يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu,
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59)
Muqaddimah
Betapa banyak kita lihat saat ini, wanita-wanita
berbusana muslimah, namun masih dalam keadaan ketat. Sungguh kadang hati terasa
perih. Apa bedanya penampilan mereka yang berkerudung dengan penampilan wanita
lain yang tidak berkerudung jika sama-sama ketatnya[?]
Jilbab merupakan bagian dari syari’at yang penting
untuk dilaksanakan oleh seorang muslimah. Ia bukanlah sekedar identitas atau
menjadi hiasan semata dan juga bukan penghalang bagi seorang muslimah untuk
menjalankan aktivitas kehidupannya. Menggunakan jilbab yang sesuai dengan
tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dilakukan
oleh setiap muslimah, sama seperti ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, puasa
yang diwajibkan bagi setiap muslim. Ia bukanlah kewajiban terpisah dikarenakan
kondisi daerah seperti dikatakan sebagian orang (karena Arab itu berdebu, panas
dan sebagainya). Ia juga bukan kewajiban untuk kalangan tertentu (yang sudah
naik haji atau anak pesantren).
Makna Jilbab
Dalam ayat di atas ada kata jalaabiib, bentuk plural
dari mufrodnya (kata tunggalnya) yaitu jilbab, yang
memiliki makna:
1. Kerudung
besar yang menutupi semua anggota badan, sebagaimana penjelasan Imam
Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi 14/232).
2. Pakaian
yang menutupi semua anggota badan wanita,
sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qotadah, Hasan Basri,
Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakhoi dan Atho’ alKhurasani. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 6/424, AlMuhalla 3/219).
3. Selimut
yang menutupi wajah wanita dan semua
anggota badannya tatkala akan keluar, sebagaimana yang
dituturkan Ibnu Sirin. (Lihat Tafsir Ad-Durul Mansur 6/657, Tafsir AlBaidhowy
4/284, Tafsir An-Nasafi 3/453 581, Fathul Qadir 4/304, Ibnu Katsir 6/424 dan
Tafsir Abu Su’ud 7/108).
4. Pakaian yang
menutup dari atas kepala sampai ke bawah, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu
Abbas. (Lihat Tafsri Al-Alusy 22/88).
5. Selendang besar yang menutupi kerudung.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Mas’ud dan para tabi’in. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 6/ 425).
6. Pakaian
sejenis kerudung besar yang menutupi semua badan, sebagaimana yang dituturkan
oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.(Lihat Tafsir AtsTsa’labi 2/581).
Dari keterangan
di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa jilbab bukanlah
kerudung
yang
digantungkan di
leher, bukan pula kerudung tipis yang kelihatan rambutnya atau
kerudung yang hanya menutup sebagian rambut belakangnya, bukan pula kerudung
sebangsa kopyah yang kelihatan lehernya atau kerudung yang hanya menutup ujung
kepala bagian atas seperti ibu suster dan wanita Nashraniatau
kerudung yang kelihatan dadanya, dan bukan pula selendang kecil yang
dikalungkan di pundak kanannya.
Mengapa Wanita Beriman Berjilbab ?
Syarat Pakaian Wanita yang
Harus Diperhatikan
1. Menutup Seluruh Badan Kecuali Yang Dikecualikan
Pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali
wajah dan telapak tangan. Ingat, selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi
termasuk juga telapak kaki.
Dari syarat pertama ini, maka jelaslah bagi seorang
muslimah untuk menutup seluruh badan kecuali yang dikecualikan oleh syari’at.
Maka, sangat menyedihkan ketika seseorang memaksudkan dirinya memakai jilbab,
tapi dapat kita lihat rambut yang keluar baik dari bagian depan ataupun
belakang, lengan tangan yang terlihat sampai sehasta, atau leher dan telinganya
terlihat jelas sehingga menampakkan perhiasan yang seharusnya ditutupi.
Catatan penting dalam poin ini adalah penggunaan
khimar yang merupakan bagian dari syari’at penggunaan jilbab sebagaimana
terdapat dalam ayat selanjutnya dalam surat An Nuur ayat 31,
Khumur merupakan jamak dari kata khimar yang berarti
sesuatu yang dipakai untuk menutupi bagian kepala. Sayangnya, pemakaian khimar
ini sering dilalaikan oleh muslimah sehingga seseorang mencukupkan memakai
jilbab saja atau hanya khimar saja. Padahal masing-masing wajib dikenakan,
sebagaimana terdapat dalam hadits dari Sa’id bin Jubair mengenai ayat dalam surat
Al Ahzab di atas, ia berkata, “Yakni agar mereka melabuhkan jilbabnya.
Sedangkan yang namanya jilbab adalah qina’ (kudung) di atas khimar. Seorang
muslimah tidak halal untuk terlihat oleh laki-laki asing kecuali dia harus
mengenakan qina’ di atas khimarnya yang dapat menutupi bagian kepala dan
lehernya.” Hal ini juga terdapat dalam atsar dari ‘Aisyah radhiallahu’anha,
ia berkata,
لابد للمرأة من ثلاثة أثواب تصلي فيهن: درع و جلباب و خمار
“Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus
mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab dan khimar.” (HR. Ibnu Sa’ad, isnadnya shahih
berdasarkan syarat Muslim)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan kata “pakaian” pada ayat di atas adalah “jilbab” dan hal
serupa juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al
Baihaqi). Dapat pula diketahui di sini, bahwa pemakaian khimar yang dikenakan
sebelum jilbab adalah menutupi dada.
Lalu bagaimana bisa seseorang dikatakan memakai jilbab jika hanya sampai
sebatas leher? Semoga ini menjadi renungan bagi saudariku sekalian.
Catatan penting lainnya dari poin ini adalah terdapat
anggapan bahwa pakaian wanita yang sesuai syari’at adalah yang berupa jubah
terusan (longdress), sehingga ada sebagian muslimah yang memaksakan diri untuk
menyambung-nyambung baju dan rok agar dikatakan memakai pakaian longdress.
Lajnah Daimah pernah ditanya tentang hal ini, yaitu apakah jilbab harus
“terusan” atau “potongan” (ada pakaian atasan dan rok bawahan). Maka
jawaban Lajnah Daimah, “Hijab (baca: jilbab) baik terusan ataukah potongan,
keduanya tidak mengapa (baca: boleh) asalkan bisa menutupi sebagaimana yang
diperintahkan dan disyari’atkan.” Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz
bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota (Fatawa
Lajnah Daimah 17/293, no fatwa: 7791, Maktabah Syamilah). Dengan demikian,
jelaslah tentang tidak benarnya anggapan sebagian muslimah yang mempersyaratkan
jubah terusan (longdress) bagi pakaian muslimah.
2.Kainnya Harus Tebal, Tidak Tipis
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan beliau belum pernah
melihatnya,
وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah
melihatnya, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukul
manusia dengan cambuknya dan wanita yang kasiyat (berpakaian tapi telanjang,
baik karena tipis atau pendek yang tidak menutup auratnya), mailat mumilat
(bergaya ketika berjalan, ingin diperhatikan orang), kepala mereka seperti
punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal
baunya didapati dengan perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan
Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik)
Ambil dan camkanlah hadits ini wahai saudariku, karena ancamannya demikian
keras sehingga para ulama memasukkannya dalam “dosa-dosa besar“. Betapa banyak wanita muslimah
yang seakan-akan menutupi badannya, namun pada hakekatnya telanjang. Maka dalam
pemilihan bahan pakaian yang akan kita kenakan juga harus diperhatikan karena
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr, “Bahan yang tipis dapat
menggambarkan bentuk tubuh dan tidak dapat menyembunyikannya.” Syaikh Al
Bani juga menegaskan, “Yang tipis (transparan) itu lebih parah dari yang
menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal).” Bahkan kita ketahui, bahan yang
tipis terkadang lebih mudah dalam mengikuti lekuk tubuh sehingga sekalipun
tidak transparan, bentuk tubuh seorang wanita menjadi mudah terlihat.
3. Harus Longgar, Tidak Ketat
Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian
tersebut haruslah longgar, tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh
wanita muslimah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits dari Usamah bin Zaid
ketika ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia memberikan baju tersebut kepada istrinya. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda,
مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها
“Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik
Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk
tubuh.” (HR. Ad Dhiya’
Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan)
Maka tidak tepat jika seseorang mencukupkan dengan
memakai rok, namun ternyata tetap memperlihatkan pinggul, kaki atau betisnya.
Maka jika pakaian tersebut telah cukup tebal dan longgar namun tetap
memperlihatkan bentuk tubuh, maka dianjurkan bagi seorang muslimah untuk
memakai lapisan dalam. Namun janganlah mencukupkan dengan kaos kaki panjang,
karena ini tidak cukup untuk menutupi bentuk tubuh (terutama untuk para
saudariku yang sering tersingkap roknya ketika menaiki motor sehingga
terlihatlah bentuk betisnya). Poin ini juga menjadi jawaban bagi seseorang yang
membolehkan penggunaan celana dengan alasan longgar dan pinggulnya ditutupi
oleh baju yang panjang. Celana boleh digunakan untuk menjadi lapisan namun bukan
inti dari pakaian yang kita kenakan. Karena bentuk tubuh tetap terlihat dan hal
itu menyerupai pakaian kaum laki-laki. (lihat poin 6). Jika ada yang beralasan,
celana supaya fleksibel. Maka, tidakkah ia ketahui bahwa rok bahkan lebih
fleksibel lagi jika memang sesuai persyaratan (jangan dibayangkan rok yang
ketat/span). Kalaupun rok tidak fleksibel (walaupun pada asalnya fleksibel)
apakah kita menganggap logika kita (yang mengatakan celana lebih fleksibel)
lebih benar daripada syari’at yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan.
4. Tidak Menyerupai Pakaian Laki-Laki
Terdapat hadits-hadits yang menunjukkan larangan
seorang wanita menyerupai laki-laki atau sebaliknya (tidak terbatas pada
pakaian saja). Salah satu hadits yang melarang penyerupaan dalam masalah
pakaian adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الرجل يلبس لبسة المرأة و المرأة تلبس لبسة الرجل
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat
pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Kesamaan
dalam perkara lahir mengakibatkan kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan
perbuatan.” Dengan menyerupai pakaian laki-laki, maka seorang wanita akan
terpengaruh dengan perangai laki-laki dimana ia akan menampakkan badannya dan
menghilangkan rasa malu yang disyari’atkan bagi wanita. Bahkan yang berdampak
parah jika sampai membawa kepada maksiat lain, yaitu terbawa sifat
kelaki-lakian, sehingga pada akhirnya menyukai sesama wanita. Wal’iyyadzubillah.
BERSAMBUNG...(1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar