Allah
berkata. "Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah
Allah dengan beribadah secara ikhlas kepada Allah dan berpegang teguh kepada
Allah."
~ Surah Al-Bayyinah, ayat 5 ~
Allah berkata, "Wahai orang-orang yang beriman! Jangan rosakkan pahala amal sedekah kamu dengan perbuatan mengungkit-ungkit dan berkelakuan yang menyakiti, seperti rosaknya pahala sedekah orang yang membelanjakan hartanya kerana hendak menunjuk-nunjuk kepada manusia (riyak)."
~ Surah Al-Baqarah, ayat 264 ~
Abu Hurairah melaporkan, katanya, "Saya pernah mendengar Rasulullah berkata, "Allah yang Maha Mulia berkata, "Aku adalah Tuhan yang satu, tidak memerlukan sebarang sekutu. Sesiapa melakukan amalan untuk selain daripadaku, aku akan biarkan dia bersama sesuatu yang dia jadikan sekutuku itu."
~ Riwayat Muslim ~
~ Surah Al-Bayyinah, ayat 5 ~
Allah berkata, "Wahai orang-orang yang beriman! Jangan rosakkan pahala amal sedekah kamu dengan perbuatan mengungkit-ungkit dan berkelakuan yang menyakiti, seperti rosaknya pahala sedekah orang yang membelanjakan hartanya kerana hendak menunjuk-nunjuk kepada manusia (riyak)."
~ Surah Al-Baqarah, ayat 264 ~
Abu Hurairah melaporkan, katanya, "Saya pernah mendengar Rasulullah berkata, "Allah yang Maha Mulia berkata, "Aku adalah Tuhan yang satu, tidak memerlukan sebarang sekutu. Sesiapa melakukan amalan untuk selain daripadaku, aku akan biarkan dia bersama sesuatu yang dia jadikan sekutuku itu."
~ Riwayat Muslim ~
Muqaddimah
Keikhlasan beribadah seseorang kepada Allah adalah bertolak
dari niat seseorang itu mengerjakan ibadah tersebut. Ini jelas sebagaimana
diterangkan oleh Rasulullah di dalam hadisnya yang bermaksud:
"Sesungguhnya segala perbuatan yang dilakukan itu dengan niat dan
sesungguhnya tiap-tiap manusia apa yang diniatkannya maka barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya itu kepada Allah dan
Rasulnya dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ia ingin
memperolehinya atau kepada perempuan yang hendak dinikahinya maka hijrahnya itu
kepada apa yang ia inginkan".
Diriwayatkan
dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-Khattab
radhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya
setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan
balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia
inginkan.”
(HR. Bukhari
[Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no.
6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Orang yang
ikhlas dalam beramal akan bisa mengubah amalannya yang tampak sedikit menjadi
banyak pahalanya, sehingga ucapan dan amalannya akan membuahkan pahala yang
berlipat ganda (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 19).
Syaikh as-Sa’di
rahimahullah mengatakan,
“Amal-amal itu
sesungguhnya memiliki keutamaan yang bervariasi dan pahala yang berlipat-lipat
tergantung pada keimanan dan keikhlasan yang terdapat di dalam hati orang yang
melakukannya… ” (Bahjat
al-Qulub al-Abrar, hal. 17). Semoga Allah menjadikan kita orang yang ikhlas.
(Sebagian
materi artikel ini kami ambil dari kitab Ta’thir al-Anfaas bi Ahaadits
al-Ikhlas)
Makna Ikhlas
Ikhlas, sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in yang bernama Al-Junaid, adalah “Rahasia antara Allah dan hamba-Nya, tidak diketahui malaikat sehingga menulisnya, atau setan sehingga merusaknya, dan juga hawa nafsu sehingga mengganggunya.”
Atau sebagaimana dikatakan Ruaim bin Ahmad, “Ikhlas adalah engkau tidak menengok apa yang telah engkau kerjakan.”
Sedangkan, Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ikhlas yaitu memurnikan amalan dari perhatian makhluk, dan menjauhkannya dari perhatian makhluk bahkan dari dirinya sendiri. Barangsiapa menganggap amalannya telah ikhlas, maka keikhlasannya perlu keikhlasan lagi. Dikatakan pula bahwa ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dengan selalu mencari
Ayat-Ayat Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar, maka sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya agama yang murni
itu merupakan hak Allah.” (QS.
az-Zumar: 2-3)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Padahal,
mereka tidaklah disuruh melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam menjalankan ajaran yang lurus, mendirikan
sholat dan menunaikan zakat. Demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Berdoalah
kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal untuk-Nya, meskipun orang-orang
kafir tidak menyukai.” (QS. Ghafir:
14)
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Dialah Yang
Maha Hidup, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, maka sembahlah Dia dengan
mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Ghafir: 65)
Hadits-Hadits
Yang Memerintahkan Untuk Ikhlas
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi
mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i
dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan
oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang
paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang
mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu)
Hakekat Ikhlas
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya),
“Allah yang
menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di
antara kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah menafsirkan
makna ‘yang
terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila amal itu
ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula apabila benar
tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu apabila dikerjakan
karena Allah. Benar yaitu apabila di atas sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid
al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum
wa al-Hikam, hal. 19)
Pada suatu saat
sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian orang-orang terhadap dirinya.
Maka beliau pun berdoa kepada Allah,
“Ya Allah.
Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan aku lebih
mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah, jadikanlah aku
lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau siksa aku karena akibat
ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih sayang-Mu atas segala sesuatu
yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari
Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin
Abdullah rahimahullah mengatakan,
“Baiknya hati
dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’
al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Ibnu al-Mubarak
rahimahullah mengatakan,
“Betapa banyak
amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi
kecil gara-gara niat.” (Sebagaimana
dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama
yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats Tsauri rahimahullah
berkata,
“Tidaklah aku
menyembuhkan sesuatu yang lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari
Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu
ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang mendoakan kebaikan
untuknya, maka beliau berkata,
“Semoga saja,
ini bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii
Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Begitu pula
ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian orang-orang kepada beliau,
maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid,
“Wahai Abu
Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya sendiri maka ucapan
orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi,
hal. 22)
Ad Daruquthni
rahimahullah mengatakan,
“Pada awalnya
kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu
enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari
Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi
rahimahullah mengatakan,
“Penyakit hati
yang paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat
kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Di dalam
biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa Ayyub mengatakan,
“Aku sering
disebut orang, namun aku tidak senang disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii
Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Seorang ulama
mengatakan,
“Orang yang
benar-benar berakal adalah yang mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak
terpedaya oleh pujian orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi
Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)
Syaikh Prof.
Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan,
“Ikhlas dalam
beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal
salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di
sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam
melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di
sisi Allah.” (Tajrid
al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
Beramal Tidak Ikhlas
Dari Sulaiman
bin Yasar, dia berkata: Suatu saat, ketika orang-orang mulai bubar meninggalkan
majelis Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, maka Natil -salah seorang penduduk
Syam- (beliau ini adalah seorang tabi’in yang tinggal di Palestina, pent)
berkata kepadanya,
“Wahai Syaikh,
tuturkanlah kepada kami suatu hadits yang pernah anda dengar dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah
menjawab,
“Baiklah. Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah:
[Yang
pertama] Seorang lelaki yang telah berjuang demi mencari mati syahid. Lalu
dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya akan
diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya kepadanya,
“Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Aku
berperang di jalan-Mu sampai aku menemui mati syahid.” Allah menimpali jawabannya,
“Kamu dusta. Sebenarnya kamu berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani,
dan sebutan itu telah kamu peroleh di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan
malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga
akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.
[Yang kedua]
Seorang lelaki yang menimba ilmu dan mengajarkannya serta pandai
membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya
nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya.
Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu
semua?”. Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku
membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu
dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai orang alim, dan
kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan sebutan itu telah kamu
dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke
dalam api neraka.
[Yang ketiga]
Seorang lelaki yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia
berupa segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya
nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa
mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk
mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun kesempatan yang
Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan aku telah berinfak
padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta.
Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi mendapatkan sebutan sebagai orang yang
dermawan. Dan sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah
memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas
wajahnya hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka.”
(HR. Muslim
[1903], lihat Syarh Muslim [6/529-530])
Madrasah
Tabi’in
Para salafus saleh adalah madrasah keikhlasan. Dari mereka kita bisa belajar dan menempa diri. Berikut akan penulis paparkan beberapa contoh tabi’in menjaga keikhlasannya dalam beramal
Para salafus saleh adalah madrasah keikhlasan. Dari mereka kita bisa belajar dan menempa diri. Berikut akan penulis paparkan beberapa contoh tabi’in menjaga keikhlasannya dalam beramal
1.Ibrahim bin Adham dalam
Menjauhi Popularitas
Ibrahim bin Adham pernah berkata, “Tidaklah seorang hamba jujur kepada Allah selama ia masih suka popularitas.”
Ibnul Jauzi berkisah tentang Ibrahim bin Adham, “Ibrahim bin Adham adalah seorang yang terkeal di suatu daerah. Suatu ketika, ada sekelompok orang mencarinya dan ditunjukkan bahwa ia berada di kebun Fulan. Mereka pun berkeliling sambil mencarinya di kebun tersebut sambil berteriak, “Dimanakah Ibrahim bin Adham? Dimanakah Ibrahim bin Adham? Dimanakah Ibrahim bin Adham?” Beliau (Ibrahim bin Adham) pun ikut berkeliling sambil berteriak, “Dimanakah Ibrahim bin Adham?”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Ibrahim bin Adham adalah orang yang suka merahasiakan amalnya. Tidak pernah aku melihatnya menampakkan tasbih atau kebaikan sedikit pun.”
Ibrahim bin Adham pernah berkata, “Tidaklah seorang hamba jujur kepada Allah selama ia masih suka popularitas.”
Ibnul Jauzi berkisah tentang Ibrahim bin Adham, “Ibrahim bin Adham adalah seorang yang terkeal di suatu daerah. Suatu ketika, ada sekelompok orang mencarinya dan ditunjukkan bahwa ia berada di kebun Fulan. Mereka pun berkeliling sambil mencarinya di kebun tersebut sambil berteriak, “Dimanakah Ibrahim bin Adham? Dimanakah Ibrahim bin Adham? Dimanakah Ibrahim bin Adham?” Beliau (Ibrahim bin Adham) pun ikut berkeliling sambil berteriak, “Dimanakah Ibrahim bin Adham?”
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Ibrahim bin Adham adalah orang yang suka merahasiakan amalnya. Tidak pernah aku melihatnya menampakkan tasbih atau kebaikan sedikit pun.”
2.Abdullah bin
Mubarak dalam Menyembunyikan Amal
Abdah bin Sulaiman mengisahkan, “Aku pernah bersama Abdullah bin Mubarak dalam sebuah peperangan di dareah Romawi, dan kami bertemu dengan musuh. Ketika kedua pasukan berhadap-hadapan, keluarlah seseorang dari barisan musuh menantang duel. Maka keluarlah salah seorang dari kami. Dalam beberapa saat saja dia berhasil mengalahkan musuh, menikam, dan membunuhnya. Kemudian keluar lagi satu dari mereka dan dia berhasil membunuhnya. Kemudian datang lagi yang lain dan dia berhasil lagi membunuhnya.
Abdah bin Sulaiman mengisahkan, “Aku pernah bersama Abdullah bin Mubarak dalam sebuah peperangan di dareah Romawi, dan kami bertemu dengan musuh. Ketika kedua pasukan berhadap-hadapan, keluarlah seseorang dari barisan musuh menantang duel. Maka keluarlah salah seorang dari kami. Dalam beberapa saat saja dia berhasil mengalahkan musuh, menikam, dan membunuhnya. Kemudian keluar lagi satu dari mereka dan dia berhasil membunuhnya. Kemudian datang lagi yang lain dan dia berhasil lagi membunuhnya.
Orang-orang pun
berkerumun di sekeliling laki-laki tersebut dan aku termasuk salah seorang dari
mereka. Namun, tiba-tiba lelaki tersebut menutupi mukanya dengan lengan
bajunya. Maka aku memegang ujung lengan bajunya dan menariknya. Ternyata
laki-laki tersebut adalah Abdullah bin Mubarak. Maka ia berkata, ‘Dan engkau,
wahai Abu Amru, termasuk orang yang menjelekkaknku’.
Marilah kita renungkan ucapan beliau di atas. Beliau menganggap kalau amalnya dilihat orang adalah suatu kejelekan padahal beliau telah berusaha keras menyembunyikannya.
Marilah kita renungkan ucapan beliau di atas. Beliau menganggap kalau amalnya dilihat orang adalah suatu kejelekan padahal beliau telah berusaha keras menyembunyikannya.
3.Menyembunyikan
Ibadah dengan Menampakkan Aktivitas Lain
Ini adalah cara lain untuk dapat menjaga keikhlasan kita dalam beramal. Yaitu dengan menampakkan aktivitas lain setelah mengerjakan suatu ibadah untuk lebih menyembunyikan amalnya. Abu Tamim bin Malik mengisahkan:
Ini adalah cara lain untuk dapat menjaga keikhlasan kita dalam beramal. Yaitu dengan menampakkan aktivitas lain setelah mengerjakan suatu ibadah untuk lebih menyembunyikan amalnya. Abu Tamim bin Malik mengisahkan:
“Adalah Mansur
bin Al-Mu’tamir, apabila shalat subuh ia menampakkan kebugaran kepada
sahabat-sahabatnya (seakan-akan baru bangun tidur). Ia berbicara dengan mereka
dan bolak-balik kepada mereka, padahal semalaman ia bangun untuk mendirikan
shalat. Ia lakukan semua itu untuk menyembunyikan apa yang telah ia kerjakan.”
Begitu pula Abu
Ayyub as-Sakhtiyani, beliau bangun shalat semalaman kemudian menyembunyikannya.
Apabila datang waktu subuh, beliau mengangkat suaranya seakan-akan baru bangun.
Para tabi’in
mengajarkan keikhlasan bukan hanya kepada diri mereka sendiri, tetapi juga
kepada para pengikut mereka. Sebagai contoh, Raja’ bin Haiwah ketika melihat
salah seorang dari muridnya mengantuk setelah subuh, beliau mengingatkannya,
‘Hati-hati, jangan sampai mereka mengira kalau ini karena pengaruh bangun
malam’.
Demikianlah
beberapa contoh kisah dari tokoh-tokoh tabi’in dalam menyembunyikan amal-amal
mereka. Mereka melakukan hal ini tidak lain hanyalah untuk dapat menjaga
keikhlasan mereka dalam beramal. Sebagai penutup, ada sebuah nasihat yang
ditulis As-Samarqandy dalam bukunya Tanhibul Ghaifilin, “Belajarlah keikhlasan
dari penggembala kambing.apabila ia shalat di sekitar kambing-kambingnya, ia tidak
mengharapkan pujian dari kambingnya. Begitu pula hendaknya seseorang dalam
beramal. Jangan peduli dengan orang-orang yang melihatnya, sehingga selalu
beramal ikhlas karena Allah. Baik ketika bersama manusia maupun ketika sendiri,
semua sama saja, dan tidak mengharapkan pujian dari manusia. (Sumber: Tarbiyah
Ruhiyah Ala Tabi’in karangan Asyraf Hasan Thabal)
Makna Ikhlas Dalam Ibadah
Ketahuilah
wahai saudaraku kaum muslimin -semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan
kepada kalian untuk berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah-,
sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amalan apapun dari siapa
pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil,
yaitu:
1. Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan
hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak
mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah Ta’ala.
2. Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus
sesuai dengan petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.
Dalil untuk
kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam beberapa tempat dalam
Al-Qur`an. Di antaranya:
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada
Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi : 110)
Al-Hafizh Ibnu
Katsir -rahimahullah- berkata dalam Tafsirnya (3/109) menafsirkan ayat di atas,
“[Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh], Yaitu apa-apa yang sesuai
dengan syari’at Allah, [dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadat kepada Rabbnya] yaitu yang hanya diinginkan wajah Allah dengannya
tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun untuk amalan yang diterima, harus
ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syari’at Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa ala alihi wasallam-”.
Dan juga Firman
Allah Ta’ala:
“Dia lah yang
menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang
paling baik amalannya”. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin
Iyadh -rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah
-rahimahullah- (18/250) berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di
antara kalian yang paling baik amalannya”], “(Yaitu) Yang paling ikhlas dan
yang paling benar. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasannya akan
tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika amalan itu benar akan tetapi
tanpa disertai keikhlasan, maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut
ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya (diperuntukkan) bagi Allah dan
yang benar adalah yang berada di atas sunnah (Rasulullah -shallallahu alaihi
wasallam-)”.
JAKARTA 5/8/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar