“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam.” (QS. Al
An’aam: 162)
Fudhail Bin Iyadh berkata: “Beramal
karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’,
dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman)
Muqaddimah
Niat
dalam terminologi ulama fiqh, adalah qashdu syai’in muqtaranan bi fi’lihi,
artinya menyengaja untuk melakukan sesuatu dibarengi dengan mengerjakannya
sesuatu itu. Jika sesorang melakukan amal ibadah, maka ketika melakukan amal
ibadah itu maka dibarengilah dengan niat, dengan tujuan.
Namun,
niat dalam perspektif yang lebih luas adalah gerakan hati dalam rangka melakukan
sesuatu tindakan, baik berbarengan dengan tindakan itu, atau sebelumnya.
“Innamal ‘amalu bi al-niyat” ini adalah salah satu tonggak bagi nilai-nilai
spiritual dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sebagian
ulama memberikan penafsiran mengenai hadis “Innamal ‘amalu bi al-niyatu” adalah
dengan bahwa yang menentukan sah tidaknya suatu ibadah adalah niatnya saja.
Tetapi menurut saya, biar saja arti niat disitu berlaku umum saja. Jadi kalau
diartikan umum maka artinya, setiap amalan itu tergantung kepada niatnya. Ini
arti umum sekali. Biarkan saja makna niat masih dalam keumumanya itu. Tidak
merujuk pada terminology para fuqaha itu. Nanti kita lihat apa konsekwensi niat
di dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Rasulullah
Shollallahu’alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang
diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia
didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan
di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya: ‘Amal apakah
yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang
semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Engkau
dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang
demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan
(malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu
dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang
yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Quran. Ia didatangkan
dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya.
Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan
kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya
serta aku membaca al-Quran hanyalah karena engkau.’ Allah berkata: ‘Engkau
dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan
engkau membaca al-Quran supaya dikatakan seorang qari’ (pembaca al-Quran yang
baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian
diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam
neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki
dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya
kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah
bertanya: ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia
menjawab: ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang
Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’
Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya
dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan
(tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas
mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (HR. Muslim)
Makna Niat
Secara bahasa,
niat berarti ‘sengaja’ atau ‘sesuatu yang dimaksudkan’ atau ‘tujuan dari
keinginan’. Sementara ikhlas berasal dari kata khalasha yang maknanya ialah kemurnian,
kejernihan, atau hilangnya segala sesuatu yang mengotori. Sehingga secara
istilah syara’, ikhlas adalah membersihkan niat dalam beribadah semata-mata
hanya karena Allah.
“Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Hukum niat
dalam ibadah
Hukum niat dalam setiap ibadah adalah wajib. Allah berfirman :
Hukum niat dalam setiap ibadah adalah wajib. Allah berfirman :
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
Artinya : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.." (QS Al-Bayyinah : 5)
Dan makna ikhlas pada ayat diatas ( مخلصين ) adalah niat. Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
Artinya : "Setiap amalan-amalan (harus) dengan niat. dan setiap orang mendapatkan (ganjaran) sesuai niatnya."
Tempat Niat
Tempat niat adalah didalam hati. jika seseorang berniat wudhu dalam hati kemudian dia berwudhu maka sah wudhunya walaupun dia tidak melafadzkan niat tersebut. dalam niat tidak diharuskan mengucapkan dengan lisan, akan tetapi cukup dalam hati. jika seseorang berniat dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan maka lebih sempurna. karena niat adalah sebuah keikhlasan maka tempatnya adalah dalam hati.
Sedangkan dalam Madzhab Malikiyah niat hanya dalam hati, karena Rosulullah -shollahu 'alaihi wasallam- dan para sahabatnya tidak pernah mengucapkan niat dengan lisan.
- Apakah Niat itu Rukun atau Syarat dalam Ibadah?
Sebagian ulama berpendapat bahwa niat itu rukun dari sebuah ibadah, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa niat itu syarat ibadah. akan tetapi mereka bersepakat bahwa ibadah itu tidak sah jika tanpa niat. seseorang yang berwudhu tanpa niat maka wudhunya batal.
wallahu a'lam
Tingkatan Niat:
Tingkatan Pertama ialah menjadikan ridho Allah sebagai satu-satunya penggerak amal yang
dikerjakan. Itulah tingkatan yang utama bagi seorang mukmin.
“Katakanlah:
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
seluruh alam.” (QS. Al An’aam: 162)
Termasuk pula
dalam tingkatan ini ialah mereka yang meniatkan setiap gerak dan diamnya karena
mengharap ridho Allah semata, dan juga mereka yang beribadah karena takut akan
siksa neraka dan berharap kenikmatan surga-Nya. Karena Allah SWT pun
memerintahkan para hamba-Nya untuk takut terhadap azab-Nya di neraka, serta
mengejar nikmat-Nya di surga.
“Peliharalah
dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi
orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 24)
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Ali ‘Imran: 133)
Tingkatan Kedua ialah mereka yang menjadikan niat mengharap ridho Allah itu bercampur
dengan tujuan lainnya yang bersifat duniawi namun masih dalam lingkup fillah
(dalam rangka karena Allah SWT) pada penghujungnya. Namun tujuan-tujuan lain
tersebut tidak boleh menyamai atau bahkan lebih besar daripada niat karena
Allah. Misalnya seseorang yang berpuasa dengan harapan ridho Allah dan harapan
untuk kesehatan (dimana dengan sehat maka ibadahnya akan lebih terjaga), atau
orang yang berwudhu untuk ridho Allah dan bercampur dengan keinginan
menyegarkan badan (badan yang segar akan turut menyegarkan tubuh untuk
mengingat Allah). Amal dengan niat bercampur seperti ini tidak dilarang, akan
tetapi pahala yang didapat tidak sebesar mereka yang berada di tingkatan niat
pertama.
“Sesungguhnya
apabila orang-orang yang berperang itu memperoleh harta rampasan, maka mereka
mendapatkan terlebih dahulu dua pertiga balasannya (di dunia), dan jika tidak
memperoleh apa-apa (harta rampasan), maka balasan bagi mereka menjadi utuh (di
akhirat).” (HR. Muslim)
Allah SWT pun
tidak melarang perjalanan ibadah haji yang juga ditujukan untuk berniaga.
“Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka
apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 198)
Sesungguhnya
setiap ibadah yang Allah SWT perintahkan, memiliki manfaat dunia dan akhirat.
Namun akan lebih baik jika manfaat duniawi tersebut cukup dijadikan sebagai
factor tambahan untuk penguat semangat, dan tidak menjadi sebab utama dalam
beribadah.
Tingkatan Ketiga ialah niat untuk mencari ridho Allah yang bercampur dengan keinginan lain
yang bersifat duniawi dan diluar dari lingkup fillah. Misalnya orang yang
sholat dengan harapan ridho Allah dan juga keinginan untuk dipuji orang lain
(riya’). Tingkatan ketiga ini adalah terlarang, niat yang bercampur dengan riya
akan membatalkan pahala dari amal tersebut.
Allah SWT
berfirman dalam hadits qudsi: “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada
serikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untukKu lantas ia
menserikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainKu, maka Aku berlepas diri
darinya, dan ia untuk yang dia serikatkan.” (HR. Ibnu Majah)
Ada seorang
datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapat anda tentang seseorang yang berperang dijalan Allah untuk mencari
pahala dan juga agar (namanya) dikenang manusia lainnya, apa yang akan ia
peroleh?” Nabi SAW menjawab: “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu orang
tersebut mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan semua jawaban dari Nabi
juga sama: “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dengan niat ikhlas dan hanya
mengharapkan balasan dari-Nya semata.” (HR. An Nasa’i)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” (QS. Al Baqarah: 264)
Tingkatan Keempat adalah niat yang tidak ada di dalamnya harapan mencari ridho Allah atau
memperoleh pahala, akan tetapi semata-mata mengejar kemanfaatan dunia. Niat
seperti ini tidak memperoleh bagian pahala dari Allah, akan tetapi bila
amalannya itu sesuai dengan sebab-akibat sunatullah yang Allah telah tetapkan,
maka ia berkesempatan memperoleh manfaat dunianya saja.
“Barang siapa
yang menghendaki kehidupan dunia (saja) dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia ini tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka kerjakan
di dunia dan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15 – 16)
Hukum Melafalkan Niat
Adapun hukum
melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan
para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad
bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir
dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’
dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was was (ragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was was (ragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Ikhlas Beribadah
Orang yang
ikhlas hanya mengejar ridha Allah semata, sehingga tujuannya focus dan tidak
dibingungkan oleh berbagai fitnah dunia. Hati yang tenteram karena keikhlasan
akan memunculkan manusia yang memiliki kekuatan jiwa, dengan ciri-ciri antara
lain:
a.) Sabar terhadap
panjangnya jalan perjuangan, tidak terburu-buru dan tergoda untuk menempuh
jalan pintas yang tidak berkah.
b.) Istiqamah
dalam memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau
ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan.
c.) Setiap
kegagalan disikapi dengan lapang dada, karena ia yakin bahwa selama ikhtiar
sudah jalankan, maka Allah akan tetap memberi ganjaran di akhirat.
d.) Merasa
senang jika kebaikan terlaksana di tangan saudaranya, sebagaimana dia juga
merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
e.) Berusaha
membangun amal jama’i, tidak bertujuan mengejar popularitas pribadi atau
membesarkan kelompok tertentu semata, karena setiap apa yang dilakukan untuk
meraih ridha Allah SWT maka tolok ukurnya adalah kemuliaan Islam dan umat
Islam.
f.) Menyadari
kelemahan dan kekurangannya sehingga selalu mengevaluasi dan mewaspadai
munculnya riya’ dalam dirinya.
g.) Menjadikan
keridhoan dan kemarahan karena Allah SWT, bukan karena pertimbangan pribadi.
h.) Tidak
menyesuaikan perbuatan semata-mata agar dikagumi atau tidak bertentangan dengan
orang yang disukai/dihormati.
i.) Tidak
mengungkit-ungkit jasa yang pernah dilakukan atau mendendam karena perannya
dilupakan.
j.) Mengambil
keputusan tidak semata-mata karena pencitraan atau mencari popularitas atau
menyesuaikan dengan kehendak orang banyak, melainkan dengan berdasar pada hukum
Allah SWT.
Jaga Keikhlasan !
Ada beberapa
hal yang bisa merusak keikhlasan, antara lain:
1. Riya’ dan
Sum’ah. Riya’ ialah melakukan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, sedangkan
Sum’ah ialah beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari
popularitas). Kedua hal tersebut dapat terjadi pada mereka yang berambisi untuk
menjadi seorang yang terkenal atau dikagumi banyak orang.
Ketenaran
adalah akibat, dan bukan sebab. Menjadi orang yang tenar/terkenal tidaklah
dilarang. Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang terkenal, dan hal itu
merupakan akibat dari akhlak dan amal dakwahnya. Jangan sampai terjebak pada
pemikiran bahwa untuk berdakwah harus terkenal, atau berdakwah supaya terkenal.
Karena ketenaran hanyalah efek samping yang muncul dengan sendirinya, dan tidak
perlu dikejar. Ambisi untuk terkenal dapat menjerumuskan seseorang pada
menghalalkan berbagai cara agar terkenal, termasuk meniatkan ibadah agar
dikenal sebagai orang yang shalih.
2. ‘Ujub. ‘Ujub
ialah merasa kagum terhadap diri sendiri. Manusia memang harus bangga terhadap
dirinya, hal ini sebagai bagian dari rasa syukur kepada Allah SWT. Namun jika
rasa bangga tersebut beralih menjadi ‘Ujub, maka hal ini merupakan awal dari
menyekutukan Allah dengan diri sendiri. ‘Ujub menjadikan pelakunya meyakini
bahwa setiap keberhasilan yang didapatnya semata-mata karena kemampuan dan
kehebatannya sendiri (peran Allah dianggap tidak ada). Jika hal ini berlangsung
terus menerus, maka pelaku dapat sampai pada tahap beramal tidak lagi diniatkan
untuk Allah, melainkan untuk (kepentingan duniawi) dirinya sendiri.
3. Menjadikan
ikhlas sebagai wasilah (sarana), bukan maksud dan tujuan.
Pernah Abu Hamid
Al Ghazali menerima petuah bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata
karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang
tersebut melalui lisannya (ucapan). Abu Hamid berkata: “Maka aku berbuat ikhlas
selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan
hal ini kepada sebagian ahli ilmu, hingga ada di antara mereka yang berkata:
‘Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu
bukan karena Allah semata.’”
Kemudian Ibnu
Taymiyah berkata: “Hal ini dikarenakan manusia terkadang ingin disebut ahli
ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, sementara ia tahu bahwa untuk
medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah. Jika ia
menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah, maka
terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini
hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.”
Ibnu Rajab pun
berkata: “Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang
mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar
orang lain tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu’ dan merendah,
sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu
riya’ yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus
shaleh.”
(Al Ikhlash wa
Asy Syirkul Asghar, oleh Dr Abdul Aziz bin Muhammad Al Abdul Lathif)
Kesimpulan
Sufyan
ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Tidaklah aku berusaha untuk membenahi
sesuatu yang lebih berat selain daripada meluruskan niatku, karena niat itu
senantiasa berbolak balik.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al Hambali)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa
syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.” Lalu ada
orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa
syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?” Rasulullah
berkata: “Ucapkanlah Allaahumma Innaa Na’udzu bika Min an Nusyrika bika Syai’an
Na’lamuhuu wa Nastaghfiruka Limaa Laa Na‘lamu (Ya Allah, sesungguhnya kami
berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui,
dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari apa yang kami tidak ketahui).” (HR.
Ahmad)
Keikhlasan
harus dijaga bukan saja di awal amal, melainkan juga selama amal tengah
dijalankan, dan juga setelah amal usai dilaksanakan.
JAKARTA 5/8/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar