SHALAT GHAIB
DALAM ISLAM
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي
الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ
أَرْبَعًا
“Bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya.
Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf
kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari no. 1337)
Muqaddimah
Tujuan syar'i dari shalat ghaib adalah mendoakan dan memintakan ampun untuk
mayat, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah radliyallah 'anhu,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengumumkan kematian raja
Najasyi kepada para sahabatnya, kemudian beliau bersabda, استغفروا له "mintakan ampun untuknya."
(HR. Ahmad dalam Al Musnad)
Ibnul Qayyim dalam Zaadul
Ma'ad (1/141) berkata, "maksud dari shalat janazah adalah mendoakan si
mayit."
Shalat gaib adalah shalat jenazah yang dilakukan umat Islam terhadap
saudaranya sesama Muslim yang wafat, tetapi jenazahnya tidak berada di depan
orang yang melakukan shalat jenazah itu, melainkan di tempat lain.
Dan, memang asal pensyariatan shalat gaib ini adalah shalat jenazah yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya atas Raja Najasyi yang wafat jauh di negerinya Habasyah.
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengumumkan kematian Al-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian, beliau keluar menuju tempat shalat. Lalu, beliau membariskan shaf, kemudian bertakbir empat kali. (HR Bukhari dan Muslim).
Dan, memang asal pensyariatan shalat gaib ini adalah shalat jenazah yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya atas Raja Najasyi yang wafat jauh di negerinya Habasyah.
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengumumkan kematian Al-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian, beliau keluar menuju tempat shalat. Lalu, beliau membariskan shaf, kemudian bertakbir empat kali. (HR Bukhari dan Muslim).
Pendapat Ulama
Namun, kemudian para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat
gaib ini. Para ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat shalat gaib itu tidak
disyariatkan dan seseorang tidak dishalatkan shalat jenazah, kecuali mayitnya
ada di depan orang yang menshalatinya.
Mereka mengatakan, shalat gaib yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi merupakan kekhususan Nabi SAW. Dan, karena kemudian tidak ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW melakukan shalat gaib terhadap Muslim lain selain Najasyi.
Ulama Mazhab Syafi’i dan yang masyhur dalam Mazhab Hanbali berpendapat, shalat gaib itu disyariatkan secara mutlak, baik terhadap mayit yang belum dishalatkan ataupun sudah dishalatkan di tempat ia wafat.
Dalil mereka adalah shalat jenazah gaib yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya terhadap Raja Najasyi. Dan, tidak ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa itu khusus untuk Nabi SAW, sedangkan umat Islam diperintahkan untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah SAW.
Dalam kitab Zad al-Ma’ad karangan Ibnu al- Qayyim disebutkan, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa yang benar adalah seorang Muslim yang wafat di daerah lain dan ia belum dishalatkan, harus dishalatkan secara gaib sebagaimana Nabi SAW shalat gaib terhadap Najasyi.
Sedangkan, jika jenazah Muslim itu sudah dishalatkan, tidak perlu lagi dishalatkan secara gaib karena kewajiban umat Islam telah jatuh karena ia sudah dishalatkan.
Dan, pendapat yang terakhir, yaitu shalat gaib itu tidak disyariatkan untuk setiap orang, tapi hanya untuk orang yang saleh yang mempunyai banyak jasa dan keutamaan kepada umat Islam, seperti seorang ulama yang memberi banyak manfaat kepada umat dengan ilmunya, sebagaimana seorang Raja Najasyi yang telah memberikan tempat dan keamanan kepada umat Islam.
Jadi, masalah shalat gaib ini termasuk masalah khilafiyah yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Mereka mengatakan, shalat gaib yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi merupakan kekhususan Nabi SAW. Dan, karena kemudian tidak ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW melakukan shalat gaib terhadap Muslim lain selain Najasyi.
Ulama Mazhab Syafi’i dan yang masyhur dalam Mazhab Hanbali berpendapat, shalat gaib itu disyariatkan secara mutlak, baik terhadap mayit yang belum dishalatkan ataupun sudah dishalatkan di tempat ia wafat.
Dalil mereka adalah shalat jenazah gaib yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya terhadap Raja Najasyi. Dan, tidak ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa itu khusus untuk Nabi SAW, sedangkan umat Islam diperintahkan untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah SAW.
Dalam kitab Zad al-Ma’ad karangan Ibnu al- Qayyim disebutkan, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa yang benar adalah seorang Muslim yang wafat di daerah lain dan ia belum dishalatkan, harus dishalatkan secara gaib sebagaimana Nabi SAW shalat gaib terhadap Najasyi.
Sedangkan, jika jenazah Muslim itu sudah dishalatkan, tidak perlu lagi dishalatkan secara gaib karena kewajiban umat Islam telah jatuh karena ia sudah dishalatkan.
Dan, pendapat yang terakhir, yaitu shalat gaib itu tidak disyariatkan untuk setiap orang, tapi hanya untuk orang yang saleh yang mempunyai banyak jasa dan keutamaan kepada umat Islam, seperti seorang ulama yang memberi banyak manfaat kepada umat dengan ilmunya, sebagaimana seorang Raja Najasyi yang telah memberikan tempat dan keamanan kepada umat Islam.
Jadi, masalah shalat gaib ini termasuk masalah khilafiyah yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Dan, semua pendapat ada dasarnya berdasarkan pemahaman terhadap
riwayat shalat gaib yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi. Sehingga,
seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan saling membid’ahkan.
Kesimpulan
1). Yang demikian itu merupakan syari’at sekaligus sunnah
bagi ummat Islam untuk mengerjakan shalat ghaib atas setiap muslim yang
meninggal dunia di tempat yang jauh. Dan hal itu merupakan pendapat asy Syafi’i
dan Ahmad.
2). Abu Hanifah dan Malik mengemukakan, ‘Yang demikian itu khusus
baginya saja dan tidak untuk yang lainnya’.
3). Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Yang
benar adalah bahwa orang yang bertempat tinggal jauh dan meninggal dunia di
suatu negara yang tidak ada seorang pun yang menshalatkan di negara
tersebut, maka dia perlu dishalatkan dengan shalat ghaib, sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas jenasah
an-Najasyi, karena dia meninggal di tengah-tengah orang-orang kafir dan tidak
ada yang menshalatkannya.
Sumber: 1.http://www.republika.co.id
2.https://almanhaj.or.id
Jakarta 28/4/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar