”Dan sungguh Kami telah (putuskan
untuk) memuliakan Bani Adam, dan telah Kami kerahkan untuk mereka apa yang ada
di darat dan di laut, serta telah Kami berikan kepada mereka rezeki yang halal
lagi baik (thayyibat), dan telah Kami unggulkan mereka di atas makhluk-makhluk Kami
lainnya yang banyak” (QS. Al Isra: 70)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut
ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu
itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi
orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan
orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat
dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm [100]
dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
Muqaddimah
Allah berfirman: “hai orang-orang
yang beriman jagalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan
bakarnya terdiri dari manusia dan batu” (QS. At-Tahrim: 6)
Bercermin pada Rasul SAW, agar bisa menjadi pemimpin keluarga
yang berhasil, orang tua harus mampu menjadi teladan. Keteladanan orang tua
memiliki pengaruh sangat besar bagi perkembangan kepribadian anak-anaknya.
Seorang anak yang lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
temperamental, pada umumnya ketika dewasa ia pun akan menjadi sosok yang mudah
meledak-meledak, gampang marah dan sulit mengendalikan emosi. Berbeda dengan,
anak-anak yang lahir, tumbuh dan di besarkan dalam lingkungan keluarga yang
dipenuhi kelemahlembutan, saat dewasa ia pun akan menjadi pribadi yang
penyabar, penuh cinta kasih dan mudah memaafkan. Karena, anak-anak belajar (terutama)
dari apa yang ia lihat.
Di samping keteladanan, seorang pemimpin yang baik harus memiliki kesabaran. Sabar, bukan
berarti, sebagai pemimpin, orang tua diam saja melihat
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan anak-anaknya. Tetapi, sabar berarti,
memilih sikap yang paling bijak dan metode yang paling tepat dalam melakukan
perbaikan. Rasul SAW mengajari kita bagaimana memberi nasihat yang baik, antara
lain, memilih waktu yang tepat, seperti pada waktu makan, ketika di atas
kendaraan, dan saat sedang sakit. Dan juga, agar tidak terlalu sering dalam
memberi nasihat.
Di samping keteladanan, seorang pemimpin yang baik
harus memiliki kesabaran. Sabar berarti, memilih sikap yang paling bijak dan
metode yang paling tepat dalam melakukan perbaikan. Rasulullah saw adalah seorang
pemimpin yang banyak memberikan teladan dan sangat sabar dalam memimpin
keluarga dan dekat dengan fakir-miskin serta banyak sahabat yang menimba ilmu
darinya.
Para sahabat hidupnya mulia disisi Allah swt dengan
banyak belajar dari Rasulullah saw dan mengamalkan ilmunya dengan penuh
keikhlasan. Mereka tawadhu’ dengan ilmunya, mereka dermawan dengan hartanya,
mereka sungguh2 berjihad di jalan Allah swt sepanjang hidupnya. Oleh karenanya,
bertemanlah dengan orang2 yang shalih, dalam ilmunya, mengamalkan ilmunya dan
sangat takut kepada Allah swt.
Belajar dengan orang2 yang berilmu
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan
purnama di atas seluruh bintang-gemintang. Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris nabi-nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan uang dinar ataupun
dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu
niscaya dia memperoleh jatah warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq
al-’Ulama, hal. 22)
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam
Malik. Imam Malik
berkata: Aku mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami
kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh
Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5],
dan Fath al-Bari [1/172])
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari
Mujahid mengenai makna firman Allah (yang artinya), “Allah berikan
hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan, “Yaitu
ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal.
19)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari
Mujahid tentang maksud firman Allah ‘azza wa jalla (yang
artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau
menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq
al-’Ulama, hal. 21)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari
al-Hasan, bahwa Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan
para ulama
di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi
penunjuk arah bagi manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id
bin Jubair, dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang
pengajar kebaikan dan orang yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala
sesuatu, sampai ikan di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq
al-’Ulama, hal. 43-44)
Faktor Kemuliaan Manusia
1.Pada aspek jalan kemuliaan, manusia telah diberi seperangkat petunjuk (hidayah), yang
membimbingnya untuk maju tetapi menghindarkannya dari kesalahan dan
penyimpangan. Dia menganugerahkan petunjuk instink agar anak manusia sejak dini
dapat memilih yang baik, didukung dengan petunjuk indera sehingga dapat
mengamati mana yang berguna dan yang berbahaya, lalu diperkuat dengan petunjuk
akal agar dapat mempertimbangkan pilihan yang benar, kemudian dikaruniakannya
petunjuk Dinul Islam untuk mengoreksi kelemahan instink, indera dan akal, dan
memastikan jalan kemuliaan yang harus ditempuh. Sehingga manusia makin taqarrub
kepada Allah dan terhindar dari kemerosotan (deklinasi) kepada “asfala safilin”
(QS. Attin: 5), dan iman – amal shalihnyapun terus ditingkatkan.
2.Sisi lain dari faktor kemuliaan manusia, seperti
ditulis Sayid Quthub, adalah ri’ayatullah subhanahu wa ta’ala setelah manusia menerima tugas khilafah di muka
bumi. Allah memberi waktu yang cukup bagi manusia untuk mengumpulkan
prestasi amal shalihnya, dan untuk mengoreksi kekeliruannya dari waktu ke
waktu. Dengan kekuatan wa’yu (kesadaran) yang ada dalam dhamir (hati kecil)nya,
keikhlasan saling menasehati antar sesama Muslim dan muhlah (kesempatan) yang
selalu disediakan Allah, mereka bukan saja mampu kembali ke jalan yang benar
(the right track), tetapi dapat meningkatkan prestasi kebajikan.
Orang2 yang dimuliakan
Kemuliaan adalah nikmat. Maka Allah juga akan memilih
orang yang pantas untuk mendapat kemuliaan itu. Ada beberapa karateristik
orang-orang yang Allah pilih untuk mendapat kemuliaan itu, diantaranya:
1. Rendah Hati (Tidak Sombong)
Ciri-cirinya adalah tidak merendahkan orang lain,
tidak menghina orang lain dan berkata baik. Ini hanya bisa dimiliki oleh
orang-orang shalih dan beriman. Maka ketika kita ingin mendapat kemuliaan harus
bersifat rendah hati.
2. Membiasakan Tahajud
Menjadikan Tahajud sebagai ibadah khusus. Karena ada
perbedaan orang yang selalu tahajud dengan yang tidak biasa menjalankannya.
3. Berdoa agar Allah menjauhkan azab dan memohon
ampun.
4. Tidak membelanjakan hartanya secara berlebihan.
Dalam hal ini, kita harus sederhana, tidak boleh kikir, dan mampu memenuhi
kebutuhan diri. Serta rajin bersedekah.
Harus diketahui bahwa harta kita yang sebenarnya
adalah harta yang diberikan di jalan Allah. Maka, mari kita biasakan untuk
bersedekah.
6. Tidak menyembah Tuhan selain Allah. Dalam hal ini,
kita harus menjauhkan diri dari perbuatan syirik, zina dan tidak membunuh.
Orang yang melakukan syirik,berzina akan diberi azab oleh Allah kecuali orang
yang bertobat.
7. Mengerjakan amal sholeh
8. Tidak memberikan persaksian palsu
9. Tidak bersikap seperti orang yang tuli dan buta
ketika diberi peringatan atau teguran dengan ayat-ayat-Nya
10. Bersabar untuk mendapatkan surga, diiringi dengan
doa.
Jakarta 20/11/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar