Rabu, 10 Desember 2014

PERBUATAN MANUSIA Bebas




ANTARA PERBUATAN TUHAN DAN MANUSIA


فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajadah:17)
Muqaddimah
Akidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah disebut dengan al-Iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal (perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw telah meyakini dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (al-Qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
1.Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah muncul ketika ada seorang tabi’in yang datang kepada kelompok Hasan al-Bashri yang menanyakan tentang  hakikat orang yang berdosa besar, Ketika Hasan Al Basri masih berfikir, Watsil bin Atho mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan lah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir. ”Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Al Basri, lalu ia pergi ke tempat lain di mesjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al Basri mengatakan: ” Watsil bin Atho menjauhkan diri dari dari kita (i’tazala’ anna).” Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di dalam al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat al-Anbiyaa (21):23 dan surat ar-Rum (30) : 8.
Qadi Abd al-Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Perbuatan Tuhan Menurut Mu’tazilah ?
Sebagai sosok pencipta, Tuhan melaksanakan segala kehendaknya , Tuhan pasti melakukan berbagai perbuatan, perbuatan Tuhan telah dijelaskan oleh berbagai golongan tertentu didalam islam. Diantara perbuatan tuhan menurut Mu’tazilah
1.Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuham mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia.
Dalam paham ini termasuklah kewajiban-kewajban seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janjinya, kewajiban Tuhan mengirim Rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya. Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu timbul sebagai akibat dari  konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan adanya batasan-batasan kehendak mutlak Tuhan. Bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan sendiri. Karena itu Tuhan tidak bisa lagi berbuat menurut kehendaknya sendiri menyalahi prinsip keadilan yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Tuhan sudah terikat pada janji-janjidan nilai-nilah keadilan, Tuhan melanggarnya, maka Tuhan dianggap tidak bersifat adil.
2.Berbuat baik dan Terbaik
Dalam kalangan Mu’tazilah dikenal satu paham ilmu kalam yang mereka sebut dengan al-shalah atau berbuat baik dan terbik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang sangat penting bagi kaum Mu’tazilah.
Menurut paham Mu’tazilah, demi untuk keadilan, maka Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik untuk kepentingan manusia. Keadilan erat sekali hubungannya dengan hak. Sebab adil itu berarti memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Disamping itu menurut kaum Mu’tazilah, keadilan itu harus dapat diterima secara rasional. Tuhan memberikan pahala kepada seseorang sesuai dengan kebaikan yang dilakukannya, dan menghukum seseorang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, itu termasuk keadilan yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Karena itu Abdul Jabbar mengatakan: Kata-kata Tuhan tidak adil, mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah buruk, dan Tuhan tidak mungkin mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia.
Dalil yang dijadikan penguat argument-argumen yang ada diantaranya:
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
Artinya            : yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (As-Sajadah:7)
Menurut Abd Jabbar, ayat ini mengandung dua arti. Pertama: ahsana berarti ”berbuat baik” dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena diantara perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang merupakan kebajikan, seperti siksaan yang diberikan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
Juga dimajukan ayat-ayat yang mengatakan bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya seperti:
فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya            : seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajadah:17)
Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, pemberian balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, seperti disebutkan dalam ayat ini,tidak ada artinya. Agar ayat ini tidak mengandung dusta, demikian Abd Jabbar mengatakan, perbuatan-perbuatan manusia haruslah benar-benar berbuatan manusia.
3.Sifat-sifat Tuhan
Mu’tazilah yang memahami dan membahas persoalan ini dengan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mesti kekal seperti halnya dengan dzat Tuhan. Namun jika demikian maka yang bersifat kekal bukanlah satu lagi, tetapi banyak. Jika Tuhan itu mempunyai sifat-sifat maka akan menyebabkan paham banyak yang kekal (Ta’aduddul qudama) yang selanjutnya menyebabkan sifat syirik atau polytheisme sebagai sesuatu yang tidak mendapat tempat di dalam teologi islam.
Jadi menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain.apa yang dipandang sebagai sifat dalam pendapat golongan, bagi Mu’tazailah tidak lain adalah dzat allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazilah menafikan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut Tauhid Wal ‘adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.
4.Pelaku Dosa besar
Sedangkan Mu’tazilah berpendapat bahwa mereka yang mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar ini tidak mukmin dan tidak juga kafir, tetapi ia berada pada tingkatan yang ada diantara keduanya. Namun demikian, apabila ia keluar dari dunia tanpa tanpa bertaubat maka ia kekal di neraka.
5.Pengiriman Rasul-rasul
Bagi kaum Mu’tazilah, yang mempunyai kepercayaan, bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan akal manusia dapat mengetahui tentang adanya Tuhan, dan dengan akal manusia dapat mengetahui tentang mana yang baik dan mana yang buruk, karena itumenusia berkewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut kaum Mu’tazilah, pengiriman Rasul-rasul itu tidak begitu penting, sebab wahyu yang dibawa oleh para Rasul itu hanya berfungsi untuk memperkuat atau menyempurnakan apa-apa yang telh diketahui manusia oleh akalnya. Tanpa Rasul manusia dapat mengetahui tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan. Orang yang tidak mengetahui tentang hal-hal berarti tidak berterima kasih kepada Tuhan, dan akan mendapat hukuman dari Tuhan.
Bagi kaum Asy’ariyah pengiriman Rasul itu sangat penting, karena mereka banyak bergantung kepada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan manusia. Bagi merekalah seharusnya pengiriman Rasul-rasul mempunyai sifat wajib. Tetapi sebagaimana telah disebutkan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pengiriman Rasul-rasul kepada manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argument yang dimajukan kaum Mu’tazilah untuk ini adalah keadaan akal tidak dapat mengetahui segala apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia, wajiblah bagi Tuhan mengirimkan Rasul kepada umat manusia. Tanpa pengiriman Rasul, manusia tidak dapat memperoleh hidup baik dan terbaik, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Argument inilah yang dipakai dalam Syarh al-Usulul Khamsah untuk menyongkong pendapat mereka tentang sifat wajibnya pengiriman Rasul kepada umat manusia.
6.Janji dan Ancaman
Dalam perbuatan-perbuatan Tuhan termasuklah perbuatan mnepati janji dan menjalankan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id). Sebagamana diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar kedua, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika ia tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan jika tidak menjalankan ancaman untuk memberikan hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Juga, menurut Abd al-Jabbar, hal ini akan membuat Tuhan mempunyai sifat berdusta. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman, bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
PERBUATAN MANUSIA ?
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka di sini timbullah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup?, dan apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Rozak, Abdul,. Ilmu Kalam, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2006)
2.Sarjoni, ILMU KALAM “Perbandingan Antar Aliran : Perbuatan Tuhan  dan Perbuatan Manusia”, (Online) 2010. (http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/., diakses tanggal 19 April 2010)
3.Ahmad, Mohammad. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Media. 1998.
Rozak, Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Media. 2011.
http://hadirukiyah.blogspot.com/2010/07/perbuatan-manusia-menurut-aliran.html
http://romipermadi.blogspot.com/2011/04/perbuatan-manusia-menurut-beberapa.html
Jakarta 11/12/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman