PARA IBU YANG DIABADIKAN
Di antara
taujih Al Qur'an adalah bahwa Al Qur'an telah meletakkan di hadapan orang-orang
yang beriman (laki-laki atau wanita) berbagai contoh teladan dari para ummahat
shalihat, yang mempunyai pengaruh dan peran penting di dalam sejarah keimanan.
Di antaranya adalah ibu dari Nabi Musa yang memenuhi seruan wahyu Allah dan llham-Nya, lalu
melemparkan buah hatinya ke dalam lautan dengan penuh ketenangan dan percaya
penuh terhadap janji Rabb-nya. Allah berfirman:
"Dan Kami
ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir
dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikan
kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul." (Al Qashash:
7)
Dan ibunya Maryam yang bernadzar ingin mempunyai anak yang ikut membebaskan "Baitul
Maqdist" karena Allah, bersih dari segala bentuk kemusyrikan atau
'ubudiyah kepada selain-Nya. Ia berdoa agar Allah berkenan menerima nadzarnya
itu, Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika isteri Imran berkata, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernadzar kepada
Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di
Baitul Maqdis), Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Ali 'Imran: 35)
Maka ketika
anak yang baru lahir itu ternyata perempuan di luar harapan yang diinginkan, ia
tetap dalam kesetiaan untuk memenuhi nadzarnya, sambil memohon kepada Allah SWT
agar Allah melindunginya dari segala keburukan, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta
anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau dari syetan yang
terkutuk." (Ali 'Imran: 36)
Maryam puteri
Imran itu adalah Ibunya Al Masih yang telah dijadikan oleh Al Qur'an sebagai
lambang kesucian dan ketaatan kepada Allah serta meyakini kalimat-kalimat-Nya. Allah
SWT berfirman:
"Dan
Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam
rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat
Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia adalah termasuk orang-orang yang
taat." (At-Tahrim: 12)
WANITA SEBAGAI ANAK
Bangsa Arab di
masa jahiliyah pesimis dengan kelahiran anak-anak wanita dan mereka merasa
hina, sehingga ada salah seorang bapak yang berkata ketika dikaruniai anak
wanita, "Demi Allah, ia bukan sebaik-baik anak, pertolongannya adalah hanya
membuat tangis dan berbuat baiknya adalah pencurian."
Ia bermaksud
bahwa anak wanita tidak bisa menolong ayahnya dan keluarganya kecuali dengan
jeritan dan tangis belaka, tidak dengan peperangan dan senjata, dan tidak bisa
berbuat baik kepada keluarganya kecuali mengambil harta suaminya untuk
keluarganya.
Tradisi yang
mereka wariskan memperbolehkan bagi seorang ayah untuk mengubur hidup-hidup
anak puterinya, karena takut miskin atau menganggapnya sebagai aib besar di
mata kaumnya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an yang mengingkari perbuatan
buruk itu:
"Apabila
bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia
dibunuh." (At-Takwir: 8-9)
Al Qur'an juga
menggambarkan sikap para bapak ketika menyambut kelahiran anak-anak wanitanya:
"Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitam (merah padamlah) mukannya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alanglah buruknya
apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl: 58-59)
Sebagian
syari'at lama memberikan wewenang kepada seorang bapak untuk menjual anak
perempuannya apabila ia berkeinginan. Seperti aturan "Hamurabi" yang
memperbolehkan seorang ayah untuk menyerahkan anak perempuannya kepada orang
lain untuk membunuhnya atau memilikinya, maka seorang ayah itu telah membunuh
puteri orang lain.
Islam datang
dengan menganggap anak wanita seperti anak laki-laki yaitu merupakan pemberian
dan karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari
hamba-hamba-Nya, Allah berfirman:
"Kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan
memberikan anak-anak lelaki kepada siapa saja yang Dia kehendaki, atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya),
dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa." (Asy Syura: 49-50)
Al Qur'an juga
menjelaskan di dalam kisah-kisahnya bahwa sesungguhnya sebagian anak-anak
perempuan itu lebih besar pengaruhuya dan lebih kekal kenangannya daripada
kebanyakan anak laki-laki. Seperti dalam kisah Maryam puteri Imran yang telah
dipilih oleh Allah SWT dan disucikan melebihi para wanita di seluruh alam
semesta padahal ketika sang ibu mengandungnya, ia menginginkan agar anaknya
lahir laki-laki sehingga bisa berkhidmah di Baitil Maqdis dan agar termasuk
orang-orang shalih. Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika isteri Imran berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan
kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan
berkhidmad (di Baitil Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu dariku.
Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Maka tatkala
isteri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnnya
aku melahirkan seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannnya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya
serta anak-anak keturunannnya kepada (pemeliharaan) Engkau dari syetan yang
terkutuk . Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nadzar) dengan penerimaan yang
baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik ..." (Ali 'Imran: 35-37)
Al Qur'an
mengecam dengan keras terhadap orang-orang yang berkeras hati dan membunuh
anak-anak mereka, baik anak laki-laki atau perempuan, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak
mengetahui" (Al An'am: 140)
"Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan
memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar." (Al Isra': 31)
Rasulullah SAW
telah menjadikan surga sebagai balasan untuk setiap bapak yang baik dalam
memperlakukan anak wanitanya dan bersabar untuk mendidik mereka dan baik dalam
mendidiknya. Memelihara hak Allah atas mereka, hingga mereka dewasa atau mati
karena membela mereka. Nabi SAW juga menjadikan kedudukan orang itu di sisinya
SAW di surga yang penuh kenikmatan dan kekal abadi.
Imam Muslim
meriwayatkan dari Anas RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,
"Barangsiapa yang merawat dua anak gadis hingga aqil baligh maka ia datang
pada hari kiamat, sedangkan saya dan dia seperti ini." Kemudian Nabi
merapatkan telunjuknya (artinya, saling berdekatan)."
Ibnu Abbas RA
meriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda:
"Tidaklah
seorang Muslim yang mempunyai dua anak puteri, kemudian berbuat baik kepada
keduanya kecuali keduannya akan memasukkannya ke dalam surga." (HR. Ibnu
Majah)
Sebagian hadits
menjelaskan bahwa pembalasan masuk surga itu diperuntukkan bagi seseorang
(saudara laki-laki) yang memelihara saudara-saudara perempuannya atau dua
saudara perempuannya juga.
Sebagian
riwayat yang lain menjelaskan bahwa pembalasan llahi ini diperuntukkan juga
bagi orang yang berbuat baik kepada anak wanitanya walaupun hanya satu.
Di dalam
haditsnya Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa
yang mempunyai tiga anak wanita, kemudian bersabar atas tinggal mereka, kesusahan
mereka dan kesenangan mereka, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga
dengan rahmat-Nya kepada mereka," ada seseorang yang bertanya,
"Bagaimana jika dua anak wahai Rasulullah?" Nabi SAW bersabda,
"(ia) dua anak wanita juga," orang itu bertanya lagi, "Wahai
Rasulullah, bagaimana jika satu anak wanita?" Nabi menjawab, "Satu
juga" (HR. Hakim)
Ibnu Abbas
meriwayatkan hadits marfu':
"Barangsiapa
yang mempunyai anak wanita, kemudian tidak ditanam hidup-hidup, tidak dihina
dan tidak berpengaruh (mengutamakan) anak laki-laki atas anak wanita maka Allah
akan memasukkannya ke dalam surga." (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Di dalam hadits
Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, bahwa sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda:
"Barangsiapa
yang diuji dengan dikaruniai anak-anak wanita, kemudian ia berbuat baik kepada
mereka, maka mereka itu akan menjadi penangkal dan api neraka."
Dengan
keterangan nash-nash yang sharih ini dan khabar gembira yang terus
diulang-ulang dengan meyakinkan ini, maka kelahiran anak wanita bukanlah beban
yang mesti ditakuti (dikhawatirkan). Bukan pula merupakan kenistaan yang
dihindari, akan tetapi merupakan kenikmatan yang harus disyukuri dan rahmat
yang diharapkan dan dicari. Karena dia merupakan karunia Allah SWT dan
pahala-Nya yang besar.
Dengan demikian
maka Islam telah meniadakan tradisi mengubur anak wanita secara hidup-hidup
untuk selamanya. Seorang anak perempuan di hati ayahnya telah memiliki posisi
yang terhormat sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah SAW terhadap puterinya
Fathimah RA, "Fathimah adalah bagian dari diriku, meragukan aku apa-apa
yang meragukannya."
Adapun
kekuasaan ayah terhadap anak wanitanya maka tidak boleh melampaui batas dari
kerangka pendidikan, pemeliharaan, pelurusan nilai-nilai agama dan moralitas
anak. Sehingga di sini anak wanita itu diperlakukan seperti anak laki-laki, di
mana orang tua memerintahkan kepada anak wanitanya itu untuk melakukan shalat
apabila telah mencapai usia tujuh tahun, dan memukulnya karena meninggalkan
shalat apabila telah berumur sepuluh tahun. Orang tua juga memisahkan tempat
tidur anak wanitanya itu dari saudara laki-lakinya dan menekankan untuk
berperilaku Islami, baik dalam berpakaian, berhias, ketika keluar rumah dan
pada waktu berbicara.
Pemberian
nafkah orang tua kepada anak wanitanya itu hukumnya wajib hingga ia menikah.
Sejak itu orang tua tidak lagi punya wevvenang untuk menjualnya atau
menyerahkannya kepada orang lain untuk dimiliki dalam keadaan apa pun. Islam
telah meniadakan jualbeli orang yang merdeka baik laki-laki maupun wanita dalam
keadaan apa pun.
Kalaupun
seandainya masih ada orang yang menjual atau menyerahkan anak wanitanya untuk
dimiliki sehingga menjadi budak di tangan orang lain, maka anak itu hakikatnya
tetap merdeka. Dia hanya sekedar dapat dimiliki, itu pun harus melalui
pengesahan sesuai ketentuan Islam.
Apabila seorang
anak wanita itu memiliki harta secara khusus, maka tidak ada hak bagi ayahnya
kecuali mempergunakan harta itu dengan baik. Dan tidak boleh bagi seorang ayah
untuk menikahkan anak wanitanya dengan orang lain, supaya orang tersebut ganti
menikahkan anak wanitanya dengan dia, inilah yang dinamakan nikah
"Shighar," yaitu pernikahan tanpa mas kawin yang merupakan hak anak
wanitanya, dan bukan hak ayahnya.
Tidak boleh
bagi seorang ayah menikahkan anak wanitanya yang sudah baligh dengan orang yang
tidak disukai oleh anak tersebut. Tetapi ia harus meminta pendapat dari anaknya
apakah mau menerima atau tidak. Apabila anak wanitanya itu seorang janda maka
harus memperoleh persetujuannya dengan jelas, dan apabila dia seorang gadis
yang pada umumnya adalah pemalu maka cukup dengan diamnya. Karena diamnya
seorang gadis itu adalah tanda menerima. Akan tetapi jika ia berkata,
"tidak" maka tidak ada kekuasaan baginya untuk memaksa anaknya agar
menikah dengan orang yang tidak disukai.
Dari Abi
Hurairah RA (di dalam hadits marfu') Rasullah SAW bersabda, "Wanita janda
itu tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai pendapat dan wanita gadis itu
tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izin.," shahabat bertanya,
"Wahai Rasulullah, bagaimana cara meminta izin? Nabi bersabda, "Jika
ia diam." (HR. Al Jama'ah)
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Rasulullah bersabda,
wanita gadis itu dimintai izin," aku berkata, "Sesungguhnya wanita
gadis itu hisa dimintai izin tetapi ia pemalu. Nabi menjawab, "Izinnya
adalah diamnya." Oleh karena itu ulama' mengatakan." Sebaiknya wanita
gadis itu diberi tahu bahwa diamnya itu berarti izinnya."
Dari Khansa
binti Khaddam Al Anshariyah, "Sesungguhnya ayahnya menikahkan dia,
sedangkan dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang
kepada Rasulullah maka Rasulullah menolak pernikahannya (HR. Al Jama'ah kecuali
Muslim).
Dari Ibnu Abbas
RA, "Sesungguhnya ada seorang wanita (gadis) datang kepada Rasulullah
kemudian menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dia, tetapi dia tidak suka
(pernikahan itu), maka Nabi SAW menyuruh dia untuk memilih (dilanjutkan atau
tidak)." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Ini semua
membuktikan bahwa sesungguhnya seorang ayah itu tak berbeda dengan lainnya di
dalam wajibnya meminta ijin kepada wanita yang masih gadis dan pentingnya
memperoleh persetujuan darinya.
Di dalam shahih
Muslim disebutkan, wanita gadis itu dimintai persetujuannya oleh ayahnya."
Dari Aisyah ra,
"Sesungguhnya ada seorang wanita gadis masuk ke rumahnya, lalu berkata,
"Sesungguhnya bapakku telah menikahkan aku dengan anak saudaranya (saudara
sepupu) dengan maksud ingin mengangkat derajatnnya, tapi saya tidak suka."
Aisyah berkata, "Duduklah hingga Nabi SAW datang," lalu aku
memberitahu kepadanya kemudian Nabi mengirimkan utusan kepada ayahnya untuk
didatangkan, lalu keputusan masalah ini diserahkan kepada anaknya. Anak itu
berkata, "Wahai Rasulullah SAW sungguh engkau telah memberi kesempatan
kepadaku terhadap apa yang dilakukan oleh ayahku, tetapi saya ingin tahu apakah
diperbolehkan bagi kaum wanita untuk memutuskan sesuatu?" (HR. Nasa'i)
Hadits-hadits
tersebut secara zhahir menunjukkan bahwa sesungguhnya meminta ijin wanita gadis
atau janda itu merupakan syarat sah aqad. Sehingga apabila seorang ayah atau
wali menikahkan wanita janda tanpa meminta ijin kepadanya maka akadnya batal
dan ditolak, sehagaimana terdapat di dalam kisah Khansa binti Khaddam. Demikian
juga berlaku pada wanita yang masih gadis ia berhak memilih menerima atau
menolak. Maka akad juga menjadi batal sebagaimana kisah seorang gadis (di jaman
Rasulullah SAW).
Di antara
keindahan syariat islam adalah, bahwa Islam memerintahkan kepada kita untuk
meminta pendapat ibu dalam menikahkan anak wanitanya, sehingga pernikahan itu
bisa berjalan dengan memperoleh ridha (persetujuan) dari semua pihak yang
terkait.
Dari Ibnu Umar
RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Ajaklah kaum wanita itu untuk
bermusyawarah mengenai anak-anak wanitanya." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Apabila seorang
ayah tidak berhak untuk menikahkan anak perempuannya dengan orang yang tidak
disukai, maka merupakan kewajiban anak tersebut untuk tidak menikahkan dirinya
kecuali dengan ijin ayahnya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah
SAW, "Tidak ada (tidak sah) pernikahan kecuali dengan wali." (HR. Al
Khamsah, kecuali Nasa'i)
Imam Abu
Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa diperbolehkan bagi seorang wanita
menikahkan dirinya sendiri tanpa seijin ayahnya atau walinya, dengan syarat
suaminya itu sekufu dengan dia. Pendapat ini tidak ada landasan dari hadits.
Yang paling
baik pernikahan itu harus melalui persetujuan ayah, ibu dan anaknya, sehingga
tidak ada peluang untuk menjadi pembicaraan di sana sini atau menimbulkan
permusuhan dan kebencian karena Allah SWT mensyariatkan pernikahan itu untuk
memperoleh mawadah wa rahmah.
Idealnya
seorang ayah memilihkan untuk anak putrinya lelaki shalih yang dapat
membahagiakan semua pihak. Dan hendaknya yang menjadi perhatian utama adalah
akhlaq dan agamanya, bukan materi dan harta. Juga hendaknya orang tua tidak
mempersulit proses pernikahan apabila ada seseorang yang melamar anaknya.
Di dalam hadits
Rasulullah SAW dikatakan, "Apabila datang kepadamu orang yang kamu ridhai
akhlaq dan agamanya maka nikahkan ia (dengan putrimu), jika tidak kamu
laksanakan maka akan terjadi fitnah di bumi ini dan kerusakan yang
merata." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
Dengan demikian
maka Islam mengajarkan kepada setiap orang tua bahwa sesungguhnya anak wanita
itu adalah "manusia" sebelum yang lainnya. Dia bukanlah benda mati
yang diperjual-belikan atau ditukar dengan materi sebagaimana yang sering
dilakukan oleh para orang tua di masa jahiliyah.
Rasulullah SAW
bersabda:
"Pernikahan
yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan (mudah biayanya)."
(HR. Ahmad)
Sumber:Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Cetakan Pertama Januari 1997
Citra Islami Press
Bersambung...
JAKARTA 9/9/2013