"Pada hari
ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada
kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (QS. Al Maa`idah 3)
"Dan Kami
turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl 89).
"Islam tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah, atau bagaikan
tubuh tanpa nyawa." (Lihat M Al Ghazali, Ma'rakat Al Mushhaf, hal. 68)
Muqaddimah
Hubungan antara agama dan negara seringkali
menimbulkan pro-kontra. Kalangan Islamis tentunya akan selalu mendasarkan
setiap persoalan -termasuk negara pada- pijakan agama. Sementara kalangan
Sekularis walau bagaimanapun tidak bisa membuang agama dalam kehidupannya.
Bahkan, betapa pun sempitnya ruang untuk agama yang diberikan oleh kalangan
Sekularis, undang-undang (wadl`iyyah) tetap membutuhkan agama dan
ketuhanan untuk mengambil kesaksian atau sumpah jabatan kepala negaranya. Hal
ini menunjukan bahwa manusia tidak bisa meninggalkan ghorizah tadayun
(hasrat glorifikasi) terhadap Tuhan dan agama.
Hubungan
antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi
s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah (al-Madinah, kota par
excellence). Dari nama yang dipilih oleh Nabi s.a.w. bagi kota hijrahnya itu
menun-jukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu
men-ciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu
entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.
Negara
Madinah pimpinan Nabi itu, seperti dikatakan oleh Robert Bellah, seorang ahli
sosiologi agama terkemuka, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara
dalam Islam. Muhammad Arkoun, salah seorang pemikir Islam kontemporer terdepan,
menyebut usaha Nabi s.a.w. itu sebagai "Eksperimen Madinah."
Yang tampak paling kontroversial adalah pandangan Dr. Alwi Shihab,
Ketua PKB. Mengacu kepada pendapat Ali Abdur Raziq, pengarang kitab Al
Islam wa Ushulul Hukm, Alwi berpandangan, pertama, Nabi Muhammad SAW
tidak diperintahkan membentuk negara, dan otoritasnya pun hanya di bidang
spiritual saja. Kedua, Islam tidak mencanangkan sistem negara tertentu,
apakah itu monarki, republik, atau apa pun. Ketiga, bentuk pemerintahan
yang didirikan setelah wafatnya Nabi SAW (Khilafah) tidak memiliki landasan
doktrin, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis saja, yang kemudian
baru dinyatakan legitimate dari segi doktrin. Keempat, dalam
sejarah Islam, pemerintahan yang diberi legitimasi agama (yaitu Khilafah, yang
menurutnya seharusnya tidak ada!) bertanggung jawab atas lahirnya tirani. (Ibid.,
29/5/99)
Berbeda dari mereka, adalah pendapat Dr. HM. Hidayat Nur Wahid (PK)
dan H. Ahmad Sumargono (PBB). Menurut Hidayat, ungkapan Indonesia bukan
negara agama dan bukan negara sekuler mengandung ambivalen dan kontraproduktif.
Ungkapan ini menafikan faktor agama dalam kehidupan bernegara, seolah-olah
nilai agama boleh dipinggirkan. Sedang Sumargono menyatakan, dalam Islam, agama
dan negara tak bisa dipisahkan. (Ibid., 28-29/5/99).
Yang tampak paling kontroversial adalah pandangan Dr. Alwi Shihab,
Ketua PKB. Mengacu kepada pendapat Ali Abdur Raziq, pengarang kitab Al
Islam wa Ushulul Hukm, Alwi berpandangan, pertama, Nabi Muhammad SAW
tidak diperintahkan membentuk negara, dan otoritasnya pun hanya di bidang
spiritual saja. Kedua, Islam tidak mencanangkan sistem negara tertentu,
apakah itu monarki, republik, atau apa pun. Ketiga, bentuk pemerintahan
yang didirikan setelah wafatnya Nabi SAW (Khilafah) tidak memiliki landasan
doktrin, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis saja, yang kemudian
baru dinyatakan legitimate dari segi doktrin. Keempat, dalam
sejarah Islam, pemerintahan yang diberi legitimasi agama (yaitu Khilafah, yang
menurutnya seharusnya tidak ada!) bertanggung jawab atas lahirnya tirani. (Ibid.,
29/5/99)
Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam
Setidaknya terdapat tiga pandangan hubungan agama-negara, sesuai dengan
ketiga ideologi yang ada di dunia dewasa ini; Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam,.
Pertama, agama
tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Sebab agama
dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama
dipandang sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi
dengan penguasa borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga
rakyat lebih mudah ditindas dan dieksploitir. Agama dianggap khayalan, karena
berhubungan dengan hal-hal gaib yang non-empirik. Segala sesuatu yang ada,
dalam pandangan ini, adalah benda (materi) belaka. Inilah pandangan ideologi
Sosialisme yang telah diadopsi oleh negara-negara sosialis seperti Uni Soviet,
RRC, dan sebagainya.
Kedua, agama
terpisah dari negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya menolak
peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi antara
manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi
individu, tetapi tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, seperti peraturan untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi,
sistem sosial, dan sebagainya. Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang
menjadi asas ideologi Kapitalisme yang dianut negara-negara Barat seperti
Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain pengikut mereka.
Ketiga, agama tidak
terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar urusan pribadi atau
ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh
interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia
dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia yang satu dengan
manusia yang lain. Keberadaan negara bahkan dipandang sebagai syarat mutlak
agar seluruh peraturan agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam,
yang pernah diterapkan sejak Rasulullah SAW berhijrah dan menjadi kepala negara
Islam di Madinah hingga hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924.
(Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam, hal. 24-26; juga Abdul
Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufur, hal. 39-40).
Islam adalah agama yang telah sempurna lagipula menjelaskan segala
sesuatu. Artinya, Islam telah menjangkau dan menerangkan peraturan untuk semua
perbuatan manusia dalam segala aspek kehidupannya, secara sempurna dan
menyeluruh, termasuk di dalamnya aspek kenegaraan. Allah SWT berfirman : "Pada hari ini, telah
Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian
ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian." (QS. Al
Maa`idah 3)
"Islam itu bukanlah sekedar agama (ritual) belaka, akan tetapi ia
adalah agama dan (di antaranya adalah) negara. Dan sudah menjadi tabi'at agama
Islam, bahwa dia itu mempunyai negara untuk melaksanakan Islam..." (Lihat Abdul
Qadir 'Audah, Al Islam wa Audla'una As Siyasiyah, hal. 19)
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqh 'Ala Al
Madzahib Al Arba'ah, juz 5, halaman 614 menegaskan :
"Para imam (yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad)
--rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu,
dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan
menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang
dizhalimi..."
Islam Madinah Masa
Rasulullah saw
Perdebatan yang sering muncul adalah masalah
penerjemahan istilah Madinah secara kontekstual dan politis. Kelompok pertama
menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai Madinah adalah sebuah ‘negara modern’
dalam pengertian kekuasaan konstitusional. Sementara kelompok kedua mengusung
istilah ‘masyarakat madani’ dan mengasimilasikannya dengan konsep ‘civil
society’. Tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan secara rinci perdebatan
tersebut. Melanjutkan pembahasan diatas tentang hubungan antara Negara dan
Agama, cukuplah kita berpegang pada kesepakatan istilah ‘Madinah’ (tanpa
penambahan istilah negara atau masyarakat) dan berupaya memahaminya.
Menurut Muhammad Arkoun, eksperimen Madinah itu telah menyajikan
kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian
wewenang (arti-nya, wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang
seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui
musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan
tidak pada ke-inginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen
tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud historis
terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang
termasyhur, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), yang di kalangan para
sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai "Konstitusi
Madinah." Piagam Madinah itu selengkapnya telah didokumentasikan oleh para
ahli sejarah Islam seperti Ibn Ishaq (wafat 152 H) dan Muhammad ibn Hisyam
(wafat 218 H).
Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma'ruf al-Dawalibi dari Universitas Islam
Interna-sional Paris "yang paling menakjubkan dari semuanya tentang
Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya
dalam sejarah, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah kenegaraan dan nilai-nilai
kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia."
Ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah
adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi,
melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat
berubah-ubah sejalan dengan kehendak pe-mimpin, melainkan oleh prinsip-prisip
yang dilembagakan dalam dokumen kesepakat-an dasar semua anggota masyarakat,
yaitu sebuah konstitusi.
Dalam teori
Ibn Taymiyyah, Muhammad s.a.w. menjalankan kekuasaan tidaklah atas dasar
legitimasi politik seorang "imam." seperti dalam pengertian kaum
Syi'ah (yang sangat banyak berarti "kepala negara"), melainkan
sebagai seorang Utusan Allah semata. Karena itu ketaatan kepada Nabi bukanlah
berdasarkan kekuasan politik de facto (syawkah), melainkan karena beliau berkedudukan
sebagai pengemban misi suci (risalah) untuk seluruh umat manusia, baik mereka
yang hidup di masa beliau atau pun yang hidup sesudah beliau, sepanjang zaman.
Nabi tidak menunjuk seorang peng-ganti atau menunjuk seseorang yang bukan
keluarga sendiri. Kenabian atau nubuw-wah telah berhenti dengan wafatnya
Rasulullah s.a.w. Oleh karena itu sumber otoritas dan kewenangan para khalifah
adalah berbeda sama sekali dari sumber otoritas Nabi. Abu Bakr,misalnya,
hanyalah seorang Khalifat al-Rasul (Pengganti Rasulullah) dalam hal melanjutkan
pelaksanaan ajaran yang ditinggalkan beliau, bukan menciptakan tambahan,
apalagi hal baru (bid'ah), terhadap ajaran itu. Ia tidak bertindak sebagai
manusia biasa. Istilah khalifah sendiri sebagai nama jabatan yang pertamakali
dipe-gang oleh Abu Bakr itu, adalah pemberian orang banyak (rakyat), tidak
secara lang-sung berasal dari Kitab ataupun Sunnah. Karena itu ia tidak
mengandung kesucian dalam dirinya, sebab ia hanya suatu kreasi sosial-budaya
saja.
Prinsip-prinsip
Islam diatas itu, yang oleh Bellah disebut sebagai "nasionalisme
partisipatif egaliter," dengan baik sekali dinyatakan oleh Abu Bakr dalam
pidato penerimaan diangkatnya sebagai khalifah. Pidato itu oleh banyak ahli
sejarah diang-gap suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama
sejenisnya dengan semangat "modern" (partisipatif-egaliter).
Manusia telah sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW beserta
para sahabatnya telah melakukan hijrah dari negeri tempat asal mereka. Mereka
mencari sebuat tempat baru bukan untuk mencari lapangan kerja atau mengundi
nasib. Bukan pulsa hijrah mereka itu karena takut atau diusir. Akan tetapi motivasi pertama dan utama
mereka adalah iqamatud-diin (menegakkan agama). Dalam sebuah hadith
disebutkan: “Aku bermimpi bahwasanya aku berhijrah dari Mekkah ke suatu tempat/
negeri yang banyak ditumbuhi kurma, maka dugaanku tertuju kepada Yamamah atau
Hajar, ternyata negeri itu adalah Yastrib.” [R.Bukhari&Muslim]
Kesimpulan
Walhasil, Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satu pun
perbuatan manusia, apalagi aspek kenegaraan yang sangat berpengaruh atas
masyarakat luas. Mengatakan Islam tidak punya konsep negara, sama saja
menganggap Islam tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan Islam tidak berarti
semua hukum-hukumnya sudah tersedia secara instan seperti ensiklopedi atau buku
pintar, sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Tidak demikian, sebab
terkadang Islam menjelaskan suatu perbuatan dengan nash Al Qur`an dan As
Sunnah, dan terkadang dengan menetapkan amaarah (tanda/isyarat) dalam Al
Qur`an dan As Sunnah yang menunjukkan suatu status hukum. Untuk yang kedua ini,
kaum muslimin tidak bisa hanya berpangku tangan, tetapi harus mengerahkan daya
pikir untuk berijtihad guna mengetahui hukum-hukumnya (Lihat Abdul
Qadim Zallum, idem, hal. 32-33).
Imam Al Qurthubi
berkata :
"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni,
kewajiban Khilafah) baik di antara umat maupun di antara para imam, kecuali
pendapat Al Asham --yang tuli (Arab: "asham"=tuli) terhadap
syari'at-- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya." (Lihat Imam Al
Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1, hal. 264)
Jelas, bahwa mendirikan negara Islam (Khilafah/Imamah) merupakan suatu
kewajiban yang telah disepakati ulama di segala jaman (lihat Ensiklopedi
Ijmak, Sa'di Abu Habieb, Terj. KH. A. Sahal Machfudz & H.A.
Musthofa Bisri, Kata Pengantar KH. Abdurrahman Wahid, Pustaka
Firdaus, hal. 312). Dan ini, merupakan
bukti pula betapa erat dan padunya hubungan agama dengan negara. Agama dan
negara tidak terpisahkan dalam Islam!
Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan bahwa agama dan
kekuasaan (baca:negara), adalah bagaikan saudara kembar, serta saling
membutuhkan satu sama lain. Jadi, keduanya tak terpisahkan. Beliau mengatakan :
"...Oleh
karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah bagaikan dua saudara
kembar. Dikatakan pula, bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, sedang segala
sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap." (Lihat Imam Al
Ghazali, Al Iqtishad fil I'tiqad, hal. 199)
Wallah al-Musta’an.
Jakarta 13/11/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar