MAMAKNAI ZAKAT ?
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1]
orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf
yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang
terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
”Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana
air dapat memadamkan api.” (HR. Tirmidzi no. 614. Abu Isa At
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
8 Orang berhak menerima zakat ?
[1] Faqir seringkali
disamakan dengan miskin. Karena kedua memiliki kemiripan satu sama lain. Namun
masing-masing tetap memiliki keunikan yang membedakannya dengan lainnya.
Asy-Syafi'iyah dan
Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak
punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya.
Atau mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk diantaranya adalah seorang
wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya.
Hajat dasar itu
sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian
yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari udara panas
dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan
atau cuaca yang tidak mendukung.
[2] Pengertian miskin
adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya, meskipun mereka masih ada sedikit kemampuan untuk
mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan
dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk
sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita
komparasikan ada sedikit perbedaan antara faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan
orang faqir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya
kemungkian pemasukan meski sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang
faqir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk
mendapatkan hajat dasar hidupnya.
Pengertian
amil
Dalam kitab-kitab
fiqih klasik, golongan ini terkadang disebut dengan istilah su'aat lli
jibayatizzakah yang artinya adalah orang yang berkeliling untuk
mengumpulkan zakat.
Disyaratkan untuk
mereka adalah yang memiliki ilmu tentang hukum zakat. Juga yang bersifat amanah
dan adil. Termasuk di dalamnya adalah para pencatat, pembagi zakat, menyimpan
harta dan keahlian lainnya yang terkai erat dengan tugas mengumpulkan dan
membagi zakat.
Mereka itu bekerja
dengan baik agar proses pengambilan harta zakat berjalan dengan benar, tepat
sasaran, serta tidak terlewat. Juga mereka bekerja keras untuk bisa memastikan
bahwa orang-orang yang berhak mendapat zakat itu benar-benar menerimanya.
Atas semua kerja
keras dan jasa ini, mereka pun berhak mendapatkan bagian dari dana zakat, meski
pun mereka sudah kaya.
[4] Yang termasuk
sebagai muallaf sebenarnya tidak terbatas kepada orang yang baru masuk Islam
saja, tetapi termasuk juga orang-orang yang masih dalam agama non Islam atau masih
kafir, namun sedang dibujuk hatinya untuk masuk Islam.
Muallaf yang kafir
ini pun masih terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang
diharapkan kebaikannya. Kedua, mereka yang dihindari kejahatannya.
Mereka yang
diharapkan kebaikannya adalah mereka yang diharapkan masuk Islam. Sehingga
mereka diberikan sebagian dari harta zakat, agar ada semacam dorongan bisa
masuk Islam. Sedangkan mereka yang dihindari kejahatannya adalah orang-orang
kafir yang selama ini memusuhi umat Islam. Kepada mereka, dibolehkan pemberian
sebagian harta zakat demi untuk melunakkan hati dan mengurangi atau
menghentikan permusuhan kepada kaum muslimin.
[5] Yang dimaksud dengan
budak dalam hal ini menurut Al-Hanafiyah dan Asy-syafi'iyah adalah almukatibun,
yaitu budak-budak yang sedang mengurus pembebasan dirinya dengan cara membayar
/ menembus harga atas dirinya itu kepada tuannya secara cicilan. Sebagaimana
firman Allah l :
...Dan
budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat
perjanjian dengan mereka , jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan
berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu.....(QS. An-Nur : 33)
[6] Pemahaman terhadap
gharimin dalam berbagai literatur tafsir atau fiqh dibatasi pada orang yang
punya hutang untuk kperluannya sendiri dan dana dari zakat diberikan untuk
membebaskannya dari hutang. Namun kelompok Syafi’iyyah menyatakan bahwa gharim
meliputi:
1. hutang karena
mendamaikan dua orang yang bersengketa. Dana zakat dapat diberikan untuk
pengganti pengeluaran tersebut, meskipun orangnya secara pribadi mampu.
2. Hutang untuk
kepentingan pribadi
3. Hutang karena
menjamin orang lain.
Untuk dua yang
terakhir, dana zakat diberikan kepada yang berhutang kalau dia tidak mampu
membayarnya.
[7] Zainudin bin Abdul
Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata : makna Fi Sabilillah yaitu
orang yang mengerjakan jihad (perang) karena Allah (bukan karena gaji dan
sebagainya), walaupun ia orang kaya. Orang tersebut berhak diberi biaya untuk
pakaian dan keluarganya, ongkos pergi dan pulang, serta biaya peralatan perang.
(Fathul Mu’in 1, hal. 587).
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata : Menurut Malik dan Abu Hanifah, Fi sabilillah adalah untuk peperangan membela agama Allah dan pertahanan.
Sedangkan menurut
Ahmad bin Hanbal termasuk untuk orang-orang yang berhaji dan umrah, sedangkan
Menurut Syafi’i untuk orang-orang yang bertempur membela agama Allah yang ada di dekat lokasi pengeluaran zakat.
Menurut Syafi’i untuk orang-orang yang bertempur membela agama Allah yang ada di dekat lokasi pengeluaran zakat.
Sayyid Sabiq berkata : Fi Sabilillah ialah jalan orang yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan itu ialah berperang dan bagian fi sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Orang-orang inilah yang yang berhak menerima zakat, baik mereka yang miskin atau kaya. (Fiqih Sunnah 1, hal. 573)
[8] Yaitu musafir yang
berada jauh dari negeri asalnya, meskipun dia adalah seorang yang berkecukupan
di negerinya. Namun keadaannya yang sedang dalam perjalanan, membuatnya berhak
mendapatkan harta zakat. Asalkan perjalannya itu bukan perjalanan maksiat.
Penyaluran
zakat kepada para mustahiq
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
- Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
- Tidak diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
- Diperbolehkan memberikan zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk pembiayaan mujahid di medan perang.
- Ketika membagikan zakat kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan kebutuhan.
- Selalu diperhatikan bahawa kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
- Jika muzakki yang membagikan langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup kebutuhan.
- Jika imam yang membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja.
Hikmah Zakat ?
1. Membuat keimanan seseorang menjadi
sempurna. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
لا
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang di antara
kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya
sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45). Wahai saudaraku,
sebagaimana engkau mencintai jika ada saudaramu meringankan kesusahanmu, begitu
juga seharusnya engkau suka untuk meringankan kesusahan saudaramu. Maka
pemberian seperti ini merupakan tanda kesempurnaan iman Anda.
2. Sebab
masuk surga. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ
ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ
وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ».
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang
luarnya dapat terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari luarnya.”
Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya, “Kepada siapa (kamar
tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi orang yang berkata baik,
memberi makan (di antaranya lewat zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena
Allah di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur.” (HR.
Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Setiap kita tentu saja
ingin masuk surga.
3. Menjadikan
masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu kesatuan). Karena dengan zakat,
berarti yang kaya menolong yang miskin dan orang yang berkecukupan akan
menolong orang yang kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu
saudara. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحْسِنْ
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al Qoshosh:
77)
4. Menyelamatkan
seseorang dari panasnya hari kiamat. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ
امْرِئٍ فِى ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ
“Setiap orang akan berada di naungan amalan
sedekahnya hingga ia mendapatkan keputusan di tengah-tengah manusia.”
(HR. Ahmad 4/147. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits
tersebut shahih)
5. Menambah
harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang dizakati.
Sebagaimana terdapat dalam hadits yang artinya,
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
”Sedekah tidaklah mengurangi harta”
(HR. Muslim no. 2558).
6. Merupakan
sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ
يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ
وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا
“Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat
dari harta-harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan
dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka
tidak diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah no. 4019. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
7. Zakat akan
meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِنَّ
الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ
“Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan
mencegah dari keadaan mati yang jelek” (HR. Tirmidzi no. 664. Abu
Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib dari sisi ini)
8. Dosa akan
terampuni. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
”Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana
air dapat memadamkan api.” (HR. Tirmidzi no. 614. Abu Isa At
Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Sumber:1.http://ad-dai.blogspot.com
3.http://rumaysho.com
Jakarta 30/6/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar