Selasa, 05 April 2016

HUKUM NIAT DALAM SHALAT





MEMAHAMI FAEDAH MELAFADZKAN NIAT

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً

Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).

Muqaddimah
Di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa amal perbuatan sangat bergantung kepada niat. Nabi Muhammad saw bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Amirul Mu'minin Umar ibn al-Khatthab r.a.:

اِنَّمَا الاَعْمَالُ باِلنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Bahwasanya setiap amal (perbuatan) hanya bergantung kepada niat dan bahwasanya setiap urusan (juga) bergantung kepada apa yang diniatkan.

al-Imam al-Suyuthi rah di dalam karyanya " Al-Ashbah wa al-Nadzoir fil furu' " menjelaskan bahwa hadits innamal a'malu binniyyat ini merupakan pondasi dari sebagian besar ilmu agama. Imam al-Syafi'i r.a. sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi rah, mengatakan bahwa dari hadits ini lahir 40 cabang pembahasan ilmu. Demikian besarnya perhatian para ulama, sebagaimana terekam dari penjelasan Imam al-Suyuthi tadi menegaskan bahwa persoalan niat mempunyai kedudukan tersendiri bahkan penting di dalam urusan agama.

Melafadzkan Niat

Persoalan melafadzkan (membaca) niat di dalam ibadah khususnya di dalam shalat kembali menjadi permasalahan. Ramainya perdebatan mengenai masalah membaca niat muncul setelah umat membaca buku "Sifat Shalat Nabi saw" karya Syaikh Nashruddin al-Albany. Pada era tahun 1970-an persoalan ini memang pernah muncul, ketika para ustadz Muhammadiyyah mengeluarkan fatwa bid'ahnya mengucapkan "usholli" pada saat melakukan shalat atau ucapan "nawaitu shauma ghodin" pada saat melaksanakan ibadah puasa (shaum). Untuk mengklarifikasi, tuduhan bid'ah yang terlihat serampangan itu, pada kesempatan ini saya mengemukakan dalil-dalil yang membolehkan ucapan "usholli", "nawaitu shauma ghodin" atau melafadzkan niat di dalam ibadah.
Menjawab pertanyaan ini, saya akan lampirkan beberapa dalilnya:1.  Hadits riwayat Anas bin Malik bahwa Rasul saw mengucapkan niat ketika melaksanakan haji
عَن اَنَس رَضِي الله عَنه سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلى الله عليه وسلم يَقُولُ لَبَّيك  عُمْرَةً وَحَجًّا
Dari Anas ibn Malik r.a. ia berkata: Aku mendengar Rasul saw berujar mengucapkan niat hajinya,' Aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan haji" (HR Muslim, sebagaimana tertulis di dalam Syarah (penjelasan) Shahih Muslim karya Imam al-Nawawi rah Jilid VIII/hal.216)2.
Hadits Riwayat Umar ibn al-Khatthab dengan matan (isi) hadits yang lebih lengkap lagi mengenai niat haji Rasul saw:

عَنْ عُمر رضي الله عنه قال سَمِعتُ رَسولَ الله صلى الله عليه وسلم بِوَادى  العَقِيق  يَقُول اَتَانِى اللَّْيلةَ َاتِ رَبِّ فَقَالَ صَلِّ فِى هَذاَ الوَادِى المُبَارَك وَقُل عُمْرَةً فِى حَجَّةٍ
Dari Umar r.a. ia berkata Aku mendengar Rasul saw di lembah al-Aqiq berkata: " telah datang kepadaku tadi malam utusan Tuhanku (malaikat), ia berkata,' shalatlah (kamu wahai Rasul saw) di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah niat umrah untuk haji'. " (HR Bukhari Jilid 1/hal.89)
Kedua hadits di atas, bagi mereka yang baru belajar agama, pasti akan disanggah dengan komentar " Lho itu khan hadits tentang lafadz niat haji terus apa hubungannya dengan sholat?" Baiklah saya akan jawab. Meskipun hadits di atas menjelaskan masalah niat (mengucapkan niat) di dalam ibadah haji, tapi bukan berarti muatan hadits di atas, yaitu mengucapkan niat, hanya khusus untuk ibadah haji. Kesimpulan tersebut sesuai dengan kaidah di dalam ilmu ushul fikih:
 
اِذَا وَرَدَ العَامُ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍ فَالعِبْرَةُ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ لِخُصُوصِ السَّبَب
"Apabila ada nash (teks dalil baik Al-Qur'an ataupun hadits) yang bersifat umum karena sebab yang khusus, maka yang dianggap umum adalah nash bukan khususnya sebab".
Kaidah ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy rah seorang ulama salaf (Ibnu Qudamah wa atsuruhu al-ushuliyyah hal. 233)  Dengan berpatokan kepada kaidah ushul fikih itu, kedua hadits di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Teks kedua hadits di atas muncul karena sebab yang khusus yaitu haji dan umrah;
2. Isi teks kedua hadits di atas dipandang bersifat umum karena Nabi Muhammad saw tidak menjelaskan bahwa lafadz niat itu hanya diucapkan pada saat haji dan umrah saja.
Lain halnya jika di belakang kedua teks hadits itu Nabi Muhammad saw menegaskan dengan kalimat "jangan kalian baca niat selain daripada haji dan umrah ini.", seperti terdapat di dalam hadits tentang membaca surat Al-fatihah di dalam shalat bagi makmum.
PANDANGAN ULAMA
Untuk menegaskan kesimpulan di atas, di sini saya akan lampirkan beberapa pandangan ulama mengenai melafadzkan niat. Pandangan ulama ini penting dikarenakan mereka memahami secara utuh makna Al-Qur'an dan sunnah.
1. Mazhab Imam Abu Hanifah. Para ulama pengikut mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafadzkan niat sunnah hukumnya  untuk membantu kesempurnaan niat di dalam hati. Silakan cek di (Al-Bada'i al-Shana'iy fi Tartib al-Syara'i Jilid I/hal.127, al-durru al-Mukhtar Jilid I/hal.406, al-Lubab Jilid I/hal.66)
2. Mazhab Imam Malik bin Anas (Maliky). Niat shalat adalah syarat sah di dalam shalat, sebaiknya niat tidak dilafadzkan kecuali ragu. Karena itu menjadi sunnah melafadzkan niat shalat untuk menghilangkan keraguan. silakan lihat di (al-Syarh al-Shaghir wa hasyiyatu al-Shawi Jilid I/hal.303 dan 305)
3. Mazhab Syafi'i, Sunnah melafadzkan niat menjelang takbiratul ihram dan wajib menentukan jenis shalat yang dilakukan (Lihat Imam al-Nawawy Majmu Syarah al-Muhazzab Jilid III/hal.243 dan hal 252)
4. Mazhab Hanbali, sunnah melafadzkan niat dengan lisan. Lihat al-Mughny Jilid 1/hal.464-469 dan Kasyf al-Qona Jilid 1/hal.364-370).
Itulah pandangan ulama mazhab dianggap mewakili mayoritas umat Islam ahlussunnah.

Adapun pandangan Syaikh bin Baz rah dan Syaikh al-albany yang menganggap membaca niat adalah bid'ah tidak dapat dijadikan sebagai alasan mengingat pandangan kedua ulama itu bersifat pribadi dan tidak dapat mewakili mayoritas. Hanya orang-orang yang kurang pengetahuan agamanya saja yang menganggap pendapat kedua ulama tersebut sejalan dengan sunnah Nabi saw.
Ikhtitam
Imam Ramli mengatakan:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ

Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syri’at Allah SWT.
1. Mengucapkan lafadz niat di dalam ibadah bukanlah perkara bid'ah karena yang demikian telah disebutkan secara tersirat oleh Nabi Muhammad saw.
2. Suatu perbuatan dapat dikatakan bid'ah jika tidak ada contohnya baik di dalam Al-Qur'an ataupun di dalam sunnah Nabi Muhammad saw. Syaikh Nawawi al-bantany rah menambahkan kriteria perbuatan bid'ah adalah menyalahi perintah syariat.
3. Dengan membaca secara jelas kedua hadits shahih dan berpedoman kepada kaidah di dalam membaca dalil sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama, tidak ditemukan persoalan bid'ah di dalam melafalkan niat ibadah apakah itu shalat, puasa, zakat, ataupun haji.
4. Menganggap bid'ah sebuah perbuatan bukanlah perkara yang gampang karena konsekuensi tuduhan bid'ah adalah kesesatan yang berujung kepada kekufuran.

jakarta 6/4/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman