HAKEKAT HAJI
Mengadakan perjalanan menuju rumah
itu (haji) adalah kewajiban manusia yang sanggup terhadap Allah. Barang siapa
yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan) alam
semesta." (QS Ali Imran [3]:96-97).
Muqaddimah
Hujjatul Islam
Al-Ghazali telah menghabiskan puluhan halaman dari kitabnya, Al-Ihya`, untuk
berbicara tentang haji dengan pembicaraan yang panjang lebar yang dipenuhinya
dengan uraian dan bahasan secara terperinci.
Ia membagi pembicaraannya menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah amalan-amalan zhahir haji, yang mana ia mengarahkan pembicaraannya kepada kaum muslim secara umum yang tidak dapat mencapai rahasia-rahasia yang dalam dan pembahasan-pembahasan yang terperinci.
Pada bagian kedua, ia berbicara tentang rahasia-rahasia haji, tujuan-tujuannya, dan maksud-maksudnya, yang mana ia menyelami makna-makna yang dalam yang digalinya dari amalan-amalan haji. Dan tampaknya ia menujukan pembicaraannya yang khusus ini kepada orang-orang yang mampu menyelami hal-hal yang mendalam, naik ke cakrawala yang luas, agar dapat menyerap pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat yang sangat bagus, sehingga bertambahlah hubungan mereka dengan Tuhannya dan bertambah pula pengenalannya tentang hak-Nya terhadap mereka.
Ia membagi pembicaraannya menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah amalan-amalan zhahir haji, yang mana ia mengarahkan pembicaraannya kepada kaum muslim secara umum yang tidak dapat mencapai rahasia-rahasia yang dalam dan pembahasan-pembahasan yang terperinci.
Pada bagian kedua, ia berbicara tentang rahasia-rahasia haji, tujuan-tujuannya, dan maksud-maksudnya, yang mana ia menyelami makna-makna yang dalam yang digalinya dari amalan-amalan haji. Dan tampaknya ia menujukan pembicaraannya yang khusus ini kepada orang-orang yang mampu menyelami hal-hal yang mendalam, naik ke cakrawala yang luas, agar dapat menyerap pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat yang sangat bagus, sehingga bertambahlah hubungan mereka dengan Tuhannya dan bertambah pula pengenalannya tentang hak-Nya terhadap mereka.
Makna Haji
Hakiki ?
Haji, dalam pemahaman Syari’ati, merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan fakta-fakta. Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk 'berkembang'. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan semuanya, pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
Haji, dalam pemahaman Syari’ati, merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan fakta-fakta. Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk 'berkembang'. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan semuanya, pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
Ka'bah yang dikunjungi, dalam
pemahaman Syari'ati, mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan.
Di sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di
sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka'bah ini pernah berada dalan pangkuan
Ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan hitam, miskin, bahkan budak, yang
konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak perempuan ini
ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi
pelajaran bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan
atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk
menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari
keterbelakangan menuju peradaban.
Bekal Haji ?
Ibadah Haji Para Sufi Ibadah haji yang dilakukan oleh
para sufi memerlukan bekal yang cukup sebelum berangkat ke tanah suci. Hal yang dilakukan pertama kali oleh mereka adalah
mendapatkan pembimbing atau syeikh yang dapat dikasihi, dihormati, dipatuhi dan
diteladani. Guru atau syeikh inilah yang akan memberikan bimbingan tentang
segala hal yang harus dipersiapkan dalam perjalanan haji mereka. Di tanah suci
itulah kelak si Murid atau si Salik akan mempraktekkan semua pelajaran dan
bimbingan batin yang telah diterimanya dari syeikhnya. Walau secara fisik
mereka menempuh perjalanan jauh, bahkan mungkin dengan berjalan kaki atau
dengan menunggang kuda atau unta. Segala gerak-gerik mereka tetap tertumpu pada
arahan syeikh yang telah membimbingnya. Ia akan bertindak seperti seorang murid
belia yang begitu patuh kepada gurunya , yang hanya mampu bergerak atas
perintah telunjuk gurunya. Dalam perjalanan ini, kesetiaannya kepada sang guru
akan diuji, sehingga semua tugas-tugas hajinya berjalan dengan baik, maka ia
akan dilepaskan dari genggaman tangan sang Syeikh. Setelah dibebaskan untuk
mandiri, si Salik mestilah pandai mengelolakan hatinya. Ia harus membangunkan
hatinya dari tidurnya dengan membaca Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan
selain Allah) dan mengingat Allah dengan merenungkan makna dan maksud kalimat
tersebut. Dengan selalu membaca kalimat tersebut,hatinya akan selalu terjaga
dari keterlenaan, hatinya akan berkobar oleh sebutan kalimat dalam dzikir itu,
dan ketika itulah hatinya akan hidup. Hati itu tak akan pernah berhenti
mengingat Allah sehingga seluruh ruhaninya menjadi bersih dari suci dari
ghayrullah (selain Allah). Hanya Allah yang mewujud di dalam hatinya. Setelah
membersihkan ruhaninya, si Salik hendaklah membaca sifat-sifat Allah agar cahaya
keindahan Allah bersinar dalam hatinya. Dalam Nur atau Cahaya itulah si Salik
diharapkan dapat melihat ‘Ka’bah’ Zat Yang Rahasia itu. Allah menitahkan
Nabi-Nya Ibrahim dan Ismail supaya membuat pembersihan seperti itu. Firman
Allah : “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat
Baitullah (dengan memfirmankan). Janganlah kamu menyekutukan Aku dengan sesuatu
apapun, dan sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, dan
orang-orang yang beribadah, serta orang-orang yang rukuk dan sujud“. (Q.S.
Al-Hajj : 26) Ka’bah yang secara lahiriah dapat dilihat dengan mata telanjang
di Mekkah selalu dijaga agar kebersihan dan kesuciannya untuk hamba-hamba Allah
mengunjunginya dalam ibadah haji. Betapa Ka’bah itu dijaga kebersihan dan kesuciannya,
terlebih-lebih dengan ‘ka’bah batin’ dalam dirinya yang mesti dijaga untuk
selalu memandang al-Haq.
Pandangan Haji
Ala Sufi ?
Muhammad bin Al-Fadhl
mengatakan, “Aku heran pada orang-orang yang mencari Ka’bah-Nya di dunia ini.
Mengapa meraka tidak berupaya melakukan musyahadat tentang-NYa di dalam hati
mereka? Tempat suci kadangkala mereka capai dan kadangkala mereka tinggalkan,
tetapi musyahadat bisa mereka nikmati selalu. Jika mereka harus mengunjungi
batu (Ka’bah), yang dilihat hanya setahun sekali, sesungguhnya meraka lebih
harus mengunjungi Ka’bah hati, di mana Dia bisa dilihat tiga ratus enam puluh
kali sehari semalam. Tetapi setiap langkah mistikus adalah simbol perjalanan
menuju Mekkah, dan bilamana ia mencapai tempat suci ia menerima jubah
kehormatan, bagi setiap langkah.”
Dan Abu Yazid
mengatakan, “Pada hajiku yang pertama aku hanya melihat Ka’bah, kedua kalinya,
aku melihat Ka’bah dan Tuhannya Ka’bah, dan ketiga kalinya, aku hanya melihat
Tuhan saja.” Pendeknya, tempat suci ada di mana musyahadat ada.
Tujuan mereka adalah mujahadat dalam suatu kerinduan yang
membuat mereka tak bisa tenang, dan kelenyapan dalam cinta yang tak pernah
berakhir. Seseorang datang kepada Junayd. Junayd bertanya kepadanya dari mana
ia datang, Ia menjawab, ” Aku baru saja melakukan ibadah haji.”
“Dari saat engkau permata kali berjalan dari rumahmu, apakah
engakau juga telah meninggalkan semua dosa?” tanya Junayd.“Tidak,” jawab
orang itu.
“Berarti,” kata Junayd, “engkau tidak mengadakan perjalanan.
Di setiap tahap dimana engkau beristirahat di malam hari, apakah engkau telah
melintas sebuah makam di jalan menuju Allah?” “Tidak”.
“Berarti engkau tidak menempuh perjalanan tahap demi tahap.
Ketika engkau mengenakan pakaian ihram di tempat yang ditentukan, apakah engkau
membuang sifat-sifat manusiawi sebagaimana engkau melepaskan pakaian-pakaian
sehari-harimu?” “Tidak.”
“Berarti engkau tidak mengenakan pakaian haji. Ketika engkau
singgah di Arafah, apakah telah singgah barang sebentar dalam musyahadat kepada
Tuhan?” “Tidak.”
“Berarti engkau tidak singgah di Arafat. Ketika engkau pergi
ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua
hawa nafsu?” “Tidak.”
“Berarti engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika engkau
mengelilingi Ka’bah, apakah engkau sudah memandang keindahan non material Tuhan
di tempat suci?”
“Tidak”
“Berarti engaku tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika engkau
lari antar Shafa dan Marwah, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian
dan kebajikan?”
“Tidak.”
“Berarti engakau tidak lari. Ketika engkau datang ke Mina,
apakah semua keinginanmu sirna?” “Tidak.”
“Berarti engkau belum mengunjungi Mina. Ketika engkau sampai
di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan
segala hawa nafsu?” “Tidak.”
“Berarti engkau tidak berkurban. Ketika engkau melemparkan
batu-batu, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau belum melemparkan batu-batu, dan engkau
belum melaksanakan ibadah haji. Kembalilah dan lakukan ibadah haji seperti yang
telah kugambarkan supaya engkau bisa sampai pada makam ibrahim.”
Amalan-amalan
haji yang bersifat zhahir sebagaimana pendapat Hujjatul Islam Al-Ghazali
adalah sebagai berikut:
Pertama, memulai maksud menunaikan haji dengan bertaubat, membayar utang-utang, mengembalikan barang-barang yang didapat dengan berbuat zhalim kepada pemiliknya, mengembalikan titipan-titipan dan amanah-amanah kepada yang berhak, dan menyiapkan nafkah bagi orang-orang yang wajib ia nafkahi selama ia melakukan perjalanan sampai ia kembali kepada mereka.
Kedua, mengambil teman yang baik dalam perjalanannya, yang membantunya untuk melakukan kebaikan dan mengingatkannya akan sesuatu yang membuat Allah menjadi ridha.
Ketiga, ketika akan berangkat dari rumahnya, hendaknya ia berdoa kepada Allah dengan ikhlas seperti membaca doa-doa yang biasa dibaca saat akan melakukan perjalanan kemana saja.
Keempat, berniat ihram dan memulai talbiyah dengan mengucapkan Labbaik, Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal-hamda wan-ni`mata laka wal-mulk, la syarika lak.
Pertama, memulai maksud menunaikan haji dengan bertaubat, membayar utang-utang, mengembalikan barang-barang yang didapat dengan berbuat zhalim kepada pemiliknya, mengembalikan titipan-titipan dan amanah-amanah kepada yang berhak, dan menyiapkan nafkah bagi orang-orang yang wajib ia nafkahi selama ia melakukan perjalanan sampai ia kembali kepada mereka.
Kedua, mengambil teman yang baik dalam perjalanannya, yang membantunya untuk melakukan kebaikan dan mengingatkannya akan sesuatu yang membuat Allah menjadi ridha.
Ketiga, ketika akan berangkat dari rumahnya, hendaknya ia berdoa kepada Allah dengan ikhlas seperti membaca doa-doa yang biasa dibaca saat akan melakukan perjalanan kemana saja.
Keempat, berniat ihram dan memulai talbiyah dengan mengucapkan Labbaik, Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal-hamda wan-ni`mata laka wal-mulk, la syarika lak.
Ahmad bin Abi Al-Hawari berkata, “Aku
bersama dengan Abu Sulaiman Ad-Darani ketika ia hendak berihram. Ia tidak
bertalbiyah sampai kami berjalan sejauh satu mil. Kemudian ia pingsan, lalu
tersadar. Setelah itu ia berkata, ‘Wahai Ahmad, telah sampai keterangan
kapadaku bahwa barang siapa berhaji dengan harta yang tidak halal kemudian ia
bertalbiyah, Allah akan berkata kepadanya: Tidak ada talbiyah bagimu, tidak ada
kebahagiaan bagimu sampai engkau mengembalikan apa yang berada di tanganmu.’
Maka jangan sampai dikatakan demikian kepada kita.”
Adab Berhaji
Mengenai adab yang harus diperhatikan seorang yang menunaikan haji, Al-Ghazali menuturkan:
Di antara adab yang paling penting dalam perjalanan ini adalah seseorang mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia. Itu dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Alah dari semua
Mengenai adab yang harus diperhatikan seorang yang menunaikan haji, Al-Ghazali menuturkan:
Di antara adab yang paling penting dalam perjalanan ini adalah seseorang mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia. Itu dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Alah dari semua
Filosofi Haji
Al-Ghazali menjelaskan falsafah dari masuknya orang yang menunaikan haji ke Makkah. Di sini kecenderungan harapan dalam jiwa seseorang lebih menonjol dibandingkan kecenderungan rasa takutnya. Ketika seseorang memasuki Makkah untuk menunaikan haji, hendaknya ia ingat bahwa ia telah sampai ke Tanah Haram dengan aman. Di saat itu hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Namun hendaknya juga ia merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah yang membuat masuknya ia ke Tanah Haram menjadi sia-sia dan mendapatkan murka.
Al-Ghazali menjelaskan falsafah dari masuknya orang yang menunaikan haji ke Makkah. Di sini kecenderungan harapan dalam jiwa seseorang lebih menonjol dibandingkan kecenderungan rasa takutnya. Ketika seseorang memasuki Makkah untuk menunaikan haji, hendaknya ia ingat bahwa ia telah sampai ke Tanah Haram dengan aman. Di saat itu hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Namun hendaknya juga ia merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah yang membuat masuknya ia ke Tanah Haram menjadi sia-sia dan mendapatkan murka.
Al-Ghazali terus memberikan penjelasan filosofisnya yang mendalam
dalam menggambarkan amalan-amalan zhahir haji, agar para jama’ah haji memiliki
kedalaman-kedalaman dan rahasia-rahasia bathin, sebagaimana kita melihat hal
itu dalam pembicaraannya tentang melontar jumrah. Ia mengatakan:
Adapun mengenai melontar jumrah, maksudkanlah dengannya untuk patuh kepada
perintah dan menunjukkan penghambaan dan perjalanan kita semata-mata karena
menjalankan perintah. Kemudian tujukanlah dengannya mengikuti Nabi Ibrahim
ketika dibujuk oleh iblis di tempat itu untuk melakukan maksiat lalu Allah
menyuruhnya agar melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan memutuskan
harapannya.
Sumber:1.http://www.nu.or.id
2.http://alifbraja.blogspot.co.id
3.http://sufiroad.blogspot.co.id
4.https://gus7.wordpress.com
Jakarta 24/8/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar