MERAIH HAJI
MABRUR
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ
فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq
dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.(al-Quran)
وَالْحَجُّ
الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Haji yang
mabrûr tidak lain pahalanya adalah surga.(al-Hadits)
إِنَّ اللَّهَ
طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sungguh
Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik(al-Hadits)
Keutamaan Haji ?
Pertama:
Haji merupakan amalan yang paling afdhol.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ
« إِيمَانٌ
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ
»
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa
lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Kedua:
Jika ibadah haji tidak bercampur dengan dosa (syirik dan maksiat), maka
balasannya adalah surga
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ
الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Dan
haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR.
Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’,
bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian
kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” (Syarh Shahih Muslim,
9/119)
Ketiga:
Haji termasuk jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah)
Dari
‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ
« لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Wahai
Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah
berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji
mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
Keempat:
Haji akan menghapuskan kesalahaan dan dosa-dosa
Dari
Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ
حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ
أُمُّهُ
“Siapa
yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat
kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh
ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Kelima:
Haji akan menghilangkan kefakiran dan dosa.
Dari
Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَابِعُوا
بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ
كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ
لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Ikutkanlah
umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa
sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak.
Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An
Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini
hasan shahih)
Keenam:
Orang yang berhaji adalah tamu Allah
Dari
Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
الْغَازِى
فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ
فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
“Orang
yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah
tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh
karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR.
Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Tanda Haji Mabrur ?
Di
antara tanda-tanda haji mabrûr yang telah disebutkan para Ulama adalah:
Pertama:
Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah Azza
wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ
طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sungguh
Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.
Orang
yang ingin hajinya mabrûr harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai
untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama
mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan
bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api.
Ibnu
Rajab rahimahullah berkata dalam sebuah syair:
Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya.
Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji mabrûr hajinya.
Kedua:
Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya
dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka
hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.
Di
samping itu, haji yang mabrûr juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring
dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih
al-Qâdhi: “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak.
Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas
karena Allah Azza wa Jalla “
Ketiga:
Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di
Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu
Rajab rahimahullah berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya
amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Di
antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah
bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallampernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:
إِطْعَامُ
الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
Memberi
makan dan berkata-kata baik
Keempat:
Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
Di
antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
الْحَجُّ
أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ
فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq
dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
مَنْ حَجَّ
فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang
siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada
keadaannya saat dilahirkan ibunya.”
Rafats
adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di
dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan
sendiri selama ihrâm.
Fusûq
adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , apapun bentuknya.
Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam
hadits di atas.
Jidâl
adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga
hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan
pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian
juga, haji yang mabrûr juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama
perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiyat.
Kelima:
Pulang dari haji dengan keadaan lebih baik.
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.
Al-Hasan
al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud
terhadap dunia dan mencintai akhirat.”[15] Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah
meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”
Ibnu
Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah
meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk
menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis
dzikir dan kesadaran.”
Sumber:1. https://muslim.or.id
Sumber:1. https://muslim.or.id
Jakrta 24/8/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar