AL-QUR’AN INDA
SUFI ?
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: "Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q.
S. 2. Al-Baqarah, A. 186).
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ
مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya." (Q. S.
50. Qof, A. 16).
فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ
رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً
Artinya:
"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).
Muqaddimah
Al-Qur’an adalah landasan pokok
seluruh ajaran Sufi. Sesuai dengan ciri utama Tasawuf yang lebih menekankan
kepada dzauq (rasa) dan aspek esoteris (ruhani, batiniah), maka tafsir Sufi
atas Al-Qur’an tak jarang amat berbeda dengan tafsir yang biasa kita kenal.
Kadang tafsir Sufi disebut juga ta’wil. Tafsir Sufi banyak berhubungan dengan
“rahasia-rahasia” di balik teks lahiriah (literal) yang maknanya tak aus oleh
dinamika perubahan-perubahan dalam sejarah.
Menurut Sufi, kemampuan seseorang
dalam memahami makna Al-Qur’an amat bergantung kepada derajat dan kualitas
keruhanian. Imam Ja’far as-Shadiq mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat
perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan haqaiq. Ibarat adalah bagi orang awam,
isyarat adalah bagi orang khusus, lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan
haqaiq adalah bagi para Nabi.
Sufi Bicara
tentang Al-Qur’an ?
Ibn Mas’ud mengatakan, “Siapa ingin
memperoleh ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian, hendaklah ia membaca
Al-Qur’an.” Seorang sufi mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terhimpun semua ilmu
yang ada di dunia. Ini sejalan dengan keterangan Al-Qur’an sendiri, yakni
al-Qur’an adalah “penjelasan bagi segala sesuatu” (Q.S. 6:6) dan “Tidak Kami
lewatkan dalam al-Kitab sesuatupun” (Q. S. 6:38). Maka, tak heran jika
dikatakan bahwa mu’jizat terbesar dari Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an. Tentu
saja pencapaian ilmu macam ini tidak bisa diperoleh dengan tafsir lahiriah atau
akal/rasio.
Di sisi lain, perkataan Aisyah bahwa akhlak
Rasulullah adalah Al-Qur’an secara tersirat menyatakan bahwa sesungguhnya
Al-Qur’an tak lain adalah diri kita sendiri. Yang dimaksud oleh Sufi dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an
sesungguhnya sudah berada dalam diri kita sendiri. Setelah Allah menciptakan
Adam, Dia mengajarinya “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31). Penamaan karenanya
menjadi bagian dari sifat manusia, karena Allah mengajari manusia bahasa pada
saat penciptaannya. Nama-nama yang diajarkan Allah kepada Adam adalah
pengetahuan-Nya, yang “disimpan” dalam “tubuh” Adam. Jadi setiap bagian tubuh
kita mengandung aspek tertentu dari nama-nama Ilahi. Dengan kata lain, realitas
tubuh manusia adalah nama-nama yang memantulkan Citra-Nya: “Allah menciptakan
Adam sesuai dengan Citra-Nya.”
Menurut pandangan Sufi, masalahnya
adalah kita melupakan bahwa Allah telah mengajari kita nama-nama segala hal ini
sejak awal penciptaan kita. Karena itu, untuk mengetahui “nama-nama” ini dan
mengungkapkan hakikatnya, kita harus tahu nama-nama itu persis sebagaimana
Allah mengajarkannya kepada kita, bukan sebagaimana yang kita pikirkan sendiri.
Hal ini hanya bisa dicapai dengan mencintai Allah. Mencintai Allah, dalam
ajaran Islam, hanya bisa dicapai melalui peniruan perilaku dan mengamalkan
ajaran Rasulullah Muhammad. Maka, dengan mencintai Rasul, kita akan mencintai
Allah, dan Allah akan mencintai kita dan melalui lantaran cinta inilah Allah
akan mengingatkan kita kembali tentang “nama-nama segala hal” dan kita akan
memandang sesuatu sebagaimana adanya (hakikat), bukan sebagaimana yang kita
pikirkan.
Jadi, ringkasnya, dengan menjadikan diri kita
“buta huruf,” dan mengikuti suri tauladan akhlak Nabi Muhammad, yakni akhlak
Al-Qur’an, pada akhirnya akan membuat kita mendapat petunjuk untuk memahami
makna terdalam dari al-Qur’an — “maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya,
yakni Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya;
ikutilah [akhlak] Nabi [Muhammad] agar kamu memperoleh petunjuk” (Q.S. 7:158).
Kemudian, menurut Sufi, Al-Qur’an turun pada
“Malam Kemuliaan” (Q.S. 97:1) dalam bentuk pengetahuan Allah yang utuh tak
terbedakan, sebagai “totalitas kalimat” (jawami’ al-kalim) yang “dipatrikan” ke
dalam hati Rasulullah. Wahyu tidak turun melalui “pikiran” Nabi, tetapi ke
dalam seluruh keberadaannya, atau dalam “tubuh” Nabi yang dipercaya untuk
melaksanakan dan mengamalkan titah Allah; seperti kata Aisyah, “Rasulullah
adalah Qur’an yang berjalan.” Wahyu turun pada “malam,” yang melambangkan
kerahasiaan yang tersembunyi, seperti kegelapan menyembunyikan sesuatu, dan
juga malam adalah suasana yang menebarkan aroma misterius, seperti ada khazanah
tersembunyi yang mesti diungkap agar diperoleh manfaatnya. Malam (Layla) dalam tafsir Sufi juga
melambangkan “Zat Tuhan” yang tersembunyi dari pengetahuan siapapun. “Kegelapan”
misteri haruslah diterangi dengan “Cahaya” yang terangnya “melebih seribu
bulan,” yakni cahaya yang amat terang tetapi tak menyilaukan seperti matahari,
sebab cahaya matahari justru membutakan. Dan dengan “cahaya seribu bulan”
itulah tersibak apa-apa yang tersimpan dalam rahasia ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu
saja yang bisa menerangi misteri Ilahi hanyalah cahaya Ilahi saja. Maka,
manusia harus meraih anugerah cahaya ilahi ini, yang bisa diakses oleh manusia
melalui pensucian jiwa, melalui zikir, sebab seperti kata Syekh Athaillah
As-Sakandari, “Zikir adalah cahaya yang menerangi.” Tazkiyat an-nafs (penyucian
jiwa), karena itu, adalah kunci pertama dan utama dalam membuka rahasia
Al-Qur’an.
Jadi,
Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, kitab yang diturunkan dari aras kesucian,
dan karenanya, agar kita bisa “menghidupkan” ayat-ayatnya, maka kita harus
menghubungkan ruh kita dengan “ruh” Al-Qur’an. Hal ini hanya bisa terjadi
apabila hijab hawa nafsu yang mengalahkan ruh kita telah diangkat, atau
setidaknya dibuat tak berdaya sehingga cahaya ruh kita yang telah suci bebas
dari cemar nafsu bertemu dengan cahaya Al-Qur’an. Dalam hadis dikatakan bahwa
tidak akan menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci dari hadats, yakni
seseorang tidak akan “menyentuh” makna hakiki Al-Qur’an sebelum ia suci dari
hadats hawa nafsu. Kita ingat riwayat bahwa sebelum Muhammad menjadi Nabi,
beliau adalah “yang terpercaya” (al-amin) dan “buta huruf” (ummi) dan, sebelum menerima
wahyu, dadanya telah dibedah oleh malaikat untuk disucikan hatinya.
Diriwayatkan
bahwa Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq pernah mengatakan bahwa rahasia dalam
Al-Qur’an terkandung dalam huruf-huruf fawatih atau muqatta’at (huruf-huruf
yang misterius artinya yang ada di ayat pembuka beberapa surat Al-Qur’an).
Interpretasi esoteris (mistis) atas huruf Arab tidak bisa dilakukan kecuali
dengan menyertakan aritmologik (nilai numerik atau angka pada setiap huruf).
Syekh Ahmad al-Buni dalam Kitab Syams al-Ma’arif al-Kubra menjelaskan: “Rahasia-rahasia
Tuhan dan obyek Ilmu-Nya … adalah dua macam, yakni huruf dan angka. Angka
adalah realitas tertinggi yang berbasis spiritual, sedangkan huruf berasal dari
alam material dan malakut. Angka adalah rahasia kata, dan huruf adalah rahasia
tindakan.” Dengan kata lain angka melambangkan dunia spiritual dan huruf
melambangkan dunia jasmaniyah. Nilai numerik dari masing-masing huruf itu
adalah sebagai berikut:
Menurut para
Sufi, huruf-huruf misterius yang “tak bermakna” itu dianggap mengandung
ilmu-ilmu Allah yang diturunkan secara langsung dengan sangat cepat sehingga
bahkan malaikatpun tak sempat memahami artinya. Dalam riwayat diceritakan
ketika Jibril menurunkan ayat pertama Surat Maryam, Kaaf, haa, yaa, ‘ain,
shaad, Nabi berkata, “Aku tahu artinya,” tetapi Jibril bertanya, “Bagaimana
engkau tahu sesuatu yang aku tak tahu?” Melalui ilmu huruf dan angka ini para
Sufi melahirkan pandangan yang eksotis tentang Al-Qur’an.
Misalnya,
huruf-huruf awal awal surat Maryam ditafsirkan sebagai perlambang dari Asma
al-Husna:
Kaaf = al-Kafi
Haa = al-Hadi
Yaa = al-Yaqin
‘Ain = al-‘Alim
Shad = as-Shadiq
Kaaf = al-Kafi
Haa = al-Hadi
Yaa = al-Yaqin
‘Ain = al-‘Alim
Shad = as-Shadiq
Karenanya,
huruf-huruf ini mengandung makna dan “berkah” tertentu dari khasanah Asma-Nya,
yang hanya bisa diketahui oleh para ahli-kasyaf. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib
menggunakan huruf-huruf ini sebagai wasilah untuk berdoa: Wahai Kaaf, Haa, Yaa,
‘Ain, Shaad, aku berlindung kepada-Mu dari dosa yang menyebabkan murka-Mu … Ya
Allah tolonglah aku melawan diriku sendiri.” Demikian pula Sayyid Abu Hasan
as-Syadzili berdoa dengan menggunakan huruf-huruf: “Qaaf, Jiim, adalah dua
rahasia bersama-Mu. Keduanya menunjukkan kepada selain-Mu. Maka, dengan rahasia
yang menyeluruh yang menunjukkan kepada-Mu, janganlah Engkau biarkan aku menuju
selain-Mu. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Terakhir,
beberapa Sufi menemukan keajaiban numerik dalam al-Qur’an yang menjadi dasar
dari “struktur” al-Qur’an itu sendiri. Para Sufi merenungkan angka misterius
yang dimuat dalam Q.S. 74: 30, “Di atasnya ada 19 penjaga.” Akhirnya sebagian
sufi menemukan makna mistis dari angka ini — bahkan beberapa sekte spiritual
mengagungkan angka ini, misalnya sekte Baha’iah. “Misteri 19” ini belakangan
ditunjukkan melalui bantuan komputer oleh Prof. Rashad Khalifa Ph.D. Penemuannya
mengukuhkan kebenaran tafsir mistis para sufi yang telah dikemukakan beberapa
abad yang lalu.
Dengan berdasarkan huruf dan nilai numeriknya, Rashad menemukan bahwa struktur al-Qur’an “dijaga dari perubahan” berdasarkan angka 19. Struktur numerik dari ayat dan surat dan huruf diteliti dengan ilmu kriptografi dengan bantuan komputer. Tentu saja akan terlalu luas jika semua temuan itu diuraikan di sini, karenanya berikut ini akan disajikan sedikit contoh dari temuan misteri 19 penjaga itu.
Dengan berdasarkan huruf dan nilai numeriknya, Rashad menemukan bahwa struktur al-Qur’an “dijaga dari perubahan” berdasarkan angka 19. Struktur numerik dari ayat dan surat dan huruf diteliti dengan ilmu kriptografi dengan bantuan komputer. Tentu saja akan terlalu luas jika semua temuan itu diuraikan di sini, karenanya berikut ini akan disajikan sedikit contoh dari temuan misteri 19 penjaga itu.
Kalimat
basmalah terdiri dari 19 huruf, di mana basmalah disebut 114 kali (19 x 6), di
mana 114 adalah jumlah surat al-Qur’an. Semuanya ada di awal surat, kecuali di
surat ke-9; namun kalimat basmalah muncul di salah satu ayat di surat 27 ayat
30, sehingga totalnya tetap 114. Kata “Allah” dalam al-Qur’an muncul sebanyak
2.698 kali, atau 19 x 142. Jumlah total ayat yang mengandung kata “Allah”
adalah 118.123, yang merupakan hasil dari 19 x 6.217. Surat pertama, yang
berada diurutan no. 96 dalam mushaf, terdiri dari 19 ayat. Ayat-ayat pertama
yang turun adalah 5 ayat dengan jumlah kata 19 buah, 76 huruf (1`9 x 4). Total
huruf setelah genap 19 ayat adalah 304 atau 19 x 16. Surat 110 yang diturunkan
terakhir terdiri dari 19 kata, dan ayat pertama dari surat itu terdiri dari 19
huruf. Contoh lainnya: huruf Qaaf dalam surat Qaaf muncul sebanyak 57 kali,
atau 19 x 3. Dalam surat Yaa Siin, huruf Yaa dan Siin muncul 285 kali, atau 19
x 15 — Jumlah kemunculan huruf-huruf muqatta’at lainnya dalam surat yang
relevan juga merupakan kelipatan dari 19. Angka 19 juga merupakan nilai
gematrikal dari kata “Satu” dalam bahasa Arab, yakni wahid (wawu, alif, ha dan
dal), di mana total nilai numerik (lihat tabel numerik di atas) untuk kata ini
adalah 19. Angka 619 (yang diambil dari 6 x 19 = 114) adalah deret ke-114 dari
bilangan prima; dan kalimat wahdahu la syarikalahu memiliki nilai numerik 619.
Sebagai angka prima, ia tidak boleh di-syirkah, diduakan. Demikian segelintir
contoh dari struktur numerik al-Qur’an.
Jadi,
setelah seluruh huruf dianalisis, pada akhirnya tampak bahwa tak satupun huruf
yang bisa ditambah atau dikurangi, sebab melakukan perubahan itu akan
menyebabkan strukturnya menyempal dari penjagaan angka 19 — Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang benar-benar
menjaganya” (Q.S. 15: 9). Wa Allahu a’lam bi as-shawab.
Sumber:https://miftah19.wordpress.com.
jakarta 25/6/2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar