BERQURBAN TANDA CINTA SESAMA ?
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an
nahr).” (QS. Al Kautsar: 2).
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ
يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ
دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلاَفِهَا
وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ
قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا »
Dari
‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah pada hari nahr manusia beramal suatu amalan yang lebih
dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah dari hewan qurban. Ia akan
datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, rambut hewan qurban tersebut. Dan
sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah
tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR.
Ibnu Majah no. 3126 dan Tirmidiz no. 1493. Hadits ini adalah hadits yang dho’if
kata Syaikh Al Albani)
Muqaddimah
Menyembelih
qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan
suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah
melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang
karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad
sahih, lihat Taudhihul Ahkam,
IV/450)
Hadis di
atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn
Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan
hilangnya keutamaan berqurban.
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama
dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang
lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam
berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih
qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah
(lihat Shahih Fiqh Sunnah
2/379 & Syarhul Mumthi’
7/521).
Syari’at Qurban ?
Udhiyah pada
hari nahr (Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya,
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).”
(QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun
nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari
Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas)
ulama.[1]
Dari sunnah
terdapat riwayat dari Anas bin Malik, ia berkata,
ضَحَّى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ
أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا
قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
“Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah tumbuh tanduknya.
Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor kambing tersebut dengan
tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher
kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir” (HR. Bukhari no.
5558 dan Muslim no. 1966).
Kaum
muslimin pun bersepakat (berijma’) akan disyari’atkannya udhiyah.[2]
Udhiyah
disyari’atkan pada tahun 2 Hijriyah. Tahun tersebut adalah tahun di mana
disyari’atkannya shalat ‘iedain
(Idul Fithri dan Idul Adha), juga tahun disyari’atkannya zakat maal.[3]
Hukum Qurban ?
Dalam
hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang
berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah,
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama
pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak
lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu
hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408)
Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta)
namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat
kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani)
Pendapat
kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah
(ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i,
Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil
dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau
mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau
tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan
Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku
melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR.
Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada
riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.”
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Keutamaan Udhiyah ?
Tak
diragukan lagi, udhiyah adalah ibadah pada Allah dan pendekatan diri pada-Nya,
juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-. Kaum muslimin sesudah beliau pun melestarikan ibadah mulia ini. Tidak
ragu lagi ibadah ini adalah bagian dari syari’at Islam. Hukumnya adalah sunnah
muakkad (yang amat dianjurkan) menurut mayoritas ulama. Ada beberapa hadits
yang menerangkan fadhilah atau keutamaannya, namun tidak ada satu pun yang
shahih. Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aridhotil
Ahwadzi (6: 288) berkata, “Tidak ada hadits shahih yang menerangkan
keutamaan udhiyah. Segelintir orang meriwayatkan beberapa hadits yang ajiib
(yang menakjubkan), namun tidak shahih.”[4]
Sejumlah
hadits dho’if yang membicarakan keutamaan udhiyah,
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ
يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ
دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلاَفِهَا
وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ
قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا »
Dari
‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah pada hari nahr manusia beramal suatu amalan yang lebih
dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah dari hewan qurban. Ia akan
datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, rambut hewan qurban tersebut. Dan
sungguh, darah tersebut akan sampai kepada (ridha) Allah sebelum tetesan darah
tersebut jatuh ke bumi, maka bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban.” (HR.
Ibnu Majah no. 3126 dan Tirmidiz no. 1493. Hadits ini adalah hadits yang dho’if
kata Syaikh Al Albani)
عَنْ
أَبِى دَاوُدَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الأَضَاحِىُّ قَالَ «
سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ». قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ « بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ ». قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ « بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ حَسَنَةٌ ».
Dari Abu
Daud dari Zaid bin Arqam dia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,
“Wahai Rasulullah, apakah maksud dari hewan-hewan kurban seperti ini?” beliau
bersabda: “Ini merupakan sunnah (ajaran) bapak kalian, Ibrahim.” Mereka
bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas apa yang akan kami dapatkan dengannya?”
beliau menjawab: “Setiap rambut terdapat kebaikan.” Mereka berkata, “Bagaimana
dengan bulu-bulunya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dari setiap rambut
pada bulu-bulunya terdapat suatu kebaikan.” (HR. Ibnu Majah no. 3127. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan)[5]
Hikmah Berqurban
?
Adapun di antara hikmahnya adalah pertama,
sebagai bukti nyata ekspresi syukur, “Supaya merek amenyebut nama Allah atas
apa yang Allah karuniakan kepada mereka berupa binatang ternak….” (QS. al-Hajj,
22 : 34); kedua, bukti sebagai hamba bertaqwa, “Daging daging qurban dan
darahnya itu sekali kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketaqwaanmulah yang dapat mencapainya…” (QS al-Hajj,
22 :37)
Ketiga,
terakuinya sebagai umat Rasulullah Saw, “Barang siapa yang mempunyai keluasan
(harta) dan tidak mau berqurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami!”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim, Ad Daruquthni dan Al Baihaqi). Keempat,
meraih ampunan dosa, ”Fatimah, berdirilah dan saksikan hewan sembelihanmu itu.
Sesungguhnya kamu diampuni pada saat awal tetesan darah itu dari dosa dosa yang
kamu lakukan...” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)
Kelima,
berpahala besar, "Pada setiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu
kebaikan," (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Keenam, mendapat kesaksian yang
indah dari hewan Qurban kita kelak, “Sesungguhnya ia (hewan qurban) akan datang
pada hari kiamat dengan tanduk, kuku dan bulunya. Dan sesungguhnya darah hewan
qurban akan jatuh pada sebuah tempat di dekat Allah sebelum darah mengalir
menyentuh tanah. Maka berbahagialah jiwa dengannya". (HR. At Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Al Hakim).
Sumber:1.http://rumaysho.com
2.http://muslim.or.id
3.http://www.republika.co.id
Jakarta 8/9/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar