MERDEKA DALAM
ISLAM
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُون
Artinya: "dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hokum yang telah diturunkan allah maka mereka adalah orang2 fasik " (Q.S almaidah ayat 46)
Artinya: "dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hokum yang telah diturunkan allah maka mereka adalah orang2 fasik " (Q.S almaidah ayat 46)
Muqaddimah
Hakikat kemerdekaan dalam agama Islam
adalah kebebasan yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan sesuatu, namun
tidak menjadi ancaman bagi orang lain.
Sementara jika membicarakan
kemerdekaan dalam sebuah negara bermakna warga negara bisa melakukan apa-apa
yang menjadi haknya yang masih diatur oleh negara.
"Misalnya, kebebasan ibadah dan mendapatkan pendidik," kata Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta KH Zulfa Mustafa, akhir pekan lalu.
"Misalnya, kebebasan ibadah dan mendapatkan pendidik," kata Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta KH Zulfa Mustafa, akhir pekan lalu.
Kiai Zulfa mengatakan, seseorang dikatakan belum merdeka ketika apa-apa yang menjadi haknya belum bisa dilaksanakan karena terbelenggu sebagai manusia dan warga negara.
"Misalnya, dia tidak bebas mencari nafkah untuk kehidupannya, misalnya kesetaraan hukum belum memenuhi rasa ketidak adilannya, Jika dia tidak bisa melakukan itu Berarti dia belum merdeka," katanya.
“Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul untuk
setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut,
kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang
tetap dalam kesesatan. Maka
berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (rasul-rasul)."
(QS An-Nahl
[16]: 36)
Setiap 17
Agustus kita merayakan peringatan kemerdekaan Indonesia. Jika kemerdekaan
dimaknai merdeka dari penjajah, bangsa ini memang telah merdeka. Namun, dalam
perspektif Islam, benarkah bangsa ini merdeka? Lalu apa hakikat kemerdekaan
menurut Islam? Ayat di atas menyinggung hal ini secara gamblang.
Kemerdekaan dalam Perspektif Islam
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون
"dan
barang siap yang tidak berhukum dengan hokum yang telah diturunkan allah maka
mereka adalah orang2 kafir "(Q.S almaidah ayat 44)
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
"dan barang siap yang tidak berhukum dengan hokum yang telah diturunkan
allah maka mereka adalah orang2 dzolim"(Q.S almaidah ayat 45)
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُون
Artinya: "dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hokum yang telah diturunkan allah maka mereka adalah orang2 fasik " (Q.S almaidah ayat 46)
Artinya: "dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hokum yang telah diturunkan allah maka mereka adalah orang2 fasik " (Q.S almaidah ayat 46)
Memahami misi Rasul di atas, jelaslah bahwa
kemerdekaan dalam pandangan Islam bukan sekadar merdeka dari penjajah,
melainkan ketika kita menghamba kepada Allah swt semata.
Makna ini
dipertegas Rib'i bin Amir ketika diutus oleh panglima perang kaum Muslimin,
Sa'ad bin Abi Waqqash ra, dalam perang Qadisiyah. Di hadapan Rustum, panglima
perang bangsa Persia, Rib'i bin Amir menyampaikan misi luhurnya, "Kami
datang untuk memerdekakan manusia dari penyembahan dari sesama manusia menuju
penyembahan kepada Rabb manusia, Allah swt. Untuk memerdekakan manusia dari
kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan untuk memerdekakan manusia dari
kezhaliman beragam agama menuju keadilan Islam" (Al Bidaayah wa'n Nihaayah, Ibnu
Katsir IV/43).
Al-Qur'an
mendokumentasikan bahwa dalam sejarah peradaban umat manusia telah terjadi
penyembahan kepada selain Allah. Di antara mereka ada yang menyembah matahari
dan bulan sebagaimana firman Allah dalam QS Fushshilat (41): 37. Atau yang
menyembah malaikat seperti disinggung Allah dalam QS Ali Imran (3): 80.
Ada pula
yang menyembah para nabi, misalnya Nabi Isa as, sebagaimana tercatat dalam QS
Al-Maaidah (5): 116. Pun mereka yang menyembah hawa nafsu (QS Al Furqaan [25]:
43, dan QS Al Jaatsiyah [45]: 23.
Dalam bahasa
ayat di awal tadi, manusia yang terjajah dan belum merdeka adalah mereka yang
berada dalam kesesatan. Sedangkan manusia merdeka adalah yang mendapat hidayah
(petunjuk) Allah, yang menghamba hanya kepada Allah semata.
Anatara Dunia dan
Akhirat
Adapun
orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka
Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
(QS. An-Naazi’aat:37-39).
Dalam
Tafsir Fathul Qadir Imam As-Syaukani mengatakan; orang yang melampaui
batas adalah yang melampaui batas dalam kekufuran dan maksiat kepada Allah.
Lebih mendahulukan dunia ketimbang akhirat. Sedangkan Imam Al-Baidhawi
menyatakan, maksud ayat di atas adalah; adapun orang yang melampaui batas
hingga dia kufur serta memilih kehidupan dunia dan tidak mempersiapkan diri
untuk kehidupan akhirat dan membersihkan diri dari hawa nafsu maka tempat
kembalinya adalah neraka.
dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan
Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik. (QS.
An-Nur:55)
Ibnu Katsir
mengatakan; ayat ini adalah janji dari Allah kepada Rasulullah saw. bahwa Dia
akan menjadikan umatnya sebagai penguasa di muka bumi. Yakni umat Islam akan
menjadi pemimpin atas bangsa-bangsa lain. Saat itulah seluruh negri akan
mendapatkan kesejahteraan dan semua manusia tunduk kepada mereka. Tidak ada
lagi ketakutan seperti yang selama ini menerpa kaum Muslimin.
Semangat Kemerdekaan
Sarekat
Islam adalah contoh nyata bagaimana
Islam dapat menyatukan bangsa ini. Organisasi keagaman seperti Nadhlatul Ulama,
diwakili para kiyai telah mendambakan kemerdekaan sebagai jalan untuk
kemaslahatan umat Islam. KH Wahab Hasbullah ketika ditanya mengenai
kemerdekaan, sehari sebelum NU berdiri tahun 1926, menjawab, ”Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam
menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.”[7]
Menurut M.
Natsir, ajaran Islamlah yang
menyebabkan dorongan-dorongan untuk merdeka. Ia menyatakan:
“Pada
hakikatnya, ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi, yaitu revolusi dalam
menghapuskan dan menentang tiap-tiap eksploitasi. Apakah eksploitasi itu
bernama, kapitalisme, imperialism, kolonialisme komunisme atau fascism,
terserah kepada yang hendak memberikan.
Demikianlah semangan kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum muslimin di Indonesia. Semenjak berabad-abad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.”[8]
Demikianlah semangan kemerdekaan yang hidup dan dibakar dalam jiwa kaum muslimin di Indonesia. Semenjak berabad-abad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1945 itu.”[8]
Menurut Buya
Hamka, tidak mungkin tauhid dilepaskan
dalam perjuangan bernegara. Sebab pangkal pokok pandangan Islam adalah dua kalimat
syahadat. Menurut beliau:
“Akibat dua
kalimat syahadat itu bagi kehidupan Islam sangat besar dan sangat jauh. Karena
kalimat itu, tidaklah ada yang mereka sembah, melainkan Allah. Tidak ada
peraturan yang mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi,
melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah.”[9]
Namun
sayang. Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini.Kalimat“Dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya” malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan
peristiwa ini.
“Pendeknya,
sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner
ditinggalkan, dan orang mulai jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan
janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat
itu, dihapuskkan pulalah kata yang diatas sekali, kata pembukaan yang termasuk
kalimat sakti dalam jiwa orang yang hidup dalam Islam, yaitu kalimat, ‘Dengan
Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!”,sesal Buya Hamka.[10]
Hingga kini,
piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan
satu kesatuan dengan konstitusi nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi
nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok bagi kita.
“Sekarang
Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?”
“Bagi kita kaum muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman. Sebab dalam ajaran Islam, Islam itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat.
Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka.
Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.
“Bagi kita kaum muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman. Sebab dalam ajaran Islam, Islam itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat.
Bukan semata-mata ibadat, tetapi mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka.
Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.
Pancasila
Sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa
Surah
Al-Ikhlash, surah Asysyuura:11
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Surah Attin:
4
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. “
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. “
Sila ketiga, Persatuan Indonesia (Kebangsaan)
Surah
Alhujuraat:13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “
Sila
keempat, Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Surah
Asysyuura: 38
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. “
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. “
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Surah
Al-Maa’uun: 1, 2 & 3
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. “
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. “
Sumber:1.https://www.islampos.com
2.http://www.eramuslim.com
3.http://www.ummi-online.com
4.http://www.republika.co.id
Jakarta 15/8/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar