HUKUM-HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN SHALAT BERJAMA’AH
Shalat berjama’ah memiliki adab dan hukum-hukum yang terkait.
Semua ini karena kedudukannya memiliki arti penting dalam Islam. Sementara itu,
banyak kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini. Banyak dijumpai dalam
shalat berjama’ah, mereka kurang memperhatikan adab dan hukum yang terkait.
Menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kesalahan dan dosa, bahkan kebid’ahan.
BATASAN MINIMAL PESERTA SHALAT BERJAMA’AH
Batasan minimal untuk shalat jama’ah ialah dua orang. Seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama.
Batasan minimal untuk shalat jama’ah ialah dua orang. Seorang imam dan seorang makmum. Jumlah ini telah disepakati para ulama.
Ibnu Qudamah menyatakan,“Shalat jama’ah dapat dilakukan oleh dua
orang atau lebih. Kami belum menemukan perbedaan pendapat dalam masalah
ini.”[1]
Demikian juga Ibnu Hubairoh menyatakan,“Para ulama bersepakat,
batasan minimal shalat jama’ah ialah dua orang. Yaitu imam dan seorang makmum
yang berdiri di sebelah kanannya.” [2]
Shalat jama’ah dianggap sah, walaupun makmumnya seorang anak kecil
atau wanita. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
بِتُّ
عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ
بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ
Aku tidur di rumah bibiku, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bangun mengerjakan shalat malam. Lalu aku turut shalat bersamanya dan
berdiri disamping kirinya. Kemudian beliau meraih kepalaku dan memindahkanku ke
samping kanannya. [3]
Demikian juga hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ قَالَ
فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
Sesungguhnya Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
mengimami dia dan ibunya. Anas berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah
kanannya dan wanita (ibunya) di belakang kami.” [4]
Semakin banyak jumlah makmum, maka semakin besar pahalanya dan
semakin disukai Allah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
وَصَلَاةُ
الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ
مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ
فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Shalat bersama orang lain lebih baik daripada shalat sendirian.
Shalat bersama dua orang lebih baik daripada shalat bersama seorang. Semakin
banyak (yang shalat) semakim disukai Allah Azza wa Jalla. [5]
Demikian juga seorang anak kecil yang telah mumayiz, boleh menjadi
imam menurut pendapat yang rajih. Hal ini berdasarkan hadits Amru bin Salamah
Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
فَلَمَّا
كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ
أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ
عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ
كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ
الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا
فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ
وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum datang
menyatakan keislaman mereka. Bapakku datang menyatakan keislaman kaumku. Ketika
pulang beliau berkata,“Demi Allah, aku membawakan kepada kalian kebenaran dari
sisi Rasulullah,” lalu berkata,“Shalatlah kalian, shalat ini pada waktu ini dan
shalatlah ini pada waktu ini. Jika telah masuk waktu shalat, hendaklah salah
seorang kalian beradzan dan orang yang paling banyak hafalan Qur’annya yang
menjadi imam.” Lalu mereka mencari (imam). Ternyata tidak ada seorangpun yang
lebih banyak dariku hafalan Al Qur’annya. Lalu mereka menunjukku sebagai imam
dan aku pada waktu itu berusia enam atau tujuh tahun.[6]
KAPAN DIKATAKAN MENDAPATI SHALAT BERJAMA’AH?
Dalam permasalahan ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat
yang berbeda.
Pertama : Shalat Jama’ah Didapatkan Dengan Takbir Sebelum Imam
Salam.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا
أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ
عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
Jika shalat telah iqamat, maka janganlah mendatanginya dengan
berlari. Datangilah dengan berjalan. Kalian harus tenang. Apa yang kalian
dapati, maka shalatlah dan yang terlewatkan sempurnakanlah.[7]
Dalam hadits ini dinyatakan, orang yang mendapatkan imam dalam
keadaan sujud atau duduk tasyahud akhir sebagai orang yang mendapatkan shalat
jama’ah, lalu menyempurnakan yang terlewatkan. Sehingga orang yang bertakbir
ihram sebelum imam salam, dikatakan mendapatkan shalat jama’ah.
Kedua : Membedakan Antara Jum’at Dan jama’ah. Jika Shalat Jum’at,
Melihat Kepada Raka’at Dan Jama’ah Melihat Kepada Takbir.
Bermakna, dalam shalat Jum’at, seseorang dikatakan mendapatkan shalat Jum’at bersama imam, bila mendapatkan satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah, bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i.[8]
Bermakna, dalam shalat Jum’at, seseorang dikatakan mendapatkan shalat Jum’at bersama imam, bila mendapatkan satu raka’at bersama imam. Dikatakan mendapatkan jama’ah, bila bertakbir sebelum imam mengucapkan salam. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Syafi’i.[8]
Ketiga : Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjama’ah, Bila Mendapatkan
Satu Raka’at Bersama Imam.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazali dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Imam Ghazali dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Muhammad bin Abdil Wahab dan Abdurrahman bin Nashir Assa’di telah
merajihkannya.[9]
Berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata.
مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Siapa yang mendapatkan raka’at dari shalat, maka telah mendapatkan
shalat.[10]
Dan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ
صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari
shalat Jum’at atau selainnya, maka telah mendapatkan shalat.” [11]
Sedangkan raka’at dilihat dari ruku’nya, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits Abu Hurairah yang marfu’ :
إِذَا
جِئْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ وَنَحْنُ سُجُودٌ فَاسْجُدُوا وَلَا تَعُدُّوهَا
شَيْئًا وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
Jika kalian berangkat shalat dan menemukan kami sedang sujud, maka
bersujudlah dan jangan dihitung sebagai rakaat. Barangsiapa yang mendapatkan
raka’at, maka telah mendapatkan shalat.[12]
Mereka menyatakan, “Orang yang mendapatkan satu raka’at dari
shalat Jum’at atau selainnya, maka (dianggap) mendapatkan shalat. Demikian juga
shalat jama’ah, tidak dianggap mendapatkannya, kecuali dengan mendapat satu
raka’at.” [13]
HUKUM BERJAMA’AH DALAM SHALAT NAFILAH[15]
Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim. Bahkan merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini, maka perlu diketahui secara jelas hukum seputar berjama’ah dalam shalat nafilah.
Shalat nafilah (shalat tathawu’) sangat penting bagi seorang muslim. Bahkan merupakan pelengkap dan penyempurna shalat fardhu. Melihat pentingnya permasalahan ini, maka perlu diketahui secara jelas hukum seputar berjama’ah dalam shalat nafilah.
Ditinjau dari pensyari’atan berjama’ah pada shalat nafilah, maka
terbagi menjadi dua.
Pertama. Shalat nafilah yang disyari’atkan mengamalkannya dengan
berjama’ah. Terdiri dari:
1. Shalat Kusuf (shalat gerhana matahari). Shalat ini disunnahkan berjama’ah berdasarkan kesepakatan para fuqaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan, terdapat perselisihan para ulama tentangnya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan, tidak disunnahkan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan, sunnahnya.
2. Shalat Istisqa’(shalat minta hujan), disunnahkan berjama’ah. Demikian menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkan berjama’ah.
3. Shalat Ied, disunnahkan berjama’ah secara ijma’ kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih
1. Shalat Kusuf (shalat gerhana matahari). Shalat ini disunnahkan berjama’ah berdasarkan kesepakatan para fuqaha’. Sedangkan shalat gerhana bulan, terdapat perselisihan para ulama tentangnya. Imam Abu Hanifah dan Malik menyatakan, tidak disunnahkan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan, sunnahnya.
2. Shalat Istisqa’(shalat minta hujan), disunnahkan berjama’ah. Demikian menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah dan dua murid Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat tidak disunnahkan berjama’ah.
3. Shalat Ied, disunnahkan berjama’ah secara ijma’ kaum muslimin.
4. Shalat Tarawih
Kedua : Shalat nafilah yang tidak disyari’atkan berjama’ah.
Shalat yang disyari’atkan melakukannya secara sendirian (tidak berjama’ah) sangat banyak sekali. Diantaranya ialah: shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqah dan yang disunnahkan pada setiap malam dan siang.
Shalat yang disyari’atkan melakukannya secara sendirian (tidak berjama’ah) sangat banyak sekali. Diantaranya ialah: shalat rawatib, shalat sunnah mutlaqah dan yang disunnahkan pada setiap malam dan siang.
Tentang hukum melakukan shalat-shalat tersebut secara berjama’ah,
terdapat peselisihan diantara para ulama. Madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah
memperbolehkan berjama’ah. Madzhab Hanafiyah memakruhkannya; dan madzhab
Malikiyah membolehkan berjama’ah, kecuali sunnah rawatib sebelum subuh. Mereka
menyatakan hal itu, menyelisihi yang lebih utama, selebihnya boleh dengan
syarat jama’ahnya tidak banyak dan tidak di tempat yang terkenal, karena takut
terjadi riya’ dan munculnya anggapan bahwa hak itu wajib.
Akan tetapi, yang benar ialah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau pernah melakukan kedua-duanya. Pernah melakukan shalat sunnah
tersebut dengan berjama’ah dan sendirian. Sebagaimana riwayat berikut ini:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ
قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ
لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ
وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan, bahwa
neneknya yang bernama Mualikah mengundang Rasulullah makan-makan yang
dibuatnya. Lalu Rasulullah memakannya dan berkata, “Bangkitlah kalian, aku akan
shalat berjama’ah bersama kalian.” Anas berkata,”Aku mengambil tikar kami yang
telah berwarna hitam karena lamanya pemakaian, dan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bangkit. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang
beliau, sedangkan orang-orang tua wanita berdiri di belakang kami. Rasulullah
shalat dua raka’at kemudian pergi.”[16]
عَنْ
عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ فَقَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ
قَالَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Dari ‘Utban bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendatanginya di rumahnya, lalu berkata,“Dimana dari rumahmu ini yang engkau
suka aku shalat untukmu?” Lalu aku tunjukkan satu tempat. Kemudian beliau
bertakbir dan kami membuat shaf di belakangnya. Beliau shalat dua raka’at.[17]
UDZUR YANG MEMPERBOLEHKAN TIDAK MENGHADIRI SHALAT BERJAMA’AH
Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut ialah sebagai berikut:
Diperbolehkan tidak menghadiri shalat berjama’ah dengan sebab-sebab tertentu. Diantara sebab-sebab tersebut ialah sebagai berikut:
1. Dingin dan hujan.
Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata.
Berdasarkan hadits dari Nafi’, beliau berkata.
أَنَّ
ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ
أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ
بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
Sesungguhnya Ibnu Umar beradzan untuk shalat pada malam yang
dingin dan berangin kencang, kemudian berkata, “Ala shallu fi rihalikum
(Shalatlah kalian di rumah kalian).” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya
Rasulullah memerintahkan muadzin, jika malam dingin dan berhujan mengatakan,
‘Ala shallu fi rihal’.” [Mutafaqun ‘alaihi].
2. Sakit yang memberatkan penderitanya menghadiri jama’ah.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَاجَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ
سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu. [Al Hajj:78].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit dan
tidak bisa mengimami shalat beberapa hari:
مُرُوْا
أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ
Perintahkanlah Abu Bakr agar mengimami manusia. [19]
Ibnu Hazm berkata,“Ini tidak diperselisihkan.” [20]
3. Kondisi tidak aman yang dapat membahayakan diri, harta dan
kehormatannya.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لاَ
يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. [Al Baqarah:286].
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ
سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada
shalat baginya, kecuali karena udzur [21]. Dalam riwayat Al Baihaqi ada
tambahan tafsir udzur disini, dengan sakit atau rasa takut (situasi tidak
aman).[22]
4. Saat makanan telah dihidangkan dan menahan hajat kecil atau
besar.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَا
صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
Tidak boleh shalat saat makanan dihidangkan dan tidak pula ketika
menahan buang hajat kecil dan besar. [23]
5. Ketiduran.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّهُ
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ
الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ
فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
Bukanlah ketiduran tafrith (tercela), akan tetapi tafrith hanya
pada orang yang tidak shalat sampai datang waktu shalat yang lainnya.
Barangsiapa yang berbuat demikian, maka hendaklah shalat ketika sadar.[24]
Demikianlah sebagian perkara penting yang berkaitan dengan shalat
jama’ah. Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Al Mughni 3/7.
[2]. Al Ifshah An Ma’anish Shihah, 1/155. Dinukil dari Shalatul Jama’ah, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, hal. 47. Lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah, karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab: Ma Ja’a Fil Witri, no. 937.
[4]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Wash Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1056.
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Fadhli Shalatul Jama’ah, no.467, An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab: Al Jama’ah Idza Kana Itsnaini, no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Hakim dalam Mustadrak-nya, 3/269. Hadits ini dishahihkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367 no. 1477.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghazi, no. 3963.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[8]. Lihat Majmu’ Fatawa 23/331.
[9]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 50. Tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adab Al Masyi Ila Shalat, hal. 29 dan Al Mukhtarat Al Jaliyah Fil Masail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kamilah Li Mualafat, Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di, 2/109.
[10]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitus Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at, no. 546 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at Faqad Adraka Shalat, no. 954.
[11]. Diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Mawaqit, Bab: Man Adraka Rak’atan Minas Shalat, no. 554; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, Bab: Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan, no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’, no. 759.
[13]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 51.
[14]. Majmu’ Fatawa 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15]. Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlan, hal. 74-78 dengan beberapa perubahan
[16]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Was Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1053.
[17].Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Idza Dahala Baitan Haitsu Sya, no. 406.
[19]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[20] Muhalla, 4/351.
[21]Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jama’ah, Bab: At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[22]. Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah, hal. 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Kubra Baihaqi 1/185.
[23]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tha’am, no. 869.
[24]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Qadha’ Shalat Fawait, no. 1099.
_______
Footnote
[1]. Al Mughni 3/7.
[2]. Al Ifshah An Ma’anish Shihah, 1/155. Dinukil dari Shalatul Jama’ah, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, hal. 47. Lihat juga pernyataan kesepakatan ini dalam Raudhatun Nadiyah, karya Shidiq Hasan Khan, 1/308.
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab: Ma Ja’a Fil Witri, no. 937.
[4]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Wash Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1056.
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Fadhli Shalatul Jama’ah, no.467, An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab: Al Jama’ah Idza Kana Itsnaini, no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Hakim dalam Mustadrak-nya, 3/269. Hadits ini dishahihkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367 no. 1477.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Maghazi, no. 3963.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[8]. Lihat Majmu’ Fatawa 23/331.
[9]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 50. Tentang tarjih mereka ini dapat dilihat dalam kitab Adab Al Masyi Ila Shalat, hal. 29 dan Al Mukhtarat Al Jaliyah Fil Masail Al Fiqhiyah (dalam Al Majmu’ah Al Kamilah Li Mualafat, Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di, 2/109.
[10]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitus Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at, no. 546 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Man Adraka Minas Shalat Raka’at Faqad Adraka Shalat, no. 954.
[11]. Diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Mawaqit, Bab: Man Adraka Rak’atan Minas Shalat, no. 554; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatush Shalat Was Sunnah Fiha, Bab: Ma Ja’a Fiman Adraka Minal Jum’at Rak’atan, no.1113 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 3/173.
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Fi Rajuli Yudrikul Imam Sajidan Kaifa Yasna’, no. 759.
[13]. Lihat Shalatul Jama’ah, hal. 51.
[14]. Majmu’ Fatawa 23/331-332 dengan sedikit pemotongan.
[15]. Diringkas dari Shalatul Jama’ah, karya Syaikh Shalih As Sadlan, hal. 74-78 dengan beberapa perubahan
[16]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi’ Shalat, Bab: Jawazu Al Jama’ah Fin Nafilah Was Shalat Ala Hashir Wa Khamrah, no. 1053.
[17].Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab: Idza Dahala Baitan Haitsu Sya, no. 406.
[19]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
[20] Muhalla, 4/351.
[21]Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jama’ah, Bab: At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[22]. Dibawakan oleh penulis kitab Shalat Jama’ah, hal. 199 dan dinisbatkan kepada Sunan Kubra Baihaqi 1/185.
[23]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Karahatus Shalat Bi Hadhratith Tha’am, no. 869.
[24]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Masajid Wa Mawadhi Shalat, Bab: Qadha’ Shalat Fawait, no. 1099.
jakarta 31/2016
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI SOLEH JAFFAR
berikan 4D angka [] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI SOLEH JAFFAR. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI SOLEH JAFFAR.
sekali lagi makasih banyak ya AKI SOLEH JAFFAR … bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI SOLEH JAFFAR,,di no ---> 0853---> 7778 ---> 3331 --->
insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 2750 JUTA , wassalam.
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
KLIK DISINI 4d 5d 6d
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... AKI SOLEH JAFFAR akan membantu
anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
butuh angka togel 2D ,3D, 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: AKI SOLEH JAFFAR DI NO: ---> 0853---> 7778 ---> 3331 --->
ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D
ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND
ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D