PELAKSANAAN
SHALAT HARI RAYA ?
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah
shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2).
Dari Ibnu
‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ
قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”
Muqaddimah
Hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha
adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan
tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rasulullah SAW tidak
pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.
Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”
“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”
“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ
الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu.
Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah
pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]
Pelaksanaan Shalat ‘Ied ?
Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal
(matahari bergeser ke barat).
Ibnul
Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan
shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu
‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”
Tujuan
mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat
segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur
bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat
fithri.[8]
Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan ?
[1]
Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan)
bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.
[2]
Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ
أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu
akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa
lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,
segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh
ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa
lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul
Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar,
Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga diperbolehkan.
Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat
‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah
kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar
rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.
Sedangkan
dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah
ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ
، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
“Iya,
aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk
sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”
Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir,
beliau mengatakan,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang
berbeda ketika berangkat dan pulang.”[21]
Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak
memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا
وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki,
begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.”
Shalat Idul
Fitri atau Adha di Mushalla(lapangan
terbuka) ?
1.Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
1.Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
2.Namun demikian, menunaikan shalat Id di
masjid lebih utama. Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut
mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu
lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di
masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk,
maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا
كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا
حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama”
Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)
Ada beberapa
alasan yang dikemukakan di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah tentang pilihan lebih
utama masjid, antara lain :
a. Masjid
Lebih Mulia dan Terjamin dari Najis
Masjid itu
lebih mulia dan tentu pahala shalat di dalamnya lebih besar, baik untuk shalat
fardhu ataupun shalat sunnah.
b. Masjid
Lebih Terjamin dari Najis
Alasan kedua
karena masjid lebih terjamin dari najis, karena setiap hari dilaksanakan
shalat. Berbeda dengan padang pasir dimana di masa lalu sering digunakan untuk
buang hajat.
c. Para Imam
Tetap Shalat di Masjid Al-Haram
Meski di
masa Rasulullah SAW shalat Idul Fithr dan Idul Adha dilaksanakan di padang
pasir, namun harus dicatat bahwa di kota Mekkah Al-Mukarramah di masa yang sama
shalat tetap dilaksanakan di dalam masjid Al-Haram.
Bahkan di
Madinah sendiri sepeninggal Rasulullah SAW dan para shahabat hingga hari ini,
kita tidak pernah lagi menyaksikan shalat di padang pasir. Umat Islam di
Madinah hingga hari ini melaksanakan shalat Idul Fithri dan Idul Adha di dalam
masjid Nabawi.
3.Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama
(lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan.
Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa
keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.”
An Nawawi
mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang
menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini
lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang
dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah,
maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”
Ikhtitam
كَانَ رَسُول
اللَّهِ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَْضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
Rasulullah
SAW keluar pada Idul Fithr dan Idul Adha ke mushalla. (HR. Bukhari dan Muslim)
أَصَابَنَا
مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِنَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ
Dari Abu
Hurairah radhiyallahuanhu,"Hujan turun pada kami pada hari 'id, maka
Rasululllah SAW shalat bersama kami di masjid. (HR. Abu Daud)
Sebenarnya,
melaksanakan shalat Id hukumnya sunnah,
baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan
maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan
lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jema’ah. Akan tetapi
menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi
dan halamannya) mampu menampung jema’ah.
Sumber:1.http://rumaysho.com
2.http://www.nu.or.id
3.http://www.rumahfiqih.com
Jakarta 18/9/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar