PEMIMPIN DALAM
ISLAM
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.”
(QS. Al Mumtahanah: 1)
وَاتَّقُوا
يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا
كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Takutlah kalian terhadap hari yang pada waktu itu kamu semua
dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak
didzalimi. (QS. Al-Baqarah: 281).
إِنَّ
خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja
adalah orang yang kuat dan amanah.” (QS. Al-Qashas: 26).
Muqaddimah
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan mengenai kriteria pemimpin yang
baik. Allah SWT berfirman, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan telah Kami
wahyukan kepada mereka untuk senantiasa mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu mengabdi,” (QS.
Al-Anbiya’: 73).
Ayat ini berbicara pada tataran ideal tentang sosok pemimpin yang
akan memberikan dampak kebaikan dalam kehidupan rakyat secara keseluruhan,
seperti yang ada pada diri para nabi manusia pilihan Allah. Karena secara
korelatif, ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ini dalam konteks menggambarkan
para nabi yang memberikan contoh keteladanan dalam membimbing umat ke jalan
yang mensejahterakan umat lahir dan bathin. Tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa ayat ini merupakan landasan prinsip dalam mencari figur pemimpin ideal
yang akan memberi kebaikan dan keberkahan bagi bangsa dimanapun dan kapanpun.
Pemimpin yang bisa bersikap adil. Keadilan adalah lawan dari
penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua
pihak dan golongan. Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang
adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan
masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat QS.
Shad (38): 22, “Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka
berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu.”
Pendapat Syaikhul Islam
Kemudian, Syaikhul Islam
menjelaskan batasan kuat (mampu) dan batasan amanah,
والقوة
في كل ولاية بحسبها فالقوة في إمارة الحرب ترجع إلى شجاعة القلب وإلى الخبرة
بالحروب والمخادعة فيها فإن الحرب خدعة وإلى القدرة على أنواع القتال… والقوة في
الحكم بين الناس ترجع إلى العلم بالعدل الذي دل عليه الكتاب والسنة وإلى القدرة
على تنفيذ الأحكام
Sifat ‘kuat’ (profesional) untuk setiap pemimpin, tergantung dari
medannya. Kuat dalam memimpin perang kembali kepada keberanian jiwa dan
kelihaian dalam berperang dan mengatur strategi. Karena inti perang adalah
strategi. Demikian pula kembali kepada kemampuan dalam menggunakan senjata
perang…
Selanjutnya, beliau menjelaskan kriteria amanah
والأمانة
ترجع إلى خشية الله، وألا يشتري بآياته ثمنا قليلا، وترك خشية الناس؛ وهذه الخصال
الثلاث التي أخذها الله على كل من حكم على الناس
Sifat amanah, itu kembali kepada kesungguhan orang untuk takut
kepada Allah, tidak memperjual belikan ayat Allah untuk kepentingan dunia, dan
tidak takut dengan ancaman manusia. Tiga kriteria inilah yang Allah jadikan
standar bagi setiap orang yang menjadi penentu hukum bagi masyarakat.
Kemudian beliau mengutip firman Allah,
فَلَا
تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)
Pemimpin yang
Profesional dan Amanah
Anda semua tentu
menyadari, untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki dua kriteria ini sekaligus,
sangat sulit untuk ditemukan. Hingga Syaikhul Islam di halaman lain dalam buku
itu menyatakan,
اجتماع القوة
والأمانة في الناس قليل، ولهذا كان عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- يقول: اللهم أشكو
إليك جلد الفاجر، وعجز الثقة
Kemampuan dan amanah
jarang bersatu pada diri seseorang. Karena itu, Umar bin Khatab radhiyallahu
‘anhu pernah mengadu kepada Allah, ”Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu: orang
fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”
Di sinilah Syaikhul
Islam menyarankan untuk menerapkan skala prioritas. Mana karakter yang lebih
dibutuhkan masyarakat, itulah yang dikedepankan.
Dalam posisi
tertentu, sifat amanah lebih dikedepankan. Namun di posisi lain, sifat mampu
dan profesional lebih dikedepankan.
Syaikhul Islam
membawakan riwayat dari Imam Ahmad, ketika beliau ditanya,
’Jika ada dua calon
pemimpin untuk memimpin perang, yang satu profesional tapi fasik, dan yang satu
soleh tapi lemah. Mana yang lebih layak dipilih?’
Jawab Imam Ahmad,
أما الفاجر
القوي، فقوته للمسلمين، وفجوره على نفسه؛ وأما الصالح الضعيف فصلاحه لنفسه وضعفه
على المسلمين. فيغزي مع القوي الفاجر
Orang fasik yang
profesional, maka kemampuannya menguntungkan kaum muslimin. Sementara sifat
fasiknya merugikan dirinya sendiri. Sedangkan orang soleh yang tidak
profesional, maka kesolehannya hanya untuk dirinya, sementara ketidak
mampuannya merugikan kaum muslimin. Dipilih perang bersama pemimpin yang
profesional meskipun fasik.
Sebaliknya, jika
dalam posisi jabatan itu lebih membutuhkan sifat amanah, maka didahulukan yang
lebih amanah, sekalipun kurang profesional. Syaikhul Islam menyebutkan,
وإذا كانت
الحاجة في الولاية إلى الأمانة أشد، قدم الأمين؛ مثل حفظ الأموال ونحوها
Jika dalam
kepemimpinan itu lebih membutuhkan sifat amanah, maka didahulukan yang memiliki
sifat amanah, seperti bendahara atau semacamnya.
Kemudian, beliau
memberikan kesimpulan dalam menentukan pemimpin,
قدم أنفعهما
لتلك الولاية وأقلهما ضررا فيها
Diutamakan yang lebih
menguntungkan untuk jabatan itu, dan yang lebih sedikit dampak buruknya.
Kriteria Pemimpin
Para pakar telah lama menelusuri al-Qur’an dan Hadits dan
menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang
sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat
yang dimiliki oleh para nabi/ rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
(1) Shidiq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap,
berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong.
(2) Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan
menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang
yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah SWT. Lawannya adalah khianat.
(3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan
kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah
bodoh.
(4) Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab
atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya
adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Pemimpin Ummat
Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah pernah berkata:
فَمَنْ أُعْطِيَ
الصَّبْرَ وَالْيَقِينَ: جَعَلَهُ اللَّهُ إمَامًا فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang
diberikan kesabaran dan keyakinan maka Allah akan menjadikannya pemimpin di
dalam agama.”[6]
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “… Bahwasanya pemimpin-pemimpin
agama yang mereka dijadikan teladan adalah orang-orang yang menggabungkan
antara kesabaran, keyakinan dan juga berdakwah menuju Allah dengan sunnah dan
wahyu, bukan dengan pendapat-pendapat atau bid’ah-bid’ah. Mereka adalah
pengganti-pengganti/penerus-penerus Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam umatnya. Mereka adalah orang-orang khusus baginya dan juga
wali-walinya. Barang siapa yang memusuhi dan memerangi mereka maka sesungguhnya
dia telah memusuhi Allah subhanahu. Dan Allah akan mengumumkan peperangan
kepadanya.”[7]
Urgensi
Kesabaran
Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan, “Dan berkata Ibnu Binti Asy-Syafii, ‘Bapakku
membaca hadits di hadapan pamanku atau pamanku membaca hadits di hadapan
bapakku, Sufyan ditanya tentang perkataan ‘Ali radhiallahu ‘anhu:
الصَّبْرُ مِنَ
الْإيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ
“Kedudukan sabar
dalam keimanan seperti kedudukan kepala terhadap badan.”
Sufyan berkata,
“Tidakkah engkau mendengar perkataan Allah: “Dan Kami jadikan di antara mereka
itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar”?
Kemudian Sufyan
mengatakan:
لَمَّا
أَخَذُوْا بِرَأْسِ الْأَمْرِ صَارْوُا رُؤُوْسًا
“Ketika mereka
mengambil inti dari segala urusan maka mereka menjadi pemimpin-pemimpin.”[8]
Pemimpin yang Dipilih
Diriwayatkan dari
‘Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
يَا عَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Ya ‘Abdurrahmân
bin Samurah! Janganlah kamu meminta kepemimpinan. Sesungguhnya jika itu
diberikan kepadamu dengan cara kamu memintanya, maka kamu akan dibiarkan untuk
mengurusnya sendiri. Tetapi jika itu diberikan kepadamu tanpa engkau
memintanya, maka engkau akan dibantu untuk mengurusnya”.[9]
Hadits ini
menunjukkan tercelanya meminta jabatan atau kepemimpinan. Tetapi kepemimpinan
yang dimaksud dalam hadits ini adalah kepemimpinan dalam urusan duniawi. Adapun
menjadi pemimpin-pemimpin orang yang bertakwa, maka itu adalah kedudukan yang
tinggi di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada cela sedikit
pun padanya.
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba yang berdakwah
menuju Allah menginginkan untuk menjadi orang yang besar di mata-mata
pengikutnya, disegani di hati-hati mereka, dicintai oleh mereka dan menjadi
orang yang ditaati di antara mereka agar mereka mengikuti dan menjalankan
peninggalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan
darinya, maka hal tersebut tidak berbahaya bagi dirinya. Bahkan, dia dipuji
atas apa yang dilakukannya… Oleh karena itu, Allah subhanahu menyebutkan
hamba-hamba-Nya yang memiliki kekhususan pada dirinya dan memuji mereka dalam
Al-Qur’an serta membalas mereka dengan balasan yang paling baik di hari
pertemuan dengan-Nya. Allah menyebutkan amalan-amalan terbaik yang mereka
lakukan dan sifat-sifat mereka (yaitu di bagian akhir surat Al-Furqan-pen).
Kemudian Allah mengatakan:
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang
yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyejuk mata-mata (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa”” (QS Al-Furqan:74).
Pemimpin Dunia
Hal ini berbeda
dengan pengharapan untuk mendapatkan kepemimpinan (dunia). Sesungguhnya orang-orang
yang mencarinya akan berusaha keras untuk mendapatkannya, agar mendapatkan
tujuan-tujuan mereka yang berupa kedudukan tinggi di dunia… Dampak dari
keinginan ini adalah munculnya kerusakan-kerusakan yang tidak mengetahuinya
kecuali Allah, baik berupa: perampasan hak orang lain, hasad, melampai batas,
dengki, kezaliman, fitnah, melindungi diri sendiri tanpa memperhatikan hak
Allah, mengagungkan orang-orang yang dihinakan oleh Allah, menghinakan
orang-orang yang dimuliakan oleh Allah. Dan tidak akan sempurna kepemimpinan
duniawi kecuali dengan melakukan hal-hal tersebut.”[10]
إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
“Sesungguhnya Tuhanmu
Dia-lah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa
yang selalu mereka perselisihkan padanya”
Ath-Thabari
rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Rab kamu ya Muhammad, Dia-lah
yang menjelaskan segala hal di antara makhluknya di hari kiamat atas apa-apa
yang mereka berselisih di dunia, baik dalam urusan: agama, kebangkitan, balasan
baik, hukuman dan yang lainnya… Kemudian Dia akan membedakan di antara mereka
dengan keputusannya yang adil, Dia akan membalas orang-orang yang haq dengan
surga dan orang-orang yang batil dengan neraka.”[11]
Pemimpin yang Ideal
Kita dapat ambil
pelajaran dari perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud berikut ini.
Ibnu Mas’ud berkata,
لأَنْ
أَحْلِفَ بِاللَّهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ وَأنَا
صَادِقٌ
“Aku bersumpah dengan
nama Allah dalam keadaan berdusta lebih aku sukai daripada aku jujur lalu
bersumpah dengan nama selain Allah.” (HR. Ath Thobroni dalam Al Kabir. Guru
kami, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Kata Syaikh Sholeh Al
Fauzan, di antara faedah dari hadits di atas adalah bolehnya mengambil mudarat
yang lebih ringan ketika berhadapan dengan dua kemudaratan. (Al Mulakhos fii
Syarh Kitabit Tauhid, hal. 328).
Kaedah dari
pernyataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah,
اِرْتِكَابُ
أَخَفِّ المفْسَدَتَيْنِ بِتَرْكِ أَثْقَلِهِمَا
“Mengambil mafsadat
yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih
berat.” (Fathul Bari, 9: 462)
Dalam kitab yang
sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah,
جَوَازُ
اِرْتِكَابِ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ
“Bolehnya menerjang
bahaya yang lebih ringan.” (Fathul Bari, 10: 431)
Kalau kita bandingkan
saat mesti memilih antara pemimpin muslim yang gemar maksiat dengan pemimpin
non muslim yang jujur dan adil, maka tetap saja pemimpin muslim lebih utama
untuk dijadikan pilihan. Mudaratnya tentu lebih ringan. Apa alasannya?
Alasan pertama,
kita tidak boleh mengambil pemimpin dari orang kafir. Alasan kedua, kita
akan lebih mudah dalam menjalani agama karena pemimpin semacam itu lebih
mengerti akan kebutuhan kaum muslimin. Alasan ketiga, non muslim tidak
mudah menindas kaum muslimin atau menyebar ajaran mereka.
Kezaliman
yang dilakukan oleh pemimpin muslim misalnya dengan korupsi, itu adalah
kesalahannya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah atas tindak
jeleknya. Namun agama kita pasti akan lebih selamat dan orang muslim pun akan
peduli pada sesama saudaranya. Beda halnya dengan non muslim. Muslim yang
bermaksiat masih lebih mending, berbeda dengan non muslim yang diancam akan
kekal di neraka.
Jadi bagi yang masih
mengatakan pemimpin non muslim itu lebih baik, berpikirlah dengan nalar yang
baik dan banyak mengkaji ayat-ayat Al Qur’an. Lihatlah bagaimana Allah menyebut
non muslim dalam ayat berikut ini,
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6). Ini firman Allah loh yang
tidak mungkin keliru. Beda kalau tidak percaya akan wahyu.
Loyalitas seorang
muslim haruslah kepada sesama muslim bukan kepada yang berlawanan agama
dengannya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Dalam ayat lain
disebutkan,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1)
Catatan
Kaki
Daftar
Pustaka
- Adhwâul-Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân. Muhammad Al-Amîn Asy-Syinqîthi. 1415 H/1995 M. Libanon: Dârul-Fikr.
- Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
- At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tinusia: Dar Sahnûn.
- Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
- Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
- Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
- Risâlah Ibnil-Qayyim Ilâ Ahadi ikhwâni. Muhammad bin Abî Bakr bin Qayyim Al-Jauziyah. 1420 H. Riyadh: Fahrisah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyah.
- Ar-Rûh. Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim Al-Jauziyah. 1395 H/1975. Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
- Majmû’ Al-Fatâwâ. Taqiyuddin Abul-‘Abbâs Ahmad bin Abdil-Halîm bin Taimiyah. 1426 H/2005. Mesir: Dârul-Wafâ’.
- Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.
jakarta 16/3/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar