Rabu, 08 Oktober 2014

DEBAT DALAM AL-QUR'AN




JIDAL DALAM AL-QUR’AN
 “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S. An-Nahl:125)
Muqaddimah
Jadal merupakan sebuah salah satu tema tertentu dalam pembahasan dalam ilmu al-qur’an dimana ada salah seorang Ulama’ Mutaakhkhirin yang menulis secara khusus tentang topik ini, beliau adalah al-‘Allamah Sulaiman bin Abdul qawi bin Abdul Karim, yang dikenal dengan Ibnu Abul ‘Abbas al- Hanbali Najmuddin at-Tufi wafat pada 715 H. Secara naluri memang setiap seseorang mempunyai akal dan pemikiran yang berbeda-beda, sehingga menjadikan antara mereka saling mengutarakan dan mengungkapkan pemahaman mereka tentang sesuatu. Maka jika apa yang disampaikannya berbeda dengan yang lain maka terjadilah perdebatan. Begitu juga pada zaman Rasulullah SAW yang mana beliau menghadapi orang-orang Arab yang mempunyai karakter yang keras, sehingga jika Nabi menyampaikan wahyunya sering ditentang oleh masyarakat Arab bahkan mendustakannya.
Akan tetapi karena Nabi Muhammad memang seorang Rasul yang sangat sabar yang diutus Allah untuk menyampaikan risalahNya, beliau sampaikan dengan cara yang lembut. Orang Arab terkenal dengan ahli bahasa dan syair yang bagus, tapi ketika menghadapi Al-Qur’an yang lebih tinggi dan indah bahasanya sehingga mereka tidak dapat menandinginya sedikitpun.
Defiisi Jadal Al-Qur’an
Secara bahasa jadal berasal dari kata جَدَلَ-يَجْدُلُجُدُوْلًا yang artinya صَلُبَ وَ قَوِيَ atau dalam arti lain الحَبًّ : قَوِيَ فِى سنبله[8]
Adapun secara istilah Jadal dan Jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata جَدَلْتُ الحَبْل yakni اَحْكَمْتُ فَتْلَهُ (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang dipeganginya.[9]
Dalam literatur lain disebutkan depinisi “Al-jadal ” dan al-jidal, maknanya bertarung dalam bentuk beradu dan tewas menewas. asal kalimat ini ialah ” saya menyimpul tali ”  yakni……apabila saya memperkemaskan simpulannya. “tali yang tersimpul” ialah tali yang telah dikemas kuatkan simpulannya.[10] Dengan maksud, seolah olah mereka yang berdebat saling memperkuatkan hujjah dan menyimpulkannya, sebagaimana beliau menguatkankan simpulan tali, supaya dengan menguatkan hujjahnya beliau akan dapat menewaskan  lawannya.
Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama antara lain, Menurut Ibn Sina, jidal adalah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara. Al-Jurjani berpendapat bahwa jidal ialah mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang dipeganginya. Seiring pendapat di atas, menurut tafsir an-Nasafi – dalam Muinzier Spurata dan Harjani –berbantahan dengan cara yang baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan menggunakan perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangun jiwa dan menerangi akal pikiran (Slamadanis, 2003:168).
Sayyid Muhammad Thantawi berpendapat bahwa Mujadalah adalah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat. Ini mengandung arti, berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu (perkataan) yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal fikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama (Slamadanis, 2003:168)..
Jadi kata “jadilhum billati hiya ahsan” dalam ayat di atas, bermaksud bantahlah dengan cara yang lebih baik, kalau telah terpaksa timbul perdebatan atau pertukaran pikiran, yang sekarang disebut dengan polemik, ayat ini menyuruh agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah membedakan antara pokok masalah yang dibahas dengan perasaan benci atau saying kepada pribadi yang diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti tentang ajaran Islam, lalu dengan sesukanya mencela Islam, orang ini dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak fikirannya, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya telah tersakiti karena kita membantah dengan cara yang salah, mungkin ia enggan menerima kebenaran, sekalipun hati kecilnya meyakini. Di sinilah mujadalah berperan sebagai metode dalam berdakwah (hamka, 1987:319).
Metode Berdebat yang ditempuh al-Qur’an
Qur’an Al-Karim dalam berdebat dengan para penentangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti kalangan awam dan orang ahli, ia membatalkan setiap kerancuan vulgar dan mematahkannya dengan perlawanan dan pertahanan dalam uslubb yang konkrit hasilnya, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan.
Qur’an tidak menempuh metode yang dipegang teguh oleh para ahli kalam yang meemerlukan adanya muqadimmah (premis) dan nafiah (kongklusi), seperti dengan cara beristidlal (inferensi) dengan sesuatu yang bersifat kully (universal) atas yang juz’iy (partial) dalam qias syumul, beristidlal dengan salah satu dua juz’iyat yang lain dalam qias tamtsil, atau beristidlal dengan juz’iyat kullly dalam kias istiqra. Hal itu disebabkan:
A. Qur’an datang dalam bahasa Arab dan menyeru mereka dengan bahasa yang mereka ketahui.
B. Bersandar pada fitrah jiwa, yang percaya kepada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih effective hujjahnya.
C. Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan mempergunakan tutur kata yang pelik, merupakan kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat dimengerti kalangan ahli (khas). Cara demikian yang biasa ditempuh para ahli mantiq (logika) ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu dalil-dalil tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam Qur’an merupakan dalalah tertentu yang dapat memberikan makna yang ditunjuknya secara otomatis tanpa harus memasukannya ke dalam qadiyah kulliyah (universal posisition)
Mengapa Terdapat Jadal Dalam Alquran ?

hal ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya adalah

1.karena Allah sendiri telah berfirman dalam Alquran yang berbunyi :
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya[779], supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan[780] siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

[779]  Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.
[780]  disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.

2.membantah pendapat para penentang dan lawan serta membantah argumen mereka karena mereka cenderung berbantahan tapi mereka tidak mampu mendatangkan bukti yang kuat dalam pembicaraan.
3.membungkam lawan bicara dalam ber sengketa dan tetap melawannya, sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal Telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya[491].

[491]  perkataan biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya adalah sebagai sindiran kepada mereka, seakan-akan mereka dipandang sebagai kanak-kanak yang belum berakal.

4.memenangkan perselisihan dan menetapkan dengan menjelaskan bahwa tuduhan yang dituduhkan oleh orang musyrik itu tidak seorang juga yang mengetahuinya, sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
100.  Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan[495]. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.
101.  Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu.

[495]  mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai anak seperti orang Yahudi mengatakan Uzair putera Allah dan orang musyrikin mengatakan malaikat putra-putra Allah. mereka mengatakan demikian Karena kebodohannya.
Ayat ini meniadakan bahwa Allah itu tidak mempunyai ibu bapak dan tidak mempunyai anak. Tidak seorang pun yang menjadi anak Allah. Setiap sesuatu pasti ada yang memperbuat dengan iradahnya. Dia menjadikan semuan yang ada di ala mini dan mengetahui segala sesuatu.
5.mempersempit sifat-sifat, membatalkan, satu diantaranya itu menjadi sebab bagi hukum, seperti firman Allah yang berbunyi:
143.  (yaitu) delapan binatang yang berpasangan[514], sepasang domba[515], sepasang dari kambing[516]. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?" Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar,
144.  Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan Ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

[514]  artinya empat pasang, yaitu sepasang biri-biri, sepasang kambing sepasang unta dan sepasang lembu
[515]  maksudnya domba jantan dan betina
[516]  maksudnya kambing jantan dan betina
Tujuan dan Fungsi dari Metode Dakwah Mujadalah
Beranjak dari hakikat metode dakwah mujadalah di atas maka tujannya untuk membawa kepada petunjuk dan kebenaran yang hakiki. Tujuan dari metode mujadalah al-lati hiya ahsan yakni untuk membahas dan menemukan pemecahan semua problematika yang berkaitan dengan dakwah sehingga apa yang menjadi permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya (Munir, 2003: 23). Di dalam surat al Nisa’ 107 ayat ini menunjukkan etika mujadalah dengan orang orang yang berkhianat kepada Islam, karena tujuan mereka bermujadalah adalah untuk kepentingan hidup dunia semata, bukan untuk mencari kebenaran, sebab jiwanya akan tetapi mengingkari kebenaran Islam dan membencinya. Maka dalam hal ini Allah SWT melarang melayaninya. Untuk itu dapat mewujudkan tiga hal polok, yaitu :
  1. Memperbaiki sasaran dan tujuan dakwah, yaitu memberikan bayan kepadanya
  2. Memperbaiki pendekatan dan bentuk dakwah,
  3. Memperbaiki hasil dakwah yang belum berhasil.
Dengan demikian  mengenai mujadalah terdapat pada surat an Nahl 125 , para ulama mengeluarkan pendapat sama yaitu berbantah-bantahan yang tidak membawa kepada pertikaian, kebencian, akan tetapi membawa kepada kebenaran.
Metode mujadalah ini pada prinsip diutamakaan kepada objek dakwah yang mempunyai tipologi antara menerima danmenolak materi dakwah (Islam) yang disampaikan kepada mereka. Pada mereka yang semacam ini  mujadalah memainkan peranannya, sehingfga ia (objek dakwah) dapat menerima dengan perasaan mantap dan puas.l mak metode ini memberi isyarat kepada juru dakwah untuk menmabha wawasan dalam segala aspek, sehingga pada akhirnya dapat memberikan jawaban/bantahan kepada objek dakwah secara benar dan baik serta menyenangkan perasan mereka.
Berdasarkan analisa di atas debat salah satu metode  dakwah, yaitu debat yang baik, dad argumentasi dan tidak tegang serta memojokkan sampai terjadi pertengkaran. Memang berdebat pada umumnya adalah mencari kemeneangan dan bukanmencari kebenaran,sehingga tidakjarang terjadi munculnya permusushan. Maka debat sebagi metode dakwah pada dasarnya mencari kebenaran dan kehebatan  Islam. Kecuali itu , berdebat efektif dilakuakn hanya kepada orang-orang yang  membantah akan kebeneran Islam.Sedangakan objek dakwah yang masih kurang percaya atu kurang mantap terhadpa kebneran Islam (tidak membantah) belum diperluakan metode debat sebagai metode dakwah. Berbeda dengan sesame ulama (intelektual) berdebat adalah rahma. Sedangakn dikalangan masyarakat awam hanyalah akan menimbulkan permusuhan dan pertengkaran.
Urgensi Mempelajari Jidalul Qur’an
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui penyampaian dari Nabi sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia. Sebelum Nabi Muhammad diutus menyampaikan risalahNya, keadaan orang Arab pada waktu itu sangat bejat moralnya dan masih menyembah berhala. Sehingga Nabi Muhammad butuh waktu yang panjang untuk mengembalikan pada akidah yang benar. Disamping itu orang Arab sangat keras wataknya tapi masalah bahasa sangat menguasai dan pakar dalam hal itu. Sehingga ketika mereka menerima ajaran Rasulullah mereka sering menentang bahkan mendustakannya. Di antara hikmahnya adalah:
1. ketinggian bahasa alqur’an membuat mereka tidak mampu menandinginya.
2. bahasa alquran sangat halus dalam mendebat.
3. betapapun orang arab sangat mahir dalam bahasa, mereka tidak mampu menjawab alquran.
4. menunjukkan bahwa manusia itu sangat terbatas pengetahuannya yang tidak patut untuk menyombongkan dirinya.
5. alquran menerangkan bahwa dalam menyampaikan ajaran atau mengajak kepada kebaikan diharuskan dengan cara yang sopan santun sehingga orang menjadi tertarik untuk mengikutinya.
6. apabila orang yang diajak kebaikan malah menentang dan mengajak berdebat, maka debatlah dengan yang lebih baik. Dan sampaikan dalil yang bisa diterima olehnya
Demikian sedikit penjelasan dari kami mengenai jadal (debat) dalam alquran, semoga ada guna dan manfaatnya. Sehingga bisa menambah khazanah keilmuan pada kita.
Manfaat Mengetahui Jadal Dalam Alquran
  1. mengajarkan kepada umat Islam bagaimana cara mendebat orang lain dengan tata aturan yang sesuai dengan ajaran Islam.
  2. agar umat islam dapat membantah apa yang dituduhkan oleh orang-orang kafir dan orang-orang musyrik dengan bantahan yang paling baik.
  3. umat islam diajarkan untuk menghargai pendapat orang lain selama orang tersebut tidak mengganggu keyakinan umat islam dengan pendapat mereka.
  4. mendidik dan menanamkan ke dalam hati manusia bahwa sungguh mulia Islam dengan cara membantah lawan bicaranya dengan cara yang baik sehingga orang lain tertarik kepada Islam.
  5.  Allah menyebutkan ayat-ayat kauniyah agar dijadikan dalil bagi sendi-sendi akidah. Seperti firman Allah dalam suratAl-baqarah:21-22.
  6. Menetapkan pembicaraan dengan jalan istifham.
  7. Mengemukakan dalil-dalil bahwa Allah adalah tempat kembali.
  8. Membatalkan tuduhan lawan dalam bersengketa dan tetap melawannya.
  9. Sabru dan taqsim, yaitu mempersempit sifat-sifat, membatalkan, dan menjadikan yang satu sebab bagi yang lain. Sepaerti firman Allah dalam surat Al-an’am:143-144.
  10. Mengalahkan lawan dengan cara menjelaskan bahwa tuduhan yang diajukannya itu tidak seorangpun yang mengetahuinya.
  11. Untuk menangkis dan melemahkan argumentasi-argumenrasi orang kafir.
  12. Jawaban Allah tentang pembenaran akidah dan persoalan yang dihadapi rasul.
  13. Layanan dialog bagi orang yang benar-benar ingin tahu,kemudian hasilnya itu dijadikan pegangan dan semacamnya, seperti jawaban Allah atas kegelisahan Nabi Ibrahim.
  14. Sebagai bukti dan dalil yang dapat mematahkan dakwaan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia,seperti dialog Nabi Musa dengan Fir’aun(QS. Al-syu’araa:10-51)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Husin al-Muqaddasi, Fath al-Rahman li al-thalib al-ayat al-Qur’an. (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.).
2.Jalaluddin ‘Abrurrahman al-Suyuuthi (imam al-Suyuti), Al-Itqan fii ‘Ulumil Qur’an, Juz 1, Darul Hadits, Kairo Mesir
3.Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka: 1998).
4.M. Hasbi AshShiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ tafsir, (Jakarta; Bulan Bintang, 1992)
5.Manna’ Khalil al-Qaththan,(Trjm; Drs. Mudzakir) Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera Antarnusa, 2002).
6.M. Ibnu ‘Uluwi al-Maliki al-Husaini, Zubdzatu al-Itqan Fii ‘Uluumi al-Qur’an.(Arab Saudi: Dar al-Syuruq)
7.Qutb, Sayyid, Fiqh ad Da’wah, Beirut: Muassasah ar Risalah, 1970
8.Salmadanis, Filsafat Dakwah, Jakarta: Surau, 2003
9.Shihab, M. Quraish, Tafsir al- Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet.IV
10..[8] Al-Munjid Fii Lughati wa Al-A’laam. Hal 82
11.[9] Manna’ Khalil al-Qattan(trjmah; Drs, Mudzakir AS), Studi Ilmu-ilmu a-Qur’an, Litera Antar Nusa, Halim Jaya, Jakarta, 2002. hal 426
12.[10] Diakses pada tanggal 27-Okt 2008, http://www.geocities.com/zam8557/was4.html
JAKARTA 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman