Menerima Amanat ?
Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(QS Al-Insan: 3)
Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(QS Al-Insan: 3)
Allah swt menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah
kepada-Nya semata, khususnya kaum muslimin berkewajiban menerima rukun Islam
dan rukun Iman. Ibadah dalam arti yang luas memberikan banyak peluang untuk bermal sholeh sesuai dengan profesinya
masing-masing, yang penting atas dasar keikhlasan dan sesuai petunjuk
Rausulullah saw. Tugas hidup manusia dalam Islam hanyalah beribadah kepada
Allah swt sesuai dengan kadar keimanan dan kemampuannya untuk melaksanaka
amanat tersebut.
Amanat dalam Islam
sangat komplek, tidak hanya berhubungan dengan Allah swt saja tetapi juga
berhubungan dengan sesama, manusia dan lingkungan serta terhadap diri sendiri.
Modal utama untuk melaksanakan amanat dengan baik adalah beriman kepada Allah
swt dan mengikuti petunjuk nabi Muhammad saw.
Disamping itu, amanat harus diserahkan kepda yang berhak
menerimanya jika tidak akan mengakibatkan sesuatu yang tidak kehendaki. Juga
amanat yang berkaitan dengan diri sendiri sperti menyelamatkan diri dan
keluarga dari api neraka baru kemudian orang-orang yang terdekat dengan beramal
makruf –nahi mungkar sesuai dengan kemampuan masing-masing dapat dengan tenaga,
harta, tahta dan ilmu untuk mendapatkan ridha Allah swt.
Allah SWT
berfirman:
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br&
(#rxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr&
#sÎ)ur
OçFôJs3ym
tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
br&
(#qßJä3øtrB
ÉAôyèø9$$Î/
4
¨bÎ)
©!$#
$KÏèÏR
/ä3ÝàÏèt
ÿ¾ÏmÎ/
3
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$JèÏÿx
#ZÅÁt/
ÇÎÑÈ
Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan
yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(QS Al-Insan: 3)
Ayat ini menjelaskan bahwa amanat harus diberikan kepada orang
yang berhak menerimanya. Amanat pendidikan harus diserahkan kepada ahlinya
yaitu para pengajar sesuai dengan bidangnya, ekonomi kepada para pakar ekonomi,
keamanan kepada para pengaman aparatur Negara dan lain sebagainya. Jika tidak
demikian, maka amanat yang dipercayakan tidak akan berjalan lancar dan hasilnya
kurang baik.
Menurut
pakar tafsir Al-Zamakhsyari bahwa firman Allah swt tersebut ditujukan kepada khalayak
umum artinya setiap orang mempunyai amanat masing-masing. [1]
Sedangkan menurut ahli tafsir Ibnu Katsir:”Allah swt menyuruh
melaksanakan amanat-amanat bagi orang-orang yang berhak menerimanya, baik yang
berhubungan dengan hak-hak Allah ‘azza wa jalla bagi hamba-hamba-Nya seperti
shalat, zakat, shiyam, khafarat dan lain sebagainya, dan juga hak-hak hamba
kepada sesamanya seperti barang titipan dan lain sebagainya”[2]
Dari penjelasan kedua pakar tafsir tersebut setiap orang punya
amanat yang harus dilaksanak dengan sebaik-baiknya, baik amanat yang
berhubungan dengan Allah swt atau kepada sesamanya. Jika amanat dilaksanakan
dengan baik dan benar maka Allah swt memberi balasan dengan sebaik-baik balasan
sesuai dengan janji-Nya. Apapun amanatnya jika dilakukan sesuai dengan petunjuk
agama maka akan mempunyai nilai ibadah dalam arti yang luas.
Allah SWT berfirman:
tûïÏ%©!$#ur
öLèe
öNÍkÉJ»oY»tBL{
ôMÏdÏôgtãur
tbqããºu
ÇÌËÈ
Artinya: dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S.
Al-Ma’arij: 32)
Ayat ini menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan bahwa
orang-orang yang melaksanakan amanat yang diemban, mereka memelihara dan
menjaga janjinya, jika mereka dipercaya mereka tidak berkhianat dan apabila
mereka berjanji mereka tidak melanggarnya.[3]
Amanat yang diemban dan dilaksanakan dengan baik maka pelakunya
mendapat pahala dan jika dilanggar maka ia berdosa. Pahala dan dosa bagi
pelakunya sebagai bentuk kebijakan dan keadilan Allah swt. Sebagaimana firman
Allah SWT:
ô`¨B
@ÏHxå
$[sÎ=»|¹
¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù
(
ô`tBur
uä!$yr&
$ygøn=yèsù
3
$tBur
y7/u
5O»¯=sàÎ/
ÏÎ7yèù=Ïj9
ÇÍÏÈ
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang sholeh maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri.
Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya. (Q.S. Fushshilat:
46)
Mengerjakan amal sholeh maka pahalanya untuk dirinya sendiri,
maksudnya manfaat amal tersebut kembali kepadanya demikian juga, perbuatan
jahat akan menimpa kepada dirinya sendiri dan Allah swt sekali-kali tidak akan
menyiksa seseorang melainkan sesuai dengan kadar dosanya dan Dia tidak akan
mengazab seseorang kecuali telah diutus seorang Rasul kepadanya.[4]
Amal sholeh yang dikerjakan oleh seseorang seperti memberikan bantuan
kepada orang lain maka balasan Tuhan berupa pahala akan kembali mannfaatnya
kepadanya, demikian juga perbuatan yang buruk maka siksanya akan menimpa kepada
yang melakukannya setimpal dengan perbuatannya, Allah swt menerima amal sholeh
seseorang manakala ia melakukannya dengan ikhlas karena Allah swt dan cara
pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.
Bisa jadi orang yang dermawan dengan harta, ilmu atau dengan
jabatan digunakan dijalan Allah swt seperti membantu kesulitan orang lain,
membantu untuk pembangunan masjid, pengembangan pesantren, pantai asuhan,
memberikan beasiswa dan lain sebagainya dimata masyarakat dia orang baik karena
perilakunya diatas, Namun belum tentu amal sholeh diatas diterima oleh Allah
karena persyaratan diterimanya suatu amalan adalah sangat tergantung dengan
niat seseorang. Syarat yang harus dipenuhi baginya ialah niat tulus ikhlas,
harta yang halal dan sesuai syari’at Islam, Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Allah SWT berfirman:
(
`yJsù
tb%x.
(#qã_öt
uä!$s)Ï9
¾ÏmÎn/u
ö@yJ÷èuù=sù
WxuKtã
$[sÎ=»|¹
wur
õ8Îô³ç
Íoy$t7ÏèÎ/
ÿ¾ÏmÎn/u
#Jtnr&
ÇÊÊÉÈ
Artinya:
…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang sholeh dan janganlah ia menyekutukan seorangpun dalam beribadat
dengan Tuhannya? (Q.S. Al-Kahfi: 110)
Menurut ibnu Katsir tentang ayat ini,”Barangsiapa mengharap pahala
Allah swt dan balasan amal sholeh harus sesuai dengan syari’at-Nya karena Allah
semata tidak ada sekutu bagi-Nya, dua rukun
( sesuai syari’at dan ikhlas) inilah suatu amal diterima. Tidak boleh
tidak amal itu harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan
syar’at Rasulullah saw.[5]
Amal yang sholeh, berbuat kebajikan terus menerus sebagaimana
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal sholeh; Tidak menyekutukan
Allah baik terang-terangan (jalli)
seperti orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Allah ataupun secara
tersembunyi (khafi) seperti orang-orang yang berbuat amal kebajikan dengan
pamer(riya’).[6]
Maksud ayat diatas bahwa siapa saja yang ingin memperoleh pahala
dengan berbuat kebajikan dan merasa takut siksa-Nya Allah swt dengan
menghindari perbuatan yang tercela di dunia ini maka hendaknya ia tidak
melakukannya dengan pamer dan tidak menyekutukan Allah swt Yang Maha Kuasa lagi
Maha Kaya dengan menjadikan tandingan seperti hamba-hamba-Nya yang dikeramatkan
dan dikultuskan oleh orang-orang yang salah akidahnya.
Allah SWT berfirman:
$pkr'¯»t
z`Ï%©!$#
(#qãZtB#uä
w
(#qçRqèrB
©!$#
tAqߧ9$#ur
(#þqçRqèrBur
öNä3ÏG»oY»tBr&
öNçFRr&ur
tbqßJn=÷ès?
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (Q.S. Al-Anfal: 27)
Firman Allah swt diatas dijelaskan oleh Ibnu Abbas:”Mengkhianati
Allah dengan meninggalkan apa-apa yang diwajibkan oleh-Nya, sedangkan
mengkhianati Rasulullah saw dengan
meninggalkan sunnah-sunnah-nya dan bermaksiat kepadanya dan amanat-amanat yang
dimaksud adalah amalan-amalan yang diamanatkan oleh Allah kepada para hamba”.[7]
Maksudnya janganlah kamu mengkhianati agamamu dan rasulmu dengan
berbuat syirik kepada Allah swt, menjadikan tandingan kepada-Nya seperti
berhala-berhala atau manusia yang dikultuskan dan membuat perkara yang baru
dalam beragama atau bid’ah yang buruk.
Sebenarnya manusia itu sangat mengetahui apa yang harus dikerjakan
dan apa yang harus ditinggalkan sebagaimana potensi yang di milikinya.
Kebajikan yang dikerjakan berarti mereka melaksanakan amanat dan jika kejahatan
yang dilakukan maka mereka mengkhiantai Allah swt dan Rasul-Nya.
Manusia yang menerima amanat yang diberikan Allah swt juga manusia
sendiri yang mengkhianatinya berarti manusia tersebut tergolong orang-orang
yang amat zhalim dan sangat bodoh.
. Allah SWT berfirman:
$¯RÎ)
$oYôÊttã
sptR$tBF{$#
n?tã
ÏNºuq»uK¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
ÉA$t6Éfø9$#ur
ú÷üt/r'sù
br&
$pks]ù=ÏJøts
z`ø)xÿô©r&ur
$pk÷]ÏB
$ygn=uHxqur
ß`»|¡RM}$#
(
¼çm¯RÎ)
tb%x.
$YBqè=sß
Zwqßgy_
ÇÐËÈ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khuwatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh. (Q.S. Al-Ahzab: 72)
Ali bin Abi Thalib dalam firman ini berkata:”Amanat (al-amanat)
adalah kewajiban-kewajiban (keagamaan) yang dibebankan kepada langit dan bumi,
gunung jika kalian melaksanakannya
mendapat pahala dan jika melanggar memperoleh azab lalu mereka enggan
menerimanya dan mereka khuwatir mengkhianatinya
dengan maksiat sebagai kehormatan atas agama Allah yang diperkiraan tidak mampu menjalaninya
lalu Allah swt mengamanatkan kepada Adam as dan ia menerimanya”.[8]
Amanat yang dimaksud firman diatas adalah kewajiban-kewajiban yang
difardhukan oleh Allah swt kepada –hamba-hamba-Nya[9]
Para pakar tafsir berbeda pendapat apa yang dimaksud amanat dalam
firman diatas, ahli tafsir al-Wahidi berkomentar bahwa makna amanat yang
dimaksud menurut kebanyakan mufassir adalah ath-Tha’at (kepatuhan) dan apa-apa
yang fardhu yang berkaitan dengan pahala bagi pelakunya dan siksa bagi yang
melanggarnya. Al-Qurthubi berkata:”Amanat mencakup keumuman dan yang berkaitan
dengan agama, ini pendapat yang shahih sebagaimana pendapat jumhur ulama”.[10]
Demikianlah amanat-amanat yang diberikan kepada manusia baik
berkaitan dengan Allah swt dan Rasul-Nya, kepada dirinya dan keluarganya dan
kepada sesama manusia dan lingkungannya. Semua amanat tersebut akan diminta
pertanggung jawaban di hari pembalasan nanti, yang melaksanakannya dengan baik
dibalas dengan pahala sedangkan yang mengkhianatinya dibalas dengan siksa
setimpal dengan perbuatannya.
Nabi Muhammad saw bersabda:
u&~Q< oQ dpÒBi p Pã< kbfbY
Artinya:…Maka
setiap kamu adalah pemimpin dan kepemimpinanmu akan diminta pertang jawaban,
(HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, Dawud dan Tirmidzi dari ibnu Umar)
Manusia yang menerima amanat Allah swt dan rasul-Nya dengan ikhlas
dan sabar sesuai dengan keahlian masing-masing misalnya mengamalkan ilmu dengan
mendidik, harta dengan menolong kebutuhan orang lain, jabatan dengan kebijakan
dan keadilan sehingga masyarakat sejahtera lahir-batin atau dengan tenaga dan
do’a maka mereka mulia di sisi-Nya serta mereka tergolong orang-orang yang
terbaik, baik kaya ataupun miskin harta.
Nabi Muhammad saw bersabda :
@änfe ktRZmã @äneã R5
Artinya:
Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang berguna bagi orang lain. (HR.
Al-Qadhai dari Jabir)
Hadis tersebut diatas banyak memberikan peluang untuk berlomba
dalam kebaikan dan takwa bagi orang-orang yang beriman baik yang kaya ataupun
yang miskin harta, berilmu maupun yang sedikit pengetahuan, yang sehat ataupun
yang sakit jasmani, yang berjabat tinggi maupun rakyat jelata.
Dengan nikmat sehat, bisa dugunakan untuk keras bekerja dan rijin
beribadah, baik hubungan dengan Tuhan dan peduli juga dengan sesama; harta
digunakan untuk menyelamatkan diri dan keluarga serta orang lain di jalan Allah
swt; jabatan digunakan untuk mensejahterakan dan menegakkan keadilan bagi
keluarga dan orang lain sesuai dengan agama yang dianut dan undang-undang yang
berlaku; ilmu agama dan pengetahuan umum dimanfaatkan untuk menuju jalan yang
benar dan bertakwa kepada Allah swt. Jika demikian, maka mereka menjadi
hamba-hamba-Nya yang paling mulia dintara manusia.
Allah SWT berfirman:
4
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4
¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(qs.
Al-Hujrat: 13)
By Abi Umar (9/12/11/2014)
[1] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwat
at-Tafasir,.juz 1. hal.284
[2] Ibid. juz 1 hal. 284
[3] Ibid. juz 4 hal. 446
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-Azhim, juz 4. hal.103
[5] Ibid. juz 3. hal. 108
[6] Muhammad An-Nawawi, Murah
Labib Tafsir An-Nawawi, jilid awal.hal. 510
[7] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwat
at-Tafasiri, juz 1. hal. 501
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-Azhim,. jilid3.hal. 522
[9] Muhammad An-Nawawi, Murah
Labib Tafsir An-Nawawi, jilid 2hal. 190
Tidak ada komentar:
Posting Komentar