Rabu, 04 September 2013

NIAT YANG BENAR


         
JANGAN SALAH NIAT DALAM BERIBADAH !
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam.” (QS. Al An’aam: 162)
Fudhail Bin Iyadh berkata: “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” (Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Muqaddimah
Niat dalam terminologi ulama fiqh, adalah qashdu syai’in muqtaranan bi fi’lihi, artinya menyengaja untuk melakukan sesuatu dibarengi dengan mengerjakannya sesuatu itu. Jika sesorang melakukan amal ibadah, maka ketika melakukan amal ibadah itu maka dibarengilah dengan niat, dengan tujuan.
Namun, niat dalam perspektif yang lebih luas adalah gerakan hati dalam rangka melakukan sesuatu tindakan, baik berbarengan dengan tindakan itu, atau sebelumnya. “Innamal ‘amalu bi al-niyat” ini adalah salah satu tonggak bagi nilai-nilai spiritual dalam melakukan suatu pekerjaan.
Sebagian ulama memberikan penafsiran mengenai hadis “Innamal ‘amalu bi al-niyatu” adalah dengan bahwa yang menentukan sah tidaknya suatu ibadah adalah niatnya saja. Tetapi menurut saya, biar saja arti niat disitu berlaku umum saja. Jadi kalau diartikan umum maka artinya, setiap amalan itu tergantung kepada niatnya. Ini arti umum sekali. Biarkan saja makna niat masih dalam keumumanya itu. Tidak merujuk pada terminology para fuqaha itu. Nanti kita lihat apa konsekwensi niat di dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Rasulullah Shollallahu’alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya: ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Quran. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Quran hanyalah karena engkau.’ Allah berkata: ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Quran supaya dikatakan seorang qari’ (pembaca al-Quran yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya: ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’” (HR. Muslim)
Makna Niat
Secara bahasa, niat berarti ‘sengaja’ atau ‘sesuatu yang dimaksudkan’ atau ‘tujuan dari keinginan’. Sementara ikhlas berasal dari kata khalasha yang maknanya ialah kemurnian, kejernihan, atau hilangnya segala sesuatu yang mengotori. Sehingga secara istilah syara’, ikhlas adalah membersihkan niat dalam beribadah semata-mata hanya karena Allah.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Hukum niat dalam ibadah

Hukum niat dalam setiap ibadah adalah wajib. Allah berfirman :
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين

Artinya : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.." (QS Al-Bayyinah : 5)

Dan makna ikhlas pada ayat diatas (
مخلصين ) adalah niat. Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى

Artinya : "Setiap amalan-amalan (harus) dengan niat. dan setiap orang mendapatkan (ganjaran) sesuai niatnya."

Tempat Niat

Tempat niat adalah didalam hati. jika seseorang berniat wudhu dalam hati kemudian dia berwudhu maka sah wudhunya walaupun dia tidak melafadzkan niat tersebut. dalam niat tidak diharuskan mengucapkan dengan lisan, akan tetapi cukup dalam hati. jika seseorang berniat dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan maka lebih sempurna. karena niat adalah sebuah keikhlasan maka tempatnya adalah dalam hati.

Sedangkan dalam Madzhab Malikiyah niat hanya dalam hati, karena Rosulullah -shollahu 'alaihi wasallam- dan para sahabatnya tidak pernah mengucapkan niat dengan lisan.

- Apakah Niat itu Rukun atau Syarat dalam Ibadah?

Sebagian ulama berpendapat bahwa niat itu rukun dari sebuah ibadah, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa niat itu syarat ibadah. akan tetapi mereka bersepakat bahwa ibadah itu tidak sah jika tanpa niat. seseorang yang berwudhu tanpa niat maka wudhunya batal.
wallahu a'lam
Tingkatan Niat:
Tingkatan Pertama ialah menjadikan ridho Allah sebagai satu-satunya penggerak amal yang dikerjakan. Itulah tingkatan yang utama bagi seorang mukmin.
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam.” (QS. Al An’aam: 162)
Termasuk pula dalam tingkatan ini ialah mereka yang meniatkan setiap gerak dan diamnya karena mengharap ridho Allah semata, dan juga mereka yang beribadah karena takut akan siksa neraka dan berharap kenikmatan surga-Nya. Karena Allah SWT pun memerintahkan para hamba-Nya untuk takut terhadap azab-Nya di neraka, serta mengejar nikmat-Nya di surga.
“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 24)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran: 133)
Tingkatan Kedua ialah mereka yang menjadikan niat mengharap ridho Allah itu bercampur dengan tujuan lainnya yang bersifat duniawi namun masih dalam lingkup fillah (dalam rangka karena Allah SWT) pada penghujungnya. Namun tujuan-tujuan lain tersebut tidak boleh menyamai atau bahkan lebih besar daripada niat karena Allah. Misalnya seseorang yang berpuasa dengan harapan ridho Allah dan harapan untuk kesehatan (dimana dengan sehat maka ibadahnya akan lebih terjaga), atau orang yang berwudhu untuk ridho Allah dan bercampur dengan keinginan menyegarkan badan (badan yang segar akan turut menyegarkan tubuh untuk mengingat Allah). Amal dengan niat bercampur seperti ini tidak dilarang, akan tetapi pahala yang didapat tidak sebesar mereka yang berada di tingkatan niat pertama.
“Sesungguhnya apabila orang-orang yang berperang itu memperoleh harta rampasan, maka mereka mendapatkan terlebih dahulu dua pertiga balasannya (di dunia), dan jika tidak memperoleh apa-apa (harta rampasan), maka balasan bagi mereka menjadi utuh (di akhirat).” (HR. Muslim)
Allah SWT pun tidak melarang perjalanan ibadah haji yang juga ditujukan untuk berniaga.
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 198)
Sesungguhnya setiap ibadah yang Allah SWT perintahkan, memiliki manfaat dunia dan akhirat. Namun akan lebih baik jika manfaat duniawi tersebut cukup dijadikan sebagai factor tambahan untuk penguat semangat, dan tidak menjadi sebab utama dalam beribadah.
Tingkatan Ketiga ialah niat untuk mencari ridho Allah yang bercampur dengan keinginan lain yang bersifat duniawi dan diluar dari lingkup fillah. Misalnya orang yang sholat dengan harapan ridho Allah dan juga keinginan untuk dipuji orang lain (riya’). Tingkatan ketiga ini adalah terlarang, niat yang bercampur dengan riya akan membatalkan pahala dari amal tersebut.
Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi: “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada serikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untukKu lantas ia menserikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainKu, maka Aku berlepas diri darinya, dan ia untuk yang dia serikatkan.” (HR. Ibnu Majah)
Ada seorang datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang seseorang yang berperang dijalan Allah untuk mencari pahala dan juga agar (namanya) dikenang manusia lainnya, apa yang akan ia peroleh?” Nabi SAW menjawab: “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan semua jawaban dari Nabi juga sama: “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dengan niat ikhlas dan hanya mengharapkan balasan dari-Nya semata.” (HR. An Nasa’i)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).” (QS. Al Baqarah: 264)
Tingkatan Keempat adalah niat yang tidak ada di dalamnya harapan mencari ridho Allah atau memperoleh pahala, akan tetapi semata-mata mengejar kemanfaatan dunia. Niat seperti ini tidak memperoleh bagian pahala dari Allah, akan tetapi bila amalannya itu sesuai dengan sebab-akibat sunatullah yang Allah telah tetapkan, maka ia berkesempatan memperoleh manfaat dunianya saja.
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia (saja) dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia ini tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka kerjakan di dunia dan sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15 – 16)
Hukum Melafalkan Niat
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.

Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was was (ragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was was.

Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).

Memang ketika Nabi Muhammad SAW  melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat.  Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirahat di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Ikhlas Beribadah
Orang yang ikhlas hanya mengejar ridha Allah semata, sehingga tujuannya focus dan tidak dibingungkan oleh berbagai fitnah dunia. Hati yang tenteram karena keikhlasan akan memunculkan manusia yang memiliki kekuatan jiwa, dengan ciri-ciri antara lain:
a.) Sabar terhadap panjangnya jalan perjuangan, tidak terburu-buru dan tergoda untuk menempuh jalan pintas yang tidak berkah.
b.) Istiqamah dalam memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan.
c.) Setiap kegagalan disikapi dengan lapang dada, karena ia yakin bahwa selama ikhtiar sudah jalankan, maka Allah akan tetap memberi ganjaran di akhirat.
d.) Merasa senang jika kebaikan terlaksana di tangan saudaranya, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
e.) Berusaha membangun amal jama’i, tidak bertujuan mengejar popularitas pribadi atau membesarkan kelompok tertentu semata, karena setiap apa yang dilakukan untuk meraih ridha Allah SWT maka tolok ukurnya adalah kemuliaan Islam dan umat Islam.
f.) Menyadari kelemahan dan kekurangannya sehingga selalu mengevaluasi dan mewaspadai munculnya riya’ dalam dirinya.
g.) Menjadikan keridhoan dan kemarahan karena Allah SWT, bukan karena pertimbangan pribadi.
h.) Tidak menyesuaikan perbuatan semata-mata agar dikagumi atau tidak bertentangan dengan orang yang disukai/dihormati.
i.) Tidak mengungkit-ungkit jasa yang pernah dilakukan atau mendendam karena perannya dilupakan.
j.) Mengambil keputusan tidak semata-mata karena pencitraan atau mencari popularitas atau menyesuaikan dengan kehendak orang banyak, melainkan dengan berdasar pada hukum Allah SWT.
Jaga Keikhlasan !
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan, antara lain:
1. Riya’ dan Sum’ah. Riya’ ialah melakukan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, sedangkan Sum’ah ialah beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas). Kedua hal tersebut dapat terjadi pada mereka yang berambisi untuk menjadi seorang yang terkenal atau dikagumi banyak orang.
Ketenaran adalah akibat, dan bukan sebab. Menjadi orang yang tenar/terkenal tidaklah dilarang. Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang terkenal, dan hal itu merupakan akibat dari akhlak dan amal dakwahnya. Jangan sampai terjebak pada pemikiran bahwa untuk berdakwah harus terkenal, atau berdakwah supaya terkenal. Karena ketenaran hanyalah efek samping yang muncul dengan sendirinya, dan tidak perlu dikejar. Ambisi untuk terkenal dapat menjerumuskan seseorang pada menghalalkan berbagai cara agar terkenal, termasuk meniatkan ibadah agar dikenal sebagai orang yang shalih.
2. ‘Ujub. ‘Ujub ialah merasa kagum terhadap diri sendiri. Manusia memang harus bangga terhadap dirinya, hal ini sebagai bagian dari rasa syukur kepada Allah SWT. Namun jika rasa bangga tersebut beralih menjadi ‘Ujub, maka hal ini merupakan awal dari menyekutukan Allah dengan diri sendiri. ‘Ujub menjadikan pelakunya meyakini bahwa setiap keberhasilan yang didapatnya semata-mata karena kemampuan dan kehebatannya sendiri (peran Allah dianggap tidak ada). Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka pelaku dapat sampai pada tahap beramal tidak lagi diniatkan untuk Allah, melainkan untuk (kepentingan duniawi) dirinya sendiri.
3. Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana), bukan maksud dan tujuan.
Pernah Abu Hamid Al Ghazali menerima petuah bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisannya (ucapan). Abu Hamid berkata: “Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, hingga ada di antara mereka yang berkata: ‘Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.’”
Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: “Hal ini dikarenakan manusia terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah. Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah, maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.”
Ibnu Rajab pun berkata: “Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang lain tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu’ dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya’ yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.”
(Al Ikhlash wa Asy Syirkul Asghar, oleh Dr Abdul Aziz bin Muhammad Al Abdul Lathif)
Kesimpulan
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Tidaklah aku berusaha untuk membenahi sesuatu yang lebih berat selain daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al Hambali)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.” Lalu ada orang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?” Rasulullah berkata: “Ucapkanlah Allaahumma Innaa Na’udzu bika Min an Nusyrika bika Syai’an Na’lamuhuu wa Nastaghfiruka Limaa Laa Na‘lamu (Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari apa yang kami tidak ketahui).” (HR. Ahmad)
Keikhlasan harus dijaga bukan saja di awal amal, melainkan juga selama amal tengah dijalankan, dan juga setelah amal usai dilaksanakan.
JAKARTA  5/8/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman