Sabtu, 30 November 2013

ULUMUL QUR'AN




KAIDAH MEMAHAMI AL-QUR’AN
Muqaddimah
Syaikh Muhammad 'Abduh menegaskan --sebagaimana ditulis oleh muridnya, Rasyid Ridha-- dalam Muqaddimah Tafsir Al-Manar: "Saya tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat menafsirkan firman Allah SWT, yang berbunyi 'Kana al-nas ummah wahidah' (QS 2:213), kalau dia tidak mengetahui keadaan umat manusia dan sejarahnya (sejarah dan sosiologi)." Tentunya pernyataan ini berlaku pula dalam hubungannya dengan ayat yang berbicara tentang astronomi, embriologi, ekonomi, dan sebagainya.
Begitu juga dengan pembuktian tentang mukjizat Al-Quran. Dalam hal ini, sungguh tepat penegasan Malik bin Nabi, pemikir Muslim kontemporer asal Aljazair itu, bahwa "Tidak seorang Muslim pun dewasa ini --lebih-lebih yang bukan dari negara-negara berbahasa Arab-- yang dapat memahami kemukjizatan Al-Quran dengan membandingkan satu ayat dengan sepenggal kalimat berbentuk prosa atau puisi pra-Islam."
Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Rujukan Memahami Nash
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan].
Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
  • Menafsirkan Alquran dengan Alquran
  • Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
  • Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat
  • Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in
  • Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:
  • Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
  • Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
  • Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
  • Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
  • Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).
·          
·          
·         Merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang ingin mempelajari suatu ilmu adalah mengetahui dan memahami pondasi atau pokok ilmu tersebut secara global, dan mengetahui keistimewaannya secara khusus. Hal ini bertujuan supaya seorang penuntut ilmu mempunyai gambaran yang jelas dengan ilmu yang akan dipelajarinya. Begitu juga bagi seorang mufassir yang akan mendalami tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, oleh karenanya sangat mustahil jika seorang mufassir ingin menafsirkan atau mendalami Al-Qur’an tanpa mengetahui bahasa Arab secara mendalam, sebagaimana firman Allah SWT :
·         إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
·         Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (QS. Yusuf: 5)
·         Maka, diantara kaidah-kaidah yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah memahami kaidah bahasa Arab dan pokok-pokoknya, mendalami gaya bahasa dan rahasia-rahasianya, dan kaidah-kaidah lainnya. Akan tetapi disini akan dibahas beberapa kaidah pokok yang paling penting, yaitu :
·         1. Dhomir (Kata Ganti)
·         Dhomir ini merupakan suatu kaidah bahasa Arab yang disimpulkan oleh para ulama’, baik dari Al-Qur’an, Hadits Nabawi, Atau dari perkataan orang Arab. Dalam hal ini Ibnul Anbari telah menyusun buku tentang penjelasan dhomir yang ada pada Al-Qur’an sebanyak dua jilid.
·         Tujuan yang sebenarnya adanya diletakkannya dhomir adalah untuk mempersingkat lafadz, sehingga tidak membutuhkan lafadz-lafadz yang panjang. Contohnya firman Allah dalam ayat:
·         أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
·         Ayat tersebut merupakan ringkasan dari dua puluh kata yang terkandung di dalamnya, jika saja ayat tersebut diletakkan secara asli maka akan sangat panjang, karena ayat tersebut ringkasan dari ayat :
·         إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
·         Asal dari dhomir sebenarnya diperuntukkan bagi dhomir ghoib (kata ganti ke tiga), sehingga asal dhomir itu diletakkan setelah dijelaskan kata kembali dari dhomir tersebut agar diketahui maksud dari dhomir sebelum disebutkan dhomir itu sendiri. Maka dari itu, tempat kembali dari dhomir ada beberapa karakter, yaitu :
·         1. Tempat kembali dhomir dilafadzkan terlebih dahulu sebelum dhomir dan sesuai/cocok dengannya. Dan kebanyakan dhomir dalam Al-Qur’an seperti ini, contoh:
·         وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ
·         2. Tempat kembali dhomir dilafadzkan terlebih dahulu sebelum dhomir dan tercakup di dalamnya, contoh:
·         وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
·         Dhomir هو kembali kepada العدل yang tercakup dalam lafadz إعدلوا .
·         3. Dhomir menunjukkan pada tempat kembali karena Iltizam (keharusan), contoh:
·         فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
·         Dhomir di atas kembali pada العافى yang harus atau memang melakukan عفى .
·         4. Terkadang tempat kembali Dhomir berada setelah dhomir secara lafadz tapi tidak berurutan, contoh:

·         فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى
·         5. Atau terletak setelah dhomir dan berurutan, contoh:
·         قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ , فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ , بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا , سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ
·         6. Atau terletak di akhir dan menunjukkan kata ganti tersebut, contoh:
·         فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ
·         7. Atau dapat diketahui dari gaya bahasa, contoh:
·         كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
·         8. Terkadang juga dhomir itu menunjukkan pada suatu kalimat berupa lafadz saja tanpa makna, contoh:
·         وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ
·         9. Atau hanya maknanya saja, contoh:
·         وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
·         10. Terkadang juga dhomir terlebih dahulu, kemudian baru diletakkan hal yang menafsirkannya, contoh
·         إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا
·         11. Atau tempat kembali dhomir tersebut disebutkan dua, akan tetapi hanya kembali pada salah satunya, contoh:
·         يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ
·         12. Terkadang juga dhomir memperhatikan yang pertama secara lafadz dan yang kedua secara makna, contoh:
·         وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
·         2. Ta’rif dan Tankir (Ma’rifah dan Nakiroh)
·         Tankir pada Al-Qur’an terletak pada beberapa tempat, diantaranya yaitu:
·         · Nakiroh yang dimaksudkan untuk satu, contoh: QS. Al-Qoshosh: 29
·         · Nakiroh yang dimaksudkan untuk macam atau jenis, contoh: QS. Al-Baqarah: 96
·         · Nakiroh yang dimaksudkan untuk pengagungan, contoh: QS. Al-Baqarah: 279
·         · Menunjukkan banyak, contoh: QS. As-Syu’ara’: 42
·         · Menunjukkan pengagungan dan banyak, contoh: QS. Fathir: 4
·         · Kehinaan, contoh: QS. Abasa: 18
·         · Sedikit, contoh: QS. At-Taubah: 72
·         Sedangkan Ta’rif pada Al-Qur’an terletak pada beberapa tempat, diantaranya yaitu:
·         · Menggiring pendengar pada suatu nama yang khusus dan jelas, diantaranya untuk pengagungan, contoh: QS. Al-Fath: 29
·         · Sebagai penghinaan, contoh: QS. Al-Lahab: 1
·         · Sebagai penjelas keadaannya yang dekat, contoh: QS. Luqman: 11
·         · Sebagai penjelas keadannya yang jauh, contoh: QS. Al-Baqarah: 5
·         · Penghinaan yang dekat, contoh: QS. Al-Ankabut: 64
·         · Bentuk pengagunan jauh, contoh: QS. Al-Baqarah: 2
·         · Penjelasan tentang ma’rifah dengan hal-hal yang berkaitan setelahnya, contoh: QS. Al-Baqarah: 2-5
·         · Dengan Isim Maushul untuk mengindari penyebutan lafadz aslinya, contoh: QS. Al-Ahqof: 17
·         · Untuk menunjukkan keumuman, contoh: QS. Al-Ankabut: 69
·         · Untuk menyingkat kata, contoh: QS. Al-Ahzab: 69
·         · Atau dengan menggunakan ‘alif lam’ sebagai isyarat kejelasan suatu yang disebutkan, contoh: QS. An-Nuur: 35
·         · Yang dapat diketahui dengan akal, contoh: QS. Al-Fath: 18
·         · Yang dapat diketahui yang ada pada saat itu, contoh: QS. Al-Maidah: 3
·         · Mencakup jumlah banyak dari sesuatu, contoh: QS. Al-‘Ashr: 2
·         · Mencakup kekhususan sesuatu, contoh: QS. Al-Baqarah: 2
·         · Sebagai pemberitahuan dari hakikat sesuatu, contoh: QS. Al-Anbiya’: 30
·         Jika suatu isim disebutkan dua kali dalam satu kalimat, maka ada empat keadaan:
·         Ø Jika keduanya adalah isim ma’rifah, maka yang kedua sama maksudnya dengan yang pertama, contoh: QS. Al-Fatihah: 6, 7
·         Ø Jika keduanya adalah isim nakiroh, maka biasanya yang pertama dibedakan dari yang kedua, contoh: QS. Ar-Ruum: 54
·         Ø Jika kedua keadaan di atas ada pada satu kalimat, contoh: QS. Al-Insyiroh: 5, 6
·         Ø Jika yang pertama nakiroh dan yang kedua ma’rifah, maka kebanyakan yang kedua lebih diprioritaskan kembali kepada suatu yang sudah maklum, contoh: QS. Al-Muzzammil: 5, 6
·          
·         Ø Jika yang pertama ma’rifah dan yang kedua nakiroh, maka maksudnya akan dibawa kepada suatu yang menunjukkannya, yang terkadang menunjukkan perbedaan, contoh: QS. Ar-Ruum: 55, atau menunjukkan suatu kesatuan, contoh: QS. Az-Zumar : 27, 28
·         3. Ifrod dan Jama’ (Kata tunggal dan Majemuk)
·         Sebagian lafadz dalam Al-Qur’an, kata tunggalnya bermakna khusus, dan kata majemuknya sebagai isyarat pada suatu yang jelas, atau kata majemuk diisyaratkan sebagai tunggalnya, atau sebaliknya. Maka pendapat syaikh Manna’ Qathaan bahwa:
·         · Ada sebagian lafadz dalam Al-Qur’an yang hanya tertulis dengan bentuk jamak, dan jika dibutuhkan maka akan diletakkan dengan sighoh mufrod, contoh: QS. Az-Zumar: 21 اللبالالباب , dan jika dalam bentuk mufrad, maka diletakkan ditempat lain( القلب ) , contoh: QS. Qof: 37 .
·         · Atau sebaliknya, hanya tertulis dalam bentuk mufrod, contoh: QS. At-Tholaq: 12 = ارضين , QS. Al-Hasyr: 1 = السماء, dalam Hadits Nabi = الريح,
·         · Atau ifrod suatu kata, lalu di ikuti kata sejenisnya yang jamak, contoh: QS. Al-Baqarah: 257 = سبيل الحق dengan سبل الباطل, dan ولي المؤمنين dengan أولياء الكافرين.
·         · Atau satu kata yang terdapat dalam bentuk tunggal, dua, dan jamak, contoh tunggal: QS. Al-Muzammil: 9, contoh dua: QS. Ar-Rohman: 17, contoh jamak: QS. Al-Ma’arij: 40
·          
·         4. Membagikan Jamak dengan Jamak, atau dengan Mufrod.

·         Ø Terkadang, pembagian jamak dengan jamak bermaksud untuk membagikan kepada setiap satuan dari jamak tersebut, contoh:

·         وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ

·         Maksudnya adalah setiap ibu menyusui masing-masing anaknya.

·         Ø Terkadang bermaksud membagikan yang jamak, kepada masing-masing dari objek suatu hukum, contoh:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً

·         Maksudnya adalah setiap pelaku zina dikenakan hukum cambuk sebanyak 80 kali.
·         Ø Sedangkan pembagian jamak kepada mufrod kebanyakan tidak dimaksudkan untuk keumumannya, tapi terkadang juga dimaksudkan untuk keumumannya. Contoh:
·         وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
·         Maksudnya yaitu, kepada setiap yang tidak mampu puasa, meberikan setiap harinya satu orang miskin
·         5. Kata-kata yang dikira sinonim tapi bukan sinonim.
·         Ø Antara الخوف dan الخشية
·         Ø Antara الشخ dan البخل
·         Ø Antara السبيل dan الطريق
·         Ø Antara مد atau امد
·         Ø Antara الرحمة dan الرؤفة
·         6. Pertanyaan dan Jawaban
·         Pada dasarnya suatu jawabana harus sesuai dengan pertanyaan, akan tetapi dalam Al-Qur’an terkadang jawaban agak menyimpang dari pertanyaan, akan tetapi pada hakikatnya tidak.
·         7. Pertanyaan dan jawaban.
·         8. Jumlah isim dan jumlah fi'liyah.
·         9. Athaf.
·         10. Perbedaan antara al ilata dengan al I'lata.
·         11. Lafadz fa'ala.
·         12. Lafadz kana.
·         13. Lafadz kada.
·         14. Lafadz ja'ala.
·         15. Lafadz la'alla dan 'Asa.
·         Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna' Al-Qaththan, Mabaahits fie 'Uluumil Qur'aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 240 - 262.

Pokok Bahasan Tafsir

Kalau kita menoleh kepada materi Ilmu Tafsir atau 'Ulum Al-Qur'an sebagaimana dipaparkan oleh Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan, maka akan ditemukan 47 pokok bahasan, tidak termasuk di dalamnya materi tafsir dan pengenalan terhadap kitab-kitab tafsir, yang sebagian uraian tentangnya, sebagaimana diakui oleh Al-Zarkasyi sendiri, belum memadai.
Hemat penulis, secara garis besar, terdapat sekian banyak pokok bahasan tafsir yang harus diketahui oleh seluruh mahasiswa IAIN, apa pun nama komponen matakuliahnya. Pokok bahasan itu antara lain:

1. Pengenalan terhadap Al-Quran

Pokok bahasan ini hendaknya mencakup: (a) persoalan wahyu, pembuktian adanya serta macam-macamnya; (b) Al-Quran dan kedudukannya dalam syariat (agama) Islam; (c) garis-garis besar kandungannya (dengan penekanan bahwa Al-Quran tidak mencakup seluruh persoalan ilmu maupun agama); (d) Al-Quran sebagai petunjuk dan mukjizat; (e) otentisitas Al-Quran (tinjauan historis); (f) batas-batas keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam Al-Quran; dan (g) sistematika perurutan ayat dan surat-suratnya.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengenal Al-Quran secara sederhana tetapi utuh.

2. Pengenalan terhadap Beberapa Pokok Bahasan Ilmu Tafsir

Pokok bahasan ini mencakup: (a) arti tafsir dan ta'wil; (b) tafsir, sejarah dan kepentingannya; (c) asbab al-nuzul; (d) al-munasabat (korelasi antar ayat); (e) al-muhkam dan al-mutasyabih; (f) sebab-sebab kekeliruan dalam menafsirkan Al-Quran; (g) corak dan aliran-aliran tafsir yang populer; dan (h) sebab-sebab perbedaan corak penafsiran.
Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengetahui, secara umum, permasalahan tafsir, kesukaran dan kemudahannya, serta syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi pengajaran hendaknya lebih ditekankan pada cakupan materi tersebut pada kunci-kunci yang dapat mengantarkannya secara mandiri untuk memahami kandungan Al-Quran. Atas dasar pertimbangan tersebut, dapat kiranya dikemukakan di sini beberapa pokok bahasan yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang dimaksud. Materi-materi yang disebutkan berikut dapat dibagi sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.

Materi 'Ulum Al-Quran

Materi-materi 'ulum Al-Qur'an dapat dibagi dalam empat komponen: (1) pengenalan terhadap Al-Quran; (2) kaidah-kaidah tafsir; (3) metode-metode tafsir; dan (4) kitab-kitab tafsir dan para mufasir.

Pengenalan terhadap Al-Quran

Komponen ini mencakup, (a) sejarah Al-Quran, (b) rasm Al-Quran, (c) i'jaz Al-Quran, (d) munasabat Al-Quran, (e) qishash Al-Quran, (f) jadal Al-Quran, (g) aqsam Al-Quran, (h) amtsal Al-Quran, (i) naskh dan mansukh, (j) muhkam dan mutasyabih, dan (k) al-qira'ah.

Kaidah-kaidah Tafsir

Komponen ini mencakup: (a) ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran, (b) sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, dan (c) patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran. Sebagai contoh dapat dikemukakan kaidah-kaidah berikut: (1) kaidah ism dan fi'il, (2) kaidah ta'rif dan tankir, (3) kaidah istifham dan macam-macamnya, (4) ma'ani al-huruf seperti 'asa, la'alla, in, idza, dan lain-lain, (5) kaidah su'al dan jawab, (6) kaidah pengulangan, (7) kaidah perintah sesudah larangan, (8) kaidah penyebutan nama dalam kisab, (9) kaidah penggunaan kata dan uslub Al-Quran, dan lain-lain.

Metode-metode Tafsir

Komponen ini mencakup metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim dengan ketiga coraknya: al-ra'yu, al-ma'tsur, dan al-isyari, disertai penjelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode pengembangannya; dan mencakup juga metode-metode mutaakhir dengan keempat macamnya: tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan mawdhu'iy.By Abi Naufal
SUMBER:
·         Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna' Al-Qaththan, Mabaahits fie 'Uluumil Qur'aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 240 - 262.
·         Artikel www.muslim.or.id
·          Badruddin Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Quran, Al-Halabi, Mesir, 1957, Jilid 1, h. 12. Artinya, "ilmu pengetahuan amat luas, sedangkan usia itu pendek".

JAKARTA  1/12/2013
READ MORE - ULUMUL QUR'AN
 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman