perkembangan ilmu pengetahuan, dengan berbagai penemuan ilmiahnya memungkinkan usangnya makna al-Qur’an yang ditafsirkan jauh sebelum penemuan tersebut. Misalnya adanya keyakinan bahwa sesungguhnya yang menurunkan hujan adalah Allah. Ulama klasik enggan untuk mengatakan bahwa langit yang menurunkan hujan. Di era modern, dengan adanya bukti empirik tentang proses terjadinya hujan, maka teks tersebut harus diposisikan sebagai suatu metafora. Dengan demikian peluang penggunaan takwil dalam penafsiran menjadi lebih terbuka.

C.   Penggunaan kaidah-kaidah sederhana dalam menafsirkan al-Qur'an
1.    Kaidah bersumber dari displin ilmu tertentu seperti Ilmu Bahasa dan Ushul Fiqh.
Keragamam sumber itu menjadikan kaidah dimaksud  dapat diterapkan juga dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya yang dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga  makna-makna yang dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala kini/mendatang (mudhâri’) kala lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan makna antara kalimat yang berbentuk verbal sentencedengan nominal sentence. 
Seorang penafsir mestinya dapat menghayati, misalnya mengapa Nabi Ibrahim as. menjawab para malaikat yang berkunjung ke rumah beliau sambil berucap  salamă” lalu  beliau menjawabanya dengan “salămun”  (QS. Hud [11]: 69) dengan menghayati perbedaan yang dikemukakan pakar-pakar bahasa antara bentuk kata  salama,  dan  salămun  yakni yang pertama mereka namai Jumlah Fi’liyah. Ucapan malaikat  salam(an)  berbentuk  Jumlah Fi’liyah sehingga ia  dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam  (Kata salam(an) di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang  ucapan Nabi Ibrahim as  berbentuk  Jumlah Ismiyah sehingga maknanya adalah keselamatan mantap dan terus menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik.
Kaidah-kaidah Usuh Fiqh banyak sekali diadopsi oleh Tafsir. Misalnya “Perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang mengalihkannya”. Di sini sangat diperlukan keluasan ilmu, agar dapat menemukan  dalil-dalil yang mengalihkannya itu. Demikian juga kaidah yang berbunyi “Teks keagamaan yang memerintahkan sedang sebelumnya ada larangan, maka perintah itu sekadar mengandung makna boleh dilakukan”.
2.    Kaidah yang khusus
Kaidah khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain bersumber dari pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran tentang perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan. Misalnya kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran. Demikian juga menyangkut sistematika penyusunan urutan uraian,  misalnya kapan uraian asbabun nuzûl didahulukan atas uraian tentang hubungan ayat dan kapan sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an apakah maknanya sama atau berbeda. Demikian juga apakah dalam Al Qur’an ada kata atau huruf yang tidak bermakna (zâidah) dan lain-lain.
3.    Kaidah yang ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan terhadap al-Qur’an dan yang bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu lain.
Kaidah kelompok ketiga ini cukup banyak. Sebagai contoh kata Kami yang menunjuk Allah Tuhan Yang Maha Esa. Penggunaan kata tersebut di samping bertujuan menunjukkan keagungan-Nya juga dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang ditunjuknya. Firman Allah إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ   Sesungguhnya Kami  yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar adalah Pemelihara(nya). (QS. al-Hijr [15]: 9). Ini karena yang membawa “turun” Al Qur’an adalah malaikat Jibril as. atas perintah Allah dan yang mememeliharanya bersama Allah antara lain adalah umat Islam.
Sedangkan kalau Allah menunjuk diri-Nya dengan kata Aku, maka itu antara lain mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh /dapat terlibat di dalamnya, seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ  dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.Bisa juga kata Aku menunjukkan bahwa keterlibatan selainnya sedemikian sedikit/kecil tidak berarti sehingga dinilai “tidak ada” seperti dalam firman-Nya  ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا Biarkanlah Aku (bertindak) terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian (QS. al-Muddaststir [74]: 11).
Jakarta 12/8/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman