Melihat dirinya serba cukup ?
Allah SWT
berfirman:
Hxx. ¨bÎ) z`»|¡SM}$# #ÓxöôÜus9 ÇÏÈ br& çn#uä§ #Óo_øótGó$# ÇÐÈ
Artinya: Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.
Karena dia melihat dirinya serba cukup. (Q.S. Al-‘Alaq: 6-7)
Dengan ayat ini
Muqatil berkata:”bahwa Abu Jahal jika memperoleh harta maka dia menambah
pakian, kendaraan, makanan dan minuman sehingga melampaui batas.”[1]
Ibnu Abbas
berkata:”Abu Jahl berkata:”Jika aku melihat Rasulullah saw shalat di sisi
ka’bah akau pasti akan mendatanginya sehingga aku injak lehernya”. Maka
Rasulullah saw bersabda:”Kalau ia
melakukannya pasti malaikat akan menyambarnya dengan terang-terangan”.[2]
Sebelum ayat
tersebut diatas Allah swt menerangkan tentang kejadian manusia yang berasal
dari segumpal darah, lalu menyuruh untuk membaca dan Dia pula-lah yang
mengajarkan manusia apa-apa yang belum diketahui. Baru kemudian Allah swt
mencela kepada kesombongan manusia karena dia melampaui batas dengan berbuat
dosa dan merasa serba cukup dan pintar.
Sungguh
diriwayatkan dan dimarfu’kan kepada Nabi saw:”Dua keinginan manusia yang tidak
pernah merasa kenyang yaitu penuntut ilmu dan pencari dunia.”[3]
Menuntut ilmu
dalam Islam tidak terlarang bahkan diperintahkan, Dengan ilmu semestinya
seseorang bijak dan bertambah terpuji perbuatannya. Karena ilmu adalah penerang
bagi orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat-nikmat Allah swt, jalan ke surga
atau jalan ke neraka, halal atau haram hukumnya jelas. Demikian juga, dunia
adalah tempat kita sementara, diserahkan sepenuhnya untuk mengelolah,
memelihara dan mengambil manfaat darinya, bisa untuk bekal menuju akhirat
mnanti.
Muhammad Baqi rash-Shadr
menilai ayat diatas sebagai menguraikan salah satu hukum sejarah dan
kemasyarakatan, yakni tentang pengaruh hubungan manusia dengan alam terhadap
hubungan dengan sesame manusia, bahwa:”Sejalan dengan berkembangnya kemampuan
manusia mengelola alam dan bertambahnya kekayaan serta penguasaannya terhadap
alat-alat produksi, bertambah dan berkembang pula potensinya(manusia) dalam
bentuk keinginan dan godaan untuk berlaku sewenang-wenang atau mengeksploitir
sesamanya.”[4].
Memang manusia
yang tidak tahu terima kasih kepada Tuhan tentu akan mengabaikan
perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya. Mengapa orang-orang yang
merasa dirinya serba cukup dengan ilmu,harta dan tahta tidak mau tunduk kepada
Allah swt? Bukankah mereka datang dari-Nya dan mau kembali kelak di hari kiamat
kepada-Nya? Padahal pada suatu saat manusia pasti mendapat cobaan atau ujian
dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Siksa, cobaan atau
ujian Allah swt yang ditimpahkan kepada manusia pasti mengandung hikmah, sebab
Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Siksa bagi orang-orang kafir, cobaan
bagi orang-orang yang berbuat kesalahan agar mau kembali kepada jalan yang
benar dan ujian buat orang-orang yang beriman agar diketahui kadar kesabaran
dan kebenaran keimanannya dan Allah swt siapkan pahala bagi hamba-hamba-Nya
yang lulus menjalani hukum-hukum-Nya baik perintah maupun larangan-Nya.Rasululullah
saw bersabda yang artinya:” Barangsiapa
dikehendaki Allah kebaikan ia pasti diuji.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Allah SWT
berfirman:
3 ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2 Zw$tFøèC #·qãsù ÇÌÏÈ tûïÏ%©!$# tbqè=yö7t tbrâßDù'tur Z$¨Y9$# È@÷ç7ø9$$Î/ cqßJçFò6tur !$tB ãNßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 $tRôtFôãr&ur tûïÌÏÿ»x6ù=Ï9 $\/#xtã $YYÎgB ÇÌÐÈ
Artinya: …Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri..(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang
lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya
kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan. (Q.S. An-Nisa’: 36-37)
Misalnya ilmu,
yang mana dengan ilmu tersebut orang yang tersesat akan mendapat hidayah dan
orang yang jahil terbimbing. Akan tetapi mereka justru menyembunyikannya.
Bahkan menampakkan kebatilan sehingga menglangi orang lain dari al-haq (Islam).
Orang seperti itu berarti menghimpun kekikiran dalam hal harta, ilmu dan upaya
merugikan diri sendiri dan orang lain.[5]
Orang-orang
sombong dan angkuh tidak disukai Allah swt juga sebagian manusia karena bukan
saja tidak mau berbuat baik kepada sesama manusia, tetapi juga mengajak orang
lain bersikap kikir. Disamping itu, mereka sering berusaha menyembunyikan apa
yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka dari rahmat-Nya karena takut
kalau-kalau orang-orang di masyarakat mengharapkan sesuatu dari mereka.
Barangkali
kunci dari rahasia disebutkannya frase”orang-orang kafir” dalam ayat ini adalah
bahwa sikap kikir sering kali berasal dari kekafiran karena sesungguhnya
orang-orang kikir itu tidak memiliki iman yang penuh terhadap anugerah
Allah yang tak ada akhirnya kepada
orang-orang yang berbuat baik. Jadi, ketika ayat ini mengatakan bahwa hukuman
mereka adalah” siksa yang menghinakan,” itu adalah karena alas an agar mereka
bisa melihat balasan bagi”kesombongan”dan”pengagungan diri melalui cara ini.[6]
Oleh karena
itu, sikap serba cukup seseorang mungkin karena ilmu, harta, tahta atau
keturunan akan berakibat fatal di kemudian hari pembalasan harus dijauhi
sejauh-jauhnya bagi setiap orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah swt
dan hari pembalasan.
Manusia harus
saling menolong dalam kebaikan dan membantu kepada orang lain sesuai dengan
kemampuannya bisa dengan tenaga, ilmu, harta, jabatan demi meraih ridha Allah
swt. Raihlah karunia Allah swt dengan saling menyayang diantara manusia.
Rasulullah saw. Bersabda:
êã k1=} T @äneãk1=} T oi
Artinya: Barangsiapa tidak menyayangi manusia maka Allah tidak
menyayanginya. (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)
Allah SWT berfirman:
úïÏ%©!$# tbqä9Ï»pgä þÎû ÏM»t#uä «!$# ÎötóÎ/ ?`»sÜù=ß öNßg9s?r& ( uã92 $¹Gø)tB yZÏã «!$# yZÏãur tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä 4 Ï9ºxx. ßìt7ôÜt ª!$# 4n?tã Èe@à2 É=ù=s% 9Éi9s3tFãB 9$¬6y_ ÇÌÎÈ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang memperdebat kan ayat-ayat Allah tanpa
alas an yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi
Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati
hati orang-orang yang sombong dan sewenang-wenang. (Q.S. Al-Mukmin: 35)
Allah swt
mengunci mati hati orang-orang yang sombong, Firman tersebut menurut ibnu
Katsir adalah orang-orang yang tidak tunduk akan kebenaran. Dan riwayat ibnu
Hatim mengatakan bahwa manusia tidak akan sewenang-wenang sehingga mereka bunuh
diri. Sedang menurut Abu Imran al-Jauni dan Qatadah:”Tanda sewenang-wenangnya
adalah pembunuhan yang tidak dibenarkan.”[7]
Hati orang yang
sombong dan sewenang-wenang telah dikunci oleh Allah swt maksudnya hati mereka
tidak beriman dan tidak menerima kebenaran yang datang dari-Nya.[8]
Ayat diatas
memberikan ancaman bagi orang-orang yang sombong dan sewenang-wenang dengan
dikuncinya hati mereka sehingga matanya tidak bisa melihat kekuasaan Allah,
telinganya tidak bisa mendengarkan kebenaran dan hatinya buta terhadap kebaikan
Allah swt. Pantas mereka tidak pernah bisa berbuat kebaikan kepada dirinya dan
kepada orang lain dan bahkan mereka selalu berbuat dosa dan dosa. Maka daripada
itu, mestinya mereka bertaubat memohon ampunan Allah swt dan kembali kejalan
yang lurus yaitu Islam.
Allah swt
memberikan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang menyombongkan dirinya
dengan ilmu atau jabatan atau harta dengan buta hati, meskipun punya mata,
telinga dan mulut sama saja tidak berguna untuk menangkap petunjuk-Nya yang
tersurat dalam Al-Qur’an maupun tanda-tanda kebesaran-Nya di bumi ini dengan
mengunci mati hati mereka.
“…,Sehingga
hatinya tidak bisa berfikir tentang
petunjuk, tidak dapat menerima kebenaran, hati yang sombong lagi
sewenang-wenang merupakam sentral dan pusat segalanya, pengausa anggota tubuh
manusia, baik dan buruknya seseorang.”[9]
Bersambung...By Abi
Umar (5/7/11/2014)
[1] Muhammad asy-Syaukani, Fath
al-Qadir. hal. 1922
[2] Muqbil bin Hadi al-Wadi’I,Shahih
Asbabun Nuzul, (Jakarta:As-Sunnah, 2007),hal.498
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-Azhim, juz 4.hal. 528
[4]M.Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah, hal. 404
[5] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Ringkasan Tafsir As-Sa’di, Kemudahan Memahami Ayat-ayat Alqur’an,(Tegal:
An-Nusrah, 2004),hal. 111
[6] Kamal Faqih Imani, Tafsir
Nurul Qur’an, jilid 4.hal.36
[7] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-Azhim. juz 4.hal.79
[8] Muhammad An-Nawawi, Murah
Labib Tafsir An-Nawawi.jilid 2.hal. 251
[9] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwat
at-Tafasir, jilid 3.hal. 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar