Selasa, 05 April 2016

HUKUM BERSEDEKAP DALAM SHALAT





BERSEDEKAP DALAM SHALAT

كان الناسُ يؤمَرون أن يضَع الرجلُ اليدَ اليُمنى على ذِراعِه اليُسرى في الصلاةِ
Dahulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya ketika shalat” (HR. Al Bukhari 740)
Letak Tangan Saat I’tidal
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Perselisihan ini terjadi karena tidak didapatkan nash yang secara tegas menyebutkan letak posisi kedua tangan dalam keadaan tersebut. Ada dua pendapat yang dipegangi oleh para ulama.
1. Pendapat qabdh (sedekap, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri) sehingga sama dengan posisi tangan saat berdiri sebelum rukuk.
Ulama yag berpegang dengan pendapat ini berdalil antara lain dengan hadits seorang sahabat yang bernama Wa’il ibnu Hujr z yang menerangkan tata cara shalat Nabi n. Wa’il z menyebutkan,
كَانَ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاَةِ قَبَضَ عَلَى شِمَالِهِ بِيَمِيْنِهِ
“Sesungguhnya, ketika berdiri dalam shalat, Nabi n memegang lengan kirinya dengan lengan kanannya (bersedekap).” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 28/2, ath-Thabarani dalam al-Kabir 1/9/22, dan dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 2247)
Menurut pendapat pertama ini, bersedekap di saat berdiri bersifat umum, baik sebelum rukuk maupun setelahnya.
Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t menerangkan, pendapat yang menyatakan sedekap berdalil dengan hadits dalam Shahih Bukhari, Kitabul Adzan, bab “Wadh’ul Yumna ‘alal Yusra” (Peletakan tangan kanan di atas tangan kiri) dari hadits Sahl ibnu Sa’d z, ia berkata,
كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ
“Adalah manusia diperintah agar orang yang sedang shalat meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah.” (HR. al-Bukhari no. 740)
Sisi pendalilan hadits di atas adalah disyariatkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat seseorang berdiri dalam shalatnya, baik sebelum maupun setelah rukuk.
Mengapa demikian? Karena dimaklumi, saat rukuk kedua tangan diletakkan di atas kedua lutut. Ketika sujud, kedua tangan diletakkan di atas tanah, sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga. Saat duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahhud, kedua tangan diletakkan di atas kedua paha dan dua lutut, sesuai dengan perincian yang diterangkan dalam as-Sunnah.
Masalah yang tersisa sekarang hanyalah saat berdiri, di manakah tangan diletakkan? Berdasar hadits di atas, maka tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (bersedekap), sama saja baik saat berdiri sebelum rukuk maupun setelah bangkit dari rukuk karena tidak ada dalil yang tsabit (sahih) dari Nabi n yang membedakan dua berdiri ini.
Dalam hadits Wa’il z yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dengan sanad yang sahih disebutkan, saat berdiri shalat, Nabi n memegang dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Nabi n meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan lengan bawah.
Tidak ada penyebutan yang membedakan letak posisi tangan ketika berdiri sebelum dan setelah rukuk. Dengan demikian, hadits ini mencakup kedua berdiri yang ada di dalam shalat. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat al-Mutanawwi’ah, 11/131—133)
2. Irsal (kedua tangan dilepas di samping badan, tidak disedekapkan).
Alasannya, tidak ada dalil dari as-Sunnah yang jelas menunjukkan qabdh ketika berdiri i’tidal.
Adapun hadits Wail z yang dijadikan sebagai dalil qabdh, sama sekali tidak menunjukkan qabdh yang dikehendaki (yaitu qabdh setelah rukuk), karena qabdh yang ada dalam hadits Wail adalah sebelum rukuk. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh dua jalur hadits berikut ini.
a. Dari Abdul Jabbar ibnu Wail, dari Wail, dari Alqamah ibnu Wail dan maula mereka, keduanya menyampaikan dari Wail ibnu Hujr z,
أَنّهُ رَأَى النَّبِيَّ n رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ، كَبَّرَ –وَصَفَ هَمَّامٌ– حِيَالَ أُذُنَيْهِ. ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ. فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ؛ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ.
“Ia pernah melihat Nabi n mengangkat kedua tangannya setinggi kedua telinganya— sebagaimana disifatkan oleh perawi bernama Hammam—ketika masuk dalam shalat seraya bertakbir. Kemudian beliau berselimut dengan pakaiannya (memasukkan kedua lengannya ke dalam baju), lalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Tatkala hendak rukuk, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya kemudian mengangkat keduanya lalu bertakbir dan rukuk. Ketika mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)’, beliau mengangkat kedua tangannya. Di saat sujud, beliau sujud di antara dua telapak tangannya.” (HR. Muslim no. 894)
b. Dari Ashim ibnu Kulaib, dari ayahnya, dari Wail ibnu Hujr z, ia berkata,
لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ n كَيْفَ يُصَلِّي؟ قَالَ: فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ n فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَهَا مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيهِ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهُمَا مِثْلَ ذلِكَ. فَلَمَّا سَجَدَ وَضَعَ رَأْسَهُ بِذَلِكَ الْمَنْزِلِ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ ثُمَّ جَلَسَ، فَفَتَرشَ رِجْلَهُ الْيُسْرى… وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ… الْحَدِيثَ
Aku sungguh-sungguh akan memerhatikan shalat Rasulullah n, bagaimana tata cara beliau shalat. Wail berkata, “Bangkitlah Rasulullah, menghadap kiblat lalu bertakbir, kemudian mengangkat kedua tangannya hingga bersisian dengan kedua telinganya. Setelah itu beliau memegang tangan kiri beliau dengan tangan kanan. Di saat hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya seperti tadi lalu meletakkan keduanya di atas kedua lututnya. Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau juga mengangkat kedua tangan seperti yang sebelumnya. Ketika sujud, beliau meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya. Kemudian duduk dengan membentangkan kaki kirinya… dan memberi isyarat dengan jari telunjuk….” (HR. Abu Dawud no. 726, an-Nasa’i no. 889, dan selain keduanya dengan sanad yang sahih, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Abi Dawud no. 716—717).
Dalam riwayat Ibnu Majah (no. 810) disebutkan ada ucapan Wail z:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ n يُصَلِّي فَأَخَذَ شِمَالَهِ بِيَمِيْنِهِ
“Aku pernah melihat Nabi n shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
Dari hadits di atas dipahami bahwa bersedekap itu dilakukan pada berdiri yang awal, sebelum berdiri saat bangkit dari rukuk. Seandainya ada bersedekap saat bangkit dari rukuk, niscaya Wail tidak akan luput dalam menyebutkannya. Yang memperkuat hal ini adalah riwayat Ibnu Idris dari Ashim secara ringkas dengan lafadz:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n حِيْنَ كَبَّرَ أَخَذَ شِمَالَهِ بِيَمِيْنِهِ
“Aku pernah melihat Rasulullah n setelah bertakbir memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.” (ash-Shahihah, 5/306—308)
Tidak seorang pun sahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara shalat Nabi n yang secara terang-terangan menyebutkan adanya sedekap setelah rukuk1.
Tidak ada satu nash pun yang menunjukkan Rasulullah n melakukan sedekap setelah bangkit dari rukuk tersebut. Seandainya beliau melakukannya, niscaya akan dinukilkan kepada kita. Sementara itu, seperti kata Ibnu Taimiyah t, “Sungguh semangat dan keinginan kuat terkumpul pada sahabat untuk menukilkan semisal masalah ini. Apabila ternyata tidak ada penukilannya, berarti hal itu merupakan dalil bahwa perbuatan tersebut tidak pernah terjadi. Seandainya terjadi, niscaya akan diriwayatkan.” (Risalah Masyru’iyatul Qabdh fil Qiyam al-Ladzi Qabla ar-Ruku’ Dunal Ladzi Ba’dahu, al-Imam Allamatul Muhaddits al-Albani t2).
Al-Imam al-Allamah al-Muhaddits al-Albani t berkata, “Hadits yang dikenal dengan hadits al-Musi’u shalatahu:
ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، (فَيَأْخُذَ كُلُّ عِظَامٍ مَأْخَذَهُ)
وَفِي رِوَايَةٍ: وَإِذَا رَفَعْتَ فَأَقِمْ صَلْبَكَ، وَارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا
“Kemudian angkatlah kepalamu (dari rukuk) sampai engkau berdiri lurus [hingga setiap tulang mengambil posisinya].”
Dalam satu riwayat, “Apabila engkau bangkit, tegakkanlah tulang sulbimu, angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali ke persendiannya.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dari Abu Hurairah z dalam Shahihnya no. 793. Adapun tambahan dalam tanda kurung dan riwayat setelahnya adalah dari hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ z yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad t dalam Musnadnya.
Yang dimaksud dengan ‘izham (tulang) di sini adalah tulang yang berangkai di punggung (tulang belakang)….”
Beliau t menyatakan, “Sebagian saudara kami dari kalangan ulama Hijaz dan lainnya berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan disyariatkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) saat berdiri dari rukuk. Namun, pendalilan mereka tersebut amat jauh karena sedekap yang dimaksudkan tidak disebutkan dalam hadits yang dijadikan sebagai dalil. Apabila yang jadi sandaran adalah kalimat ‘hingga tulang kembali kepada persendiannya’, yang dimaksud ‘izham di situ adalah tulang belakang. Yang menguatkan hal ini adalah riwayat tentang perbuatan Rasulullah n,
وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى، حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ.
“Saat mengangkat kepalanya (dari rukuk), beliau berdiri lurus hingga setiap faqar kembali ke tempatnya.” (HR. al-Bukhari no. 828) (al-Ashl, 2/700)
Faqar adalah rangkaian tulang punggung, mulai bagian paling atas di dekat leher sampai tulang ekor, sebagaimana disebutkan dalam al-Qamus.
Adapun yang dinukilkan dari al-Imam Ahmad t sebagaimana dinukil putranya, Shalih ibnul Ahmad, dalam Masail-nya hlm. 90, “Jika ia mau, ia melepas kedua tangannya ketika bangkit dari rukuk. Jika mau pula, ia bisa meletakkan keduanya,” adalah ijtihad beliau, bukan dari hadits yang marfu’ dari Nabi n.
Riwayat dari Imam Ahmad. Al Mardawiy berkata didalam “al Inshaf”,”Imam Ahmad berkata,’Apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku, jika dia berkehendak maka dia meluruskan kedua tangannya dan jika dia berkehendak maka dia meletakkan kedua tangannya di sebelah kirinya.”
Kebanyakan para fuqaha klasik dan kontemporer berpendapat dengan meluruskan kedua tangannya setelah ruku’. Bahkan al Albaniy berpendapat bahwa bersedekap setelah ruku’ adalah bid’ah.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz—semoga Allah merahmatinya—serta ulama lainnya dari Najd dan Hijaz berpendapat bahwa disunnahkan meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di dadanya dan bahwa meluruskan kedua tangan (ke bawah) adalah makruh yang tidak sepatutnya dilakukan karena bertentangan dengan sunnah. Mereka berargumentasi dengan hadits-hadits tentang “menggenggam kedua tangan (sedekap) di saat berdiri” dan mereka mengatakan bahwa tidaklah ada bedanya antara berdiri sebelum ruku maupun setelahnya dikarenakan hadits-hadits tersebut secara umum mencakup kedua keadaan tersebut.
Pendapat mereka juga dikuatkan oleh apa yang diriwayatkan oleh an Nasa’i dengan sanad shahih dari Wail bin Hujr berkata,”Aku melihat Nabi saw apabila berdiri shalat meletakkan tangan kanannya diatas pergelangan tangan kiri.” Ini secara umum mencakup berdiri sebelum ruku dan juga setelahnya.
Letak Tangan Bersedekap
Padahal sifat shalat yang telah ditulis oleh para ulama, itulah sifat shalat Nabi.

Terkait luwesnya dimana tangan diletakkan ketika shalat, Imam Abu Isa at-Tirmidzi (w. 279 H) menjelaskan:

ورأى بعضهم أن يضعهما فوق السرة، ورأى بعضهم: أن يضعهما تحت السرة، وكل ذلك واسع عندهم
Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) berkomentar: Ada sebagian ulama yang meletakkan diatas pusar, sebagian lain lagi dibawah pusar. Ini adalah masalah yang luas diantara mereka. (Muhammad bin Isa at-Tirmidzi w. 279 H, Sunan at-Tirmidzi, h. 2/ 32)

Hal itu sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dari Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H):

وعنه أبو طالب سألت أحمد أين يضع يده إذا كان يصلي؟ قال: "على السرة أو أسفل وكل ذلك واسع عنده إن وضع فوق السرة أو عليها أو تحتها
Dari Abu Thalib dia bertanya kepada Imam Ahmad, dimanakah beliau meletakkan tangan ketika shalat? Beliau menjawab: Diatas pusar atau dibawahnya. Hal ini merupakan masalah yang luas, bisa dibawah pusar, pas dipusar atau diatasnya. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, Badai’ al-Fawaidh, h. 3/ 91).

Jadi, para ulama cukup luas dan luwes ketika membahas masalah ini. Sebuah masalah yang masih dimungkinkan untuk berbeda antara ijtihad satu ulama dengan ulama lainnya.
Pendapat Madzhab Empat
Pendapat yang muktamad dari madzhab empat malah tidak ada yang menyebutkan diatas dada. (Yahya bin Hubairah as-Syaibani w. 560 H, Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama’, h. 1/ 107). Berikut pendapat ulama dari masing-masing madzhab:
Pertama, Tidak Bersedekap: al-Malikiyyah
Ini memang pendapat yang masyhur dalam Madzhab Malikiyyah (Ibnu Abdil Barr w. 463 H, at-Tamhid, 20/ 76). Pendapat ini juga dipilih oleh Hasan al-Bashri, an-Nakhai, al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij, Imam al-Baqir, an-Nashiriyyah. (Imam an-Nawawi w. 676 H, Syarah Shahih Muslim, h. 2/ 39).
Kedua, Dibawah Pusar: al-Hanafiyyah dan Riwayat dari Hanabilah
Pendapat ini dipilih juga oleh Abu Hurairah (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515), Anas bin Malik (Ibnu Hazm al-Andulusi w. 456 H, al-Muhalla, h. 4/ 113), Imam Ali bin Abi Thalib (Imam an-Nawawi w. 676 H, Syarah Shahih Muslim, h. 2/ 39), Sufyan at-Tsauri (as-Syaukani w. 1250 H, Nail al-Authar, h. 2/ 188), Ishaq bin Rahawaih (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515).
Pendapat ini juga termasuk salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515),

Imam al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) menyebutkan:

وأما محل الوضع فما تحت السرة في حق الرجل والصدر في حق المرأة
Adapun tempat bersedekap, adalah dibawah pusar untuk laki-laki dan di dada untuk perempuan (Alauddin Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi w. 587 H, Bada’i as-Shana’i, h. 1/ 201)
Pendapat yang masyhur dan dipilih oleh mayoritas Ulama Hanbali adalah meletakkan tangan dibawah pusar (Alauddin al-Mardawi al-Hanbali w. 885 H, al-Inshaf fi Ma’rifat ar-Rajihi min al-Khilaf, h. 2/ 46).
Sebagaimana diungkapkan oleh al-Khiraqi (w. 334 H):

ثم يضع يده اليمنى على كوعه اليسرى ويجعلهما تحت سرته
Kemudian meletakkan tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri, lalu meletakkannya dibawah pusar. (Umar bin Husain al-Khiraqi al-Hanbali w. 334 H, Mukhtshar al-Khiraqi, h. 22)
Ketiga, di Bawah Dada dan Diatas Pusar: as-Syafi’iyyah dan Riwayat dari Malikiyyah
Pendapat ini juga dipilih oleh Said bin Jubair, salah satu riwayat dari Imam Malik bin Anas (Abu Muhammad Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki w. 422 H, al-Isyraf ala Nukat Masail al-Khilaf, h. 1/ 241), salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, al-Mughni, h. 1/ 515).
Imam al-Muzani as-Syafi’i (w. 264 H) menyebutkan:

ويرفع يديه إذا كبر حذو منكبيه ويأخذ كوعه الأيسر بكفه اليمنى ويجعلها تحت صدره
Dan mengangkat kedua tangan ketika takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri. Lalu meletakkannya dibawah dada. (Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar al-Muzani, h. 107).
Sebagaimana Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa meletakkan tangan diantara dada dan pusar adalah pendapat yang shahih dan mansush dalam Madzhab Syafi’i. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Majmu’, h. 3/ 310).
Dalam Madzhab Maliki, ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Malik juga berpendapat seperti pendapat Madzhab as-Syafi’i. Sebagaimana Riwayat dari Ashab dari Imam Malik (Muhammad bin Yusuf al-Gharnathi al-Maliki w. 897 H, at-Taj wa al-Iklil, h. 2/ 240).
Hal ini diungkapkan oleh Imam Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki (w. 422 H):

فصل: وصفة وضع إحداهما على الأخرى أن تكون تحت صدره وفوق سرته
Meletakkan tangan ketika shalat adalah di bawah dada dan diatas pusar (Abu Muhammad Abdul Wahab al-Baghdadi al-Maliki w. 422 H, al-Isyraf ala Nukat Masail al-Khilaf, h. 1/ 241).
Meski ada riwayat juga yang menyebutkan bahwa makruh meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri ketika shalat fardhu, sunnahnya adalah irsal atau tidak bersedekap (Muhammad bin Ahmad Abu Abdillah al-Maliki w. 1299 H, Minah al-Jalil, h. 1/ 262) .
Disebutkan juga dalam kitab al-Mudawwanah:

قال: وقال مالك: في وضع اليمنى على اليسرى في الصلاة؟ قال: لا أعرف ذلك في الفريضة وكان يكرهه ولكن في النوافل إذا طال القيام فلا بأس بذلك يعين به نفسه
Imam Malik berkata: Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri saat shalat, ketika shalat fardhu maka makruh. Sedangkan jika shalatnya sunnah, maka tidak apa-apa (Malik bin Anas w. 179 H, al-Mudawwanah, h. 1/ 169)
Keempat, Boleh dibawah pusar atau diatasnya: Riwayat ketiga dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat ini dipilih juga oleh al-Auza’i, Atha’, Ibnu al-Mundzir (as-Syaukani w. 1250 H, Nail al-Authar, h. 2/ 188).
Imam Abu Daud as-Sajistani (w. 275 H) meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Masa’il:

وسمعته، سئل عن وضعه، فقال: فوق السرة قليلا، وإن كان تحت السرة فلا بأس
Suatu ketika saya mendengar (Imam Ahmad bin Hanbal) ditanya dimakah tangan diletakkan saat shalat? Beliau menjawab: Diatas pusar sedikit. Kalaupun dibawahnya maka tidak apa-apa (Abu Daud Sulaiman as-Sajistani w. 275 H), Masa’il al-Imam Ahmad, h. 48)
Kelima, Diatas dada: Ulama kontemporer
Ini adalah pendapat dari as-Shan’ani (w. 1182 H) dalam kitabnya Subul as-Salam, h. 1/168, al-Mubarakfuri (w. 1352 H) dalam kitabnya Tuhfat al-Ahwadzi, h. 2/84, al-Adzim abadi (w. 1329 H) dalam kitabnya Aunul Ma’bud, h. 1/ 325, as-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya Nail al-Authar, h. 1/ 189, termasuk juga al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya Sifat Shalat Nabi, h. 69.
Pendapat ini muncul dari ulama-ulama kontemporer. Meskipun ada yang menisbatkan pendapat ini kepada ulama salaf, tetapi kurang tepat penisbatan itu. Misalnya Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menisbatkan pendapat ini kepada Shahabat Ali bin Abi Thalib (al-Qurthubi w. 671 H, Tafsir al-Qurthubi, h. 8/ 7311). Tetapi penisbatan ini tidak tepat. (Muhammad Syamsul Haq al-Adzimabadi w. 1329 H, at-Ta’liq al-Mughni, h. 1/ 285).
Sebagaimana Imam Ali bin Abu Bakar al-Marghinani al-Hanafi (w. 593 H) menisbatkan pendapat ini kepada Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya al-Hidayah fi Syarh Bidayat al-Mubtadi’, h. 1/ 47.
Penisbatan ini tidak tepat, karena pendapat Imam as-Syafi’i sebagaimana dinyatakan oleh ulama-ulama as-Syafi’iyyah tidak seperti itu (Lihat: Ismail bin Yahya al-Muzani w. 264 H, Mukhtashar al-Muzani, h. 107).
Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) menisbatkan pendapat ini kepada Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 71. Penisbatan ini juga tidak tepat, karena menurut Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H) justru yang lebih kuat secara dalil adalah meletakkan tangan dibawah pusar. (Ishaq bin Manshur al-Maruzi al-Kausaj w. 251 H, Masa’il al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih, h. 2/ 552).
Dalam masalah ini, bisa diambil sedikit gambaran bahwa malahan tak ada satupun ulama fiqih madzhab empat yang berpendapat meletakkan tangan diatas dada saat shalat.
Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa meletakkan tangan diatas dada bagi Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) saat shalat hukumnya makruh.
Madzhab Hanbali: Makruh Meletakkan Tangan di Dada
Imam Ibnu Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menyebutkan:

ويكره وضعهما على صدره نص عليه مع أنه رواه أحمد
Makruh meletakkan kedua tangan diatas dada, ini adalah nash dari Imam Ahmad padahal beliau meriwayatkan hadits itu. (Muhammad bin Muflih al-Hanbali w. 763 H, al-Furu’, h. 2/ 169)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali (w. 751 H) menambahkan:

ويكره أن يجعلهما على الصدر، وذلك لما روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه نهي عن التكفير وهو وضع اليد على الصدر
Makruh meletakkan kedua tangan diatas dada, karena telah ada riwayat dari Nabi yang menyebutkan bahwa beliau mencegah takfir; yaitu meletakkan tangan diatas dada. ( Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali w. 751 H, Bada’i al-Fawaid, h. 3/ 91)
Hal senada juga dinyatakan oleh al-Buhuti al-Hanbali (w. 1051 H):

ويكره) جعل يديه (على صدره) نص عليه، مع أنه رواه
Makruh meletakkan tangan diatas dada, sebagaimana nash dari Imam Ahmad bin Hanbal, padahal beliau meriwayatkan haditsnya. (Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali w. 1051 H), Kassyaf al-Qina’, h. 1/ 334).
Ini adalah pendapat empat madzhab terkait dimanakah tangan diletakkan ketika shalat. Bagaimana dengan dalil-dalilnya?
Ikhtitam
1.Boleh bersedekap tangannya usai bangun dari ruku’(i’tidal) atau melepaskan tangannya.
2.Imam Ahmad berijtihad bagi yang mau melepas boleh atau bersedekap.
3. Keempat Imam madzhab ketika bersedekap tidak ada yang diatas dada kecuali imam Malik yang muktamad berpendapat melepas tangannya tidak bersedekap; Ada yang diatas pusar dan ada yang dibawah pusar ketika bersedekap dalam shalat. 4.Pendapat imam Ahmad makruh hukumnya yang meletakkan tangan diatas dada ketika bersedekap.
5. Hanya pendapat ulama kontemporer yang meletakkan tangganya bersedekap diatas dada.
https://muslim.or.id
jakarta 6/4/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman