IBNU ARABI DAN wihdatul
wujud ?
Biografi Ibnu Arabi
Nama lengkap Ibnu
Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi. Ia
keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai.
Kuniahnya adalah Abu Bakar dan laqab (julukannya) adalah Muhyiddin. Ia juga
populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan sebutan Ibnu Arabi (tanpa “al”)
untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Ibnu Arabi lahir pada
hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di
Murcia, Andalusia. Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk salah seorang ahli fiqh
dan hadits, juga seorang sufi yang zuhud dan bertaqwa[1][9].
Ayahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Qur’an dan
memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari
meninggalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat
Al-Makiyah.[2][10]
Pada umur delapan
tahun, Ibn Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, untuk
menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yaitu membaca al-Qur’an dan
mempelajari hukum-hukum Islam dari Syekh Abu Bakar bin Khalaf, kemudian ia
pindah ke Seville yang saat itu merupakan pusat sufi Spanyol dan menetap di
sana selama tiga puluh tahun untuk mempelajari hukum, hadits, teologi Islam,
serta banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari tasawuf. Ia belajar
tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari,
dan melanglang buana ke berbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir, dan
akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.[3][11]
KONSEP WIHDATUL WUJUD IBNU ARABI
Ajaran sentral Ibn
Arabi adalah tentang wihdatul wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian,
istilah wihdatul wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu
tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling
keras mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya
tokoh itulah yang berjasa dalam mempopulerkan ke tengah masyarakat Islam,
meskipun tujuannya negatif.
Menurut faham ini
bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek
dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalq) dan aspek dalam disebut
Tuhan (al-Haqq). Menurut faham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah
aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut.[4][13]
Menurut Ibnu Arabi,
wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq pada hakikatnya wujud
khaliq pula. Tidak ada perbedaan di antara keduanya (khaliq dan makhluq) dari
segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan
makhluq ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan
akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada dzat-Nya
dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun padanya.[5][14]
Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi,
سُبْحَانَ مَنْ
أَظْهَرَ الْأَشْيَاءَ وَهُوَ عَيْنُنَا
“Mahasuci Tuhan yang
telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu.[6][15]
Wujud alam, menurut
Ibn Arabi, pada hakikatnya adalah wujud Allah juga. Allah adalah hakikat alam.
Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim, yang disebut khaliq dan
wujud baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid
(yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah). Bahkan antara yang
menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan hanya pada rupa dan ragam
dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn Arabi mengemukakan lewat
syairnya[7][16]:
اَلْعَبْدُ
رَبٌّ وَالرَّبُّ عَبْدٌ # يَا لَيْتَ شُعُوْرِيْ مَنِ الْمُكَلَّفُ
إِنْ قُلْتَ
عَبْدٌ فَذَاكَ رَبٌّ # أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى يُكَلَّفُ
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah
hamba, demi perasaanku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga.
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?
Satu-satunya
wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti apa pun
selain Tuhan baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam tidak memiliki
wujud. Kesimpulannya kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan. Akan
tetapi kenyataannya Ibnu Arabi juga menggunakan kata wujud untuk menyebut
sesuatu selain Tuhan. Namun ia mengatakan bahwa wujud itu hanya kepunyaan Tuhan
sedang wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan
kepadanya. Untuk memperjelas uraiannya Ibnu Arabi memberikan contoh berupa
cahaya. Cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para
penghuni bumi. Ibnu Arabi mengemukakan teori tajalli yang berarti
menampakkan diri. Tajalli artinya Allah menampakkan diri atau membuka
diri, jadi diumpamakan Allah bercermin sehingga terciptalah bayangan Tuhan
dengan sendirinya. Dengan teori ini, makhluk adalah bayang-bayang atau pencerminan
Tuhan di mana Tuhan dapat melihat dirinya sendiri tanpa kehilangan sesuatupun.
Artinya tetap dalam kemutlakannya.[8][17]
Sebagaimana
doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhat Al-Makkiyyah dan Fushush
Al-Hikam esensi ke-Tuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa
dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal dan tanpa atribut
(sifat); dan (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut. Tuhan, karena
dipandang tidak beratribut, berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan.
Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan, tetapi dalam keTuhanan-Nya,
Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan adalah absolut, ciptaannya ada secara
relatif, dan yang muncul sebagai relasi realitas adalah wujud nyata yang
terbatasi dan terindividualisasi. Karenanya segala sesuatu adalah atribut Tuhan
dan dengan demikian semua pada akhirnya identik dengan Tuhan, tanpa memandang
bahwa semua itu sebenarnya bukan apa apa.[9][18]
Ibn Arabi memandang
manusia dan alam sebagai cermin yang memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa
sang penerima berasal dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling
suci karena seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya:
kepada-Nya ia akan kembali dan dari-Nya
ia berawal.[10][19]
Ketika Tuhan berkehendak
dengan nama-nama bagus-Nya (sifat-sifat) yang berada di luar hitungan,
esensinya bisa dilihat. Dia menyebabkan nama-nama itu bisa dilihat dalam sebuah
wujud mikrokosmik yang karena dikaruniai eksistensi meliputi seluruh obyek
penglihatan dan melaluinyalah kesadaran terdalam Tuhan menjadi
termanifestasikan di hadapan-Nya.[11][20]
Lebih lanjut Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan
dengan alam menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang
hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam
tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan). Menurutnya ketika
Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan pada
segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak
bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin
itu. Dengan pernyataan lain alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma’
dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma’-Nya akan
kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an
(kesendirian)-Nya, yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.[12][21]
Banyak orang yang
menyamakan antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Padahal
terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Konsep Wihdatul wujud
menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau
mutlak kecuali Allah. Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen
(tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk
membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal). Adanya Wujud Mutlak ini
ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta
dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena
keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.[13][22]
Oleh para sufi segala
wujud selain Allah itu disebut wujud al mukmin. Berbeda dengan Wujud
Mutlak, wujud al mukmin ini adalah wujud yang berawal, artinya baru
ada pada waktu awal tertentu. Misalnya alam semesta yang baru ada pada saat Big
Bang (terjadinya ledakan besar, yaitu yang dianggap awal mula terjadinya
bumi oleh para ilmuwan), yang oleh para kosmolog diperkirakan terjadi 10 milyar
tahun yang lalu. Oleh karena itu, alam semesta ialah wujud al mukmin,
karena keberadaannya diwujudkan (maujud) oleh Allah.[14][23]
Harus dipahami bahwa
paham Ibnu Arabi ini tidak menyamakan segala sesuatu yang tampak sebagai bukan
Allah itu dengan Allah. Sebab jika kita misalnya mengatakan bahwa manusia
adalah Allah dan Allah adalah manusia, maka kita akan jelas-jelas terjebak ke
dalam Pantheisme. Menurut Ibnu Arabi, keterbatasan persepsi manusia
telah gagal untuk melihat kaitan integral antara keberadaan selain Allah dengan
keberadaan Allah sendiri.
Jelas ada perbedaan
prinsipil antara wihdatul wujud dengan Pantheisme. Pantheisme
menganggap bahwa wujud Tuhan itu bersatu dengan wujud makhluk, sedangkan wihdatul
wujud menganggap bahwa wujud Tuhan itu terpisah dari wujud makhluk. Jadi, bagi penganut Pantheisme,
wujud Tuhan itu tidak ada, karena Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan.
Jelas dari sisi logika maupun dalil kepercayaan Pantheisme ini adalah
sesat.[15][24]
Doktrin wihdatul
wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang
ada dan mengada (tauhid wujudi). Teori wihdatul wujud menekankan
pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud.
Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Maka akan
timbul pertanyaan, apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud
selainnya?[16][25]
Untuk menjawab
persoalan yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas wujudiyah
yang menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang
disebut dengan istilah maujud murakkab, dimana keberadaan entitas
tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang masuk dalam
kategori ini pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit, dimana jenis
wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah
terbatas. Wujud ini (maujud basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana
wujud-Nya merupakan maujud-Nya itu sendiri.
Menurut Ibnu Arabi,
tahap tertinggi yang bisa dicapai manusia adalah pengalaman langsung (dzauq). Ibnu Arabi memandang pengalaman langsung
sebagai tujuan tertingginya. Menurutnya, saat mencapai tahap tersebut, jiwa
berarti telah mencapai kondisi peniadaan diri (fana’). Dan pada saat
itulah ia akan mampu secara visual menyaksikan kesatuan segala sesuatu, yaitu
kesatuan antara Yang Mencipta dengan yang dicipta, dan Yang Abadi dengan yang
binasa.[17][26]
Perpustakaan:
1.Anwar,
Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
2.Ariyanti.
2011. Pemikiran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://ariyantimenulis.blogspot. 3.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-falsafi-ibnu-arabi.html,
diakses tanggal 15 Oktober 2012.
4.al-Fayumi,
Muhammad Ibrahim. Tt. Ibnu Arabi Shahib al-Futuhat al-Makiyah. Mesir:
al-Dar al-Mishriyah al-Libaniyah.
5.Hamka.
1986. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
6.http://id.wikipedia.org/wiki/Pemahaman_Sufisme_Ibn_Arabi,
diakses tanggal 15 Oktober 2012.
7.Ibn
‘Arabi. Tt. Al-Futuhat Al-Makkiyyah. Beirut: Dar Shadir.
8.Ibn
‘Arabi. Tt. Fushush al-Hikam wa at-Ta’liqat ‘alaih. Ed. Abu Al-‘Ala
‘Afifi. Beirut: Dar al-Fikr.
9.Jamil,
M. 2007. Cakrawala tasawuf: sejarah, pemikiran dan kontekstualitas. Jakarta:
GP Press.
10.Khan,
Ali Mahdi. 2004. Dasar dasar Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang
pemikiran. Bandung: Nuansa.
11.al-Qarni,
Abdul Hafizh Furghali Ali. 1986. Al-Syekh al-Akbar Muhyiddin bin al-Arabi
Sulthan al-Arifin. Mesir: Al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah.
12.Rifa’i,
Bahrun dan Hasan Mud’is. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
13.Sholihin,
M. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
14.at-Taftazani,
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad
Rafi’i Utsmani. Bandung: Pustaka.
15.Ucha,
2012. Inti Ajaran Tasawuf Ibnu Arabi, dalam http://uchamsimgl2011.blogspot.com/2012/03/inti-ajaran-tasawuf-ibnu-arabi.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2012.
16.Zainurrahman.
2010. Aku dan Wihdatul Wujud. Ternate: Majelis Dzikir al-Jabbar.
Sumber:http://zulkifli-sekarbela.blogspot.com
JAKARTA 24/6/2015
wow, sufi tingkat tinggi neh
BalasHapuswow, sufi tingkat ekstrim neh
BalasHapusJangan menyalahkan sufi,karena kita memang tdk bisa menjangkau tingkatan sufi
BalasHapusBahasa nya terlalu intelek..artikel nya g d buat untuk umum.mohon bahasa nya yg awam
BalasHapus1.Konsep Wihdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak kecuali Allah.
Hapus2.Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal).
3.Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.
4.Allah menciptakan alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma’ dan sifat2Nya yang terus-menerus.
5.Tanpa alam, sifat dan asma’-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya, yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.
6.Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya.
7.Oleh karena itu alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan).
8.Menurutnya ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan pada segala sesuatu.
9.Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia dan alam yaitu untuk memperjelas cermin itu sehingga semua makhlukNya dapat mengenal Allah,asmaNya dan sifat-sifatNya.
10.Smoga kita sebagai makhluk menyadari siapa sesungguhnya diri ini darimana berasal dan kemana kita akan kembali.
Alhamdulillah..aamiin yaa rabbal alamiin
Salah satu nikmat terbesar selain Iman dan Islam, juga terlahir sebagai keluarga yang beraliran Sufi.
BalasHapusKESIMPULAN :
BalasHapus1.Alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu alam tempat tajalli dan mazhar (penampakan Tuhan).
2.Ketika Allah menciptakan alam ini, Ia juga memberikan sifat-sifat ke-Tuhanan pada segala sesuatu
3.Allah menciptakan alam dan manusia untuk memperjelas bayangan diriNya (bagaikan cermin).
4.Dengan pernyataan lain alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma’ dan sifat Allah yang terus-menerus.
5.Tanpa alam, sifat dan asma’-Nya akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya, yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.[12][21]
6.Konsep Wihdatul wujud menyatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang mempunyai wujud yang hakiki atau mutlak kecuali Allah.
7.Wujud Mutlak adalah wujud yang keberadaannya independen (tidak bergantung pada apapun), tidak berawal, tidak membutuhkan wujud lain untuk membuat-Nya berawal (karena Dia memang tidak berawal).
8.Adanya Wujud Mutlak ini ialah keniscayaan bagi keberadaan wujud-wujud lain yang berawal. Alam semesta dan segala sesuatu selain Allah adalah wujud yang tidak hakiki, karena keberadaannya tergantung kepada Wujud Mutlak.
9.Doktrin wihdatul wujud Ibnu Arabi bersifat monorealistik, yakni menegaskan ketunggalan yang ada dan mengada (tauhid wujudi).
10.Teori wihdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud.
11.Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb.
Lalu apa yang membedakan antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya?
Jawab :
Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab, dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang masuk dalam kategori ini pasti akan terbatas.
Kedua, maujud basit, dimana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya Ia tidak pernah terbatas. Wujud ini (maujud basit) hanya milik Allah SWT saja, dimana wujud-Nya merupakan maujud-Nya itu sendiri.
Alhamdulillah
No comment
BalasHapus