Selasa, 23 Agustus 2016

HUKUM BERJAMAAH




SHALAT BERJAMAAH

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ [4] : 59).
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’. [Al Baqarah:43).
وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي وَحْدَهُ ثُمَّ يَنَامُ
Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. (Hadits)

Muqaddimah
Allah Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya mengenai shalat khouf (shalat dalam keadaan perang),
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at) , maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah mereka denganmu.” (QS. An Nisa’ [4] : 102)
Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah:
”Allah memerintahkan untuk shalat dalam jama’ah [dan hukum asal perintah adalah wajib[1] yaitu Allah berfirman: (فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ), ”perintahkan segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu”]. Kemudian Allah mengulangi perintah-Nya lagi [dalam ayat (وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ), ”dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat,perintahkan mereka shalat bersamamu”]
Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Dan seandainya shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3] Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan takut.”[2]
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ (42) خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ (43)
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera .” (QS. Al Qalam [68]: 42-43)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menghukumi orang-orang tersebut pada hari kiamat. Mereka tatkala itu tidak bisa sujud karena ketika di dunia mereka diajak untuk bersujud (yaitu shalat jama’ah), mereka pun enggan. Jika memang seperti ini, maka ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan mendatangi masjid yaitu dengan melaksanakan shalat jama’ah, bukan hanya melaksanakan shalat di rumah atau cuma shalat sendirian. Yang dimaksud dengan memenuhi panggilan adzan (dengan menghadiri shalat jama’ah di masjid), inilah yang ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits mengenai orang buta yang akan kami sebutkan nanti. [3]
Hukum Berjamaah ?
Shalat jama’ah adalah wajib (fardhu ‘ain) sebagaimana hal ini adalah pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu ‘Amr Al Awza’i, Abu Tsaur, Al Imam Ahmad (yang nampak dari pendapatnya) dan pendapat Imam Asy Syafi’i dalam Mukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafi’i mengatakan:
وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر
Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.[7] Pendapat Imam Asy Syafi’i ini sangat berbeda dengan ulama-ulama Syafi’iyah.
Menurut Hanafiyyah –yang benar dari pendapat mereka- dan ini juga adalah pendapat mayoritas Malikiyah, juga pendapat Syafi’iyah bahwa shalat jama’ah 5 waktu adalah sunnah mu’akkad. Namun sunnah mu’akkad menurut Hanafiyyah adalah hampir mirip dengan wajib yaitu nantinya akan mendapat dosa. Dan ada sebagian mereka (Hanafiyyah) yang menegaskan bahwa hukum shalat jama’ah adalah wajib.
Lalu pendapat yang paling kuat dari Syaf’iyah, shalat jama’ah 5 waktu adalah fardhu kifayah. Pendapat ini juga adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah semacam Al Karkhiy dan Ath Thohawiy.
Namun sebagian Malikiyah, mereka memberi rincian. Shalat jama’ah menurut mereka adalah fardhu kifayah bagi suatu negeri. Jika di negeri tersebut tidak ada yang melaksanakan shalat jama’ah, maka mereka harus diperangi. Namun menurut mereka, hukum shalat jama’ah 5 waktu adalah sunnah di setiap masjid yang ada dan merupakan keutamaan bagi para pria.
Namun menurut Hanabilah, juga salah satu pendapat Hanafiyyah dan Syafi’iyyah bahwa shalat jama’ah adalah wajib, namun bukan syarat sah shalat.[8]
Itulah perselisihan ulama yang ada. Ada yang mengatakan shalat jama’ah 5 waktu adalah fardhu ‘ain, ada pula yang mengatakan fardhu kifayah, dan ada pula yang mengatakan sunnah mu’akkad. Namun, agar lebih-lebih hati-hati dan tidak sampai terjerumus dalam dosa, maka pendapat yang lebih tepat kita pilih sebagaimana dalil-dalil yang telah diutarakan di atas: shalat jama’ah 5 waktu adalah wajib, fardhu ‘ain.
Pendapat Imam Madzhab ?
Shalat jama’ah disyari’atkan dalam Islam. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Terpilah menjadi empat pendapat.
Pertama : Hukumnya Fardhu Kifayah.
Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimin (terdahulu, peny.), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,“Dzahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.” [5]
Kedua. Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.
Demikian ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.
Ketiga : Hukumnya Sunnah Muakkad.
Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj.
Keempat : Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) Dan Bukan Syarat.
Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, Al Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali
Berjamaah di selain Masjid ?
Pendapat pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.
Ini pendapat Malik, Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.
Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah– berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”
Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.
Pendapat ini merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam “Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]
Pendapat ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan berjamaah.
Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah.”[10]
Wanita berjmaah di Masjid atau di rumah ?
Apakah harus di masjid atau cukup di rumah? Dalam hal ini ulama menjelaskan, laki-laki lebih utama melaksanakan shalat fardhu berjamaah di masjid dan perempuan lebih utama melaksanakan shalat fardhu berjamaah di rumah. Penjelasan ini dapat kita lihat dalam kitab Ianatut Tholibin karya Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Ad-Dimyathi juz 2 hal. 5 sebagai berikut ;
قوله: والجماعة في مكتوبة لذكر بمسجد أفضل-- وذلك لخبر: صلوا - أيها الناس - في بيوتكم، فإن أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة. …….. وخرج بالذكر المرأة، فإن الجماعة لها في البيت أفضل منها في المسجد
Artinya : (Ungkapan Syaikh Zainuddin Al-Malibari : Shalat Fardhu berjamaah di masjid lebih utama bagi laki-laki)hal tersebut berdasarkan hadits : shalatlah kalian di rumah-rumah kalian karena shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu……dan di sini terdapat pengecualian bagi perempuan. Untuk perempuan shalat berjamaah lebih utama dilaksanakan di rumahnya dari pada di masjid.
Kemudian, terkait shalat berjamaah untuk suami istri, dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri Ala Syarhi ibn Qosim karangan syaikh Ibrahim Al-Baijuri juz 1 hal. 250 disebutkan :
وتحصل فضيلة الجماعة بصلاته بزوجته أو نحوها بل تحصيله الجماعة لأهل بيته أفضل
Artinya: Seorang laki-laki juga mendapatkan keutamaan shalat berjamaah dengan melaksanakannya bersama istri atau keluarga yang lain, bahkan pelaksanaan shalat berjamaah bersama keluarga di rumahnya lebih utama.
Ikhtitam
1.      Hukum berjamaah bagi kaum laki laki ulama berbeda pendapat: Fardhu ain; Fardhu Kifayat; Sunnah Muaqqadah; Bahkan ada yang mengatakan tidah sah kalau tidak berjamaah tanpa udzur. Utamanya berjamaah.
2.      Berjamaah di Masjid bagi kaum lelaki lebih utama dari pada di selainnya.
3.      Kaum wanita berjamaah di rumah lebih utama dari pada di masjid; boleh di masjid jika dapat izin suaminya dan anak dapat izin dari walinya dengan syarat tidak memakai wangi-wangingan. Tapi ada yang melarang berjamaah di masjid bagi wanita tua/muda hukumnya makruh. Utama dan Amannya di rumah.

Sumber:1.http://www.nu.or.id
2.https://muslim.or.id

3.https://almanhaj.or.id
4.https://rumaysho.com
Jakarta 23/8/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman