SHALAT DAN
QURBAN
{
قُلْ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163) }
“Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)” (QS Al-An’am:
162-163)
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).”
(QS. Al Kautsar: 2)
Muqaddimah
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk
Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu
Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud
dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied”.
Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam,
534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah
II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al
Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’
tipis)
Hukum Qurban ?
Dalam
hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang
berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah,
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama
pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak
lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu
hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408)
Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta)
namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat
kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani)
Pendapat
kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah
(ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i,
Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil
dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau
mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau
tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan
Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku
melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR.
Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada
riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.”
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Waktu
Awal Penyembelihan Qurban
Mengenai
waktu penyembelihan qurban dijelaskan dalam hadits berikut,
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ
ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ
الْمُسْلِمِينَ
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum
shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri.
Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah
menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.”[HR Bukhari]
عَنْ
جُنْدَبٍ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ النَّحْرِ
صَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ
مَكَانَهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ »
Dari
Jundab, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau
berkhutbah dan bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied,
hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia
menyembelih dengan menyebut ‘bismillah’.”[HR Bukhari dan Muslim]
Imam
Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (13: 110) berkata, “Adapun
waktu berqurban, hendaklah qurban itu disembelih setelah shalat bersama imam.
Demikian qurban tersebut dikatakan sah. Sebagaimana kata Ibnul Mundzir, “Para
ulama sepakat bahwa udhiyah (qurban) tidaklah boleh disembelih sebelum terbit
fajar pada hari Idul Adha.” Sedangkan waktu setelah itu (setelah terbit fajar),
para ulama berselisih pendapat. Imam Syafi’i, Daud (Azh Zhohiriy), Ibnul
Mundzir dan selain mereka berpendapat bahwa waktu penyembelihan qurban itu
masuk jika matahari telah terbit dan lewat sekitar shalat ‘ied dan dua khutbah
dilaksanakan. Jika qurban disembelih setelah waktu itu, sahlah qurbannya, baik
imam melaksanakan shalat ‘ied ataukah tidak, baik imam melaksanakan shalat Dhuha
ataukah tidak, begitu pula baik yang melaksanakan qurban adalah penduduk negeri
atau kampung atau bawadi atau musafir, juga baik imam telah menyembelih
qurbannya ataukah belum. …”
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal ?
Berqurban
untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
1.Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran
qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup.
Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di
antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan
pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah
meninggal.
2.Berqurban
khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian
ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya
bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa
Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap
keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada
tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat
bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau
lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3.Berqurban
khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar
keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk
kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil
dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah
Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Hikmah
di Balik Menyembelih Qurban
Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang
diberikan.
Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –kholilullah (kekasih
Allah)- ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk
menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam
ketika hari an nahr (Idul Adha).
Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan
Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan
kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah
yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor
domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka
mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya
mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.
Keempat: Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang
yang senilai dengan hewan qurban. Ibnul Qayyim berkata, “Penyembelihan yang
dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan
tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban
penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang
bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah.”
Ikhtitam
ما من أيّام
العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا :
يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ
رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.
“Tidak
ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang
dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya:
“Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula
jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak
ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al
Albani)
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ
وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ
وَقَالَ: (( بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ
يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى )).
“Diriwayatkan
dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Saya
menghadiri shalat idul-Adha bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di mushalla (tanah lapang). Setelah beliau berkhutbah, beliau turun dari
mimbarnya dan didatangkan kepadanya seekor kambing. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengatakan: Dengan
nama Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari orang-orang yang
belum menyembelih di kalangan umatku [HR Ahmad]
Sumber: https://rumaysho.com/2803-waktu-penyembelihan-qurban.html
Sumber: https://muslim.or.id/446-fiqih-qurban.html
JAKARTA 4/8/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar