Rabu, 21 Januari 2015

MUSLIM YANG BENAR




BELAJAR MENGAMALKAN SYAHADATAIN ?
“Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Dia, dan [bersaksi pula] para malaikat serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya keadilan. Tiada ilah [yang benar] selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
“Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Muqaddimah
Asyhadu an laa ilaaha illallāh wa asyhadu anna Muhammad Rasuulullāh. Kalimat ini adalah pondasi Islam dimana bangunan Islam dibangun diatasnya. Kalimat ini memiliki makna agung dan konsekuensi besar yang wajib ditunaikan oleh setiap pengucapnya. Oleh karena itu, setiap dari kita wajib mengetahui, memahami, dan mengamalkan kandungannya.
Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas yang paling utama dan kewajiban yang paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)
Betapa pun beraneka ragam umat manusia dan berbeda-beda problematika mereka, sesungguhnya dakwah kepada tauhid adalah yang pokok. Sama saja apakah masalah yang menimpa mereka dalam hal perekonomian sebagiamana yang dialami penduduk Madyan -kaum Nabi Syu’aib ‘alaihis salam- atau masalah mereka dalam hal akhlak sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Luth ‘alaihis salam. Bahkan, meskipun masalah yang mereka hadapi adalah dalam hal perpolitikan! Sebab realitanya umat para nabi terdahulu itu -pada umumnya- tidak diterapkan pada mereka hukum-hukum Allah oleh para penguasa mereka… Tauhid tetap menjadi prioritas yang paling utama! (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahli al-Atsar oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah, hal. 18-19)
Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Sahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: beraqidah yang benar/bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber/rujukan iman dan ilmu adalah wahyu [yaitu al-Kitab dan as-Sunnah] (lihat dalam mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Makna  Kalimat Tahlil ?
Laa ilaaha illallÄh memiliki 2 rukun yaitu an nafyu (peniadaan) dan al itsbat (penetapan). An nafyu ditunjukkan pada kalimat ’Laa ilaaha’, yang artinya meniadakan semua peribadahan kepada selain Allah. Sedangkan Al itsbat ditunjukkan pada kalimat ’illallāh’, yang artinya menetapkan bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi, tidak ada sekutu bagiNya.
Maka, makna Laa ilaaha illallāh adalah laa ma’buda bi haqqin illallāh, yang artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ”Yang demikian itu karena Allah adalah sesembahan yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah sesembahan yang bathil.” (QS. Luqman : 30).
Makna ”ilah” adalah sesembahan yang ditaati dan yang dipuja dalam hati dengan cinta, pengagungan, dan ketundukan. Sehingga, tidak ada ilah yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. (Tadzhib Tas-hil ’Aqidah Islamiyyah, hal 32-33 dengan tambahan).
Kalimat laa ilaha illallah adalah kalimat yang sangat ringan diucapkan dengan lisan namun memiliki bobot yang sangat agung. Karena pada hakikatnya ia merupakan intisari ajaran Islam. Akan tetapi tentu saja kalimat ini bukan sekedar ucapan tanpa makna dan tanpa konsekuensi yang harus dijalankan (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 5)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya).
Kalimat laa ilaha illallah tidak cukup hanya diucapkan, tanpa ada keyakinan dan pelaksanaan terhadap kandungan dan konsekuensinya. Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada di dalam kerak paling bawah dari neraka Jahannam, dan kamu tidak akan mendapati penolong bagi mereka.” (QS. An-Nisaa': 145)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apabila datang kepadamu orang-orang munafik seraya mengatakan: Kami bersaksi bahwa engkau benar-benar utusan Allah. Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan-Nya. Dan Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah harus melandasi syahadatnya dengan keikhlasan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena [ikhlas] mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah pun harus melandasi syahadatnya dengan keyakinan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwsanya aku -Muhammad- adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua persaksian ini tanpa keragu-raguan lalu dihalangi masuk surga.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu para ulama menerangkan bahwa untuk mewujudkan laa ilaha illallah di dalam kehidupan kita, harus terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
  • Mengucapkannya
  • Mengetahui maknanya
  • Meyakini kandungannya
  • Mengamalkan kandungan dan konsekuensinya; yaitu beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain-Nya
  • Membela orang yang menegakkan tauhid dan memusuhi orang-orang yang menyimpang dan menentangnya (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 11 dan 16)
Komitmen Syahadat Tauhid ?
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan semua bentuk ibadah dan menggantungkan hati kepada Allah semata serta mengingkari dan meninggalkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya, karena dia telah mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallāh.
Siapa yang memalingkan sebagian ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a atau menyembelih atau bernadzar kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah padahal yang mampu memberikan pertolongan itu hanyalah Allah, maka dia telah terjatuh kepada syirik akbar, yaitu dosa yang paling besar yang tidak diampuni Allah kecuali dengan taubat. Baik dia tujukan ibadah tersebut kepada berhala, pohon, nabi, wali yang hidup atau yang sudah mati, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini. Sesungguhnya Allah tidak ridha dipersekutukan dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah saja dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 36). (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal 24-25).
Komitmen Syahadat Rasulullah ?
Diantaranya, kita wajib membenarkan semua yang beliau beritakan, termasuk perkara ghaib berupa tanda-tanda hari kiamat, kejadian di alam akhirat, kisah ummat terdahulu, dan yang lainnya. Karena Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah berdusta. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan tidaklah dia berkata menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya ” (QS. An Najm : 3-4).
Selain itu, mentaati semua yang beliau perintahkan. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu, kecuali terdapat kebaikan dan manfaat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. An Nisaa’ : 64).
Kemudian, meninggalkan semua yang beliau larang untuk dikerjakan. Tidaklah beliau melarang sesuatu kecuali terdapat keburukan dan bahaya didalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari dan Muslim).
Yang terakhir, tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau ajarkan. Tidak boleh beribadah dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena ibadah adalah perkara tauqifiyyah (membutuhkan dalil), yang harus berdasarkan Al Qur’an dan sunnah beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beribadah dan beramal dengan amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalan tersebut tertolak”.(HR. Muslim). (Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul, hal 274-276)
Ikhtitam
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan laa ilaha illallah karena [ikhlas] mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu)
Demikianlah, 2 kalimat syahadat ini juga merupakan pondasi ibadah dimana semua ibadah dibangun diatasnya. Tidaklah diterima suatu ibadah, kecuali jika diniatkan ikhlas karena Allah (kandungan syahadat Laa ilaaha illallāh) dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kandungan syahadat Muhammad Rasulullah). Dan kualitas ibadah seseorang berbeda-beda sebanding dengan kadar ikhlas dan ittiba’ dalam ibadahnya tersebut. (Lihat Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul).
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits 2.http://buletin.muslim.or.id 3.https://abu0mushlih.wordpress.com
Jakarta 22/1/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman