HUKUM BERJAMA’AH
DI RUMAH
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (سورة التحريم: 6)
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)
Rasulullah saw bersabda,
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ : الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا (رواه
البخاري، رقن 853 ومسلم، رقم 1829)
"Semua kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang
orang-orang yang kalian pimpin. Kepala negara adalah pemimpin, dan akan ditanya
tentang kepemimpinannya, seorang bapak pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan
ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang ibu pemimpin di rumah suaminya."
(HR. Bukhari, no. 853, Muslim, 1829)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ما من
عبد يسترعيه الله رعية يموت يوم يموت وهو غاش لرعيته إلا حرم الله عليه الجنة
(رواه البخاري، رقم 6731 ومسلم، رقم 142).
"Tidaklah seorang hamba Allah berikan kepadanya wewengan
untuk mengurus orang yang dipimpinnya, namun ketika mati dia berada dalam
keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah akan haramkan surga untuknya."
(HR. Bukhari, no. 6731, dan Muslim, no. 142)
صَلاَةُ
الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jama’ah
lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Berjama’ah di SELAIN Masjid
Para ulama berbeda
pendapat dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga
pendapat:
Pendapat
pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.
Ini pendapat Malik,
Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.
Ibnul Qasim berkata,
“Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di
rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah–
berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di
masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang
terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari
kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada
sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah dalam
al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya
(shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”
Dalil-dalilnya
Mereka berdalil
dengan hadis-hadis berikut:
1. Hadis Jabir
Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu
disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang
suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]
2. Dari Anas, ia
berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat
waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau
memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan
air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di
belakang beliau.”[5]
3. Dari Aisyah
Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan
sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan
berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk.”[6]
Mereka juga berdalil
dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan
ini.
Pendapat
kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.
Pendapat ini
merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat
ini, ia berkata dalam “Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah
dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu
ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat
jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan
meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah
hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]
Beliau juga berkata,
“Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di
masjid kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]
Sebagian mereka
membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari
kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian shalat
berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat
yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]
Dalam Syarh Fathul
Qadir, “Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota
keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab,
“Tidak, ia menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”
Dalil-dalilnya
Ulama yang
berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan
wajibnya berjamaah dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab
Syafi’i berselisih pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain
masjid, apakah menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda
pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain
masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya
ramai, seperti shalat berjamah di pasar misalnya.
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah–
berkata, “Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal
pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang
muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”
Pendapat
ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di
masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali
dengan berjamaah.
Ini pendapat Ibnu
Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu
seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama
imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia
tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang
atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya,
kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia
sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan
jamaah.”[10]
Ibnu Taimiyyah
berkata dalam “Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di
rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat
perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada
uzur.”[11]
Footnote
[1] Al-Mudawwanah al-Kubra (1/86)
[2] Al-Umm (1/136)
[3] (3/8)
[4] Al-Lu`lu wal Marjan fiimat tafaqa
‘alaihi As-Syaikhan (1/104)
[5] As-Sunan al-Kubra vol, 3, hal. 66
[6] Shahih Al-Bukhari (1/169), Bab 51
kitab al-adzan.
[7] Kitab as-Shalah, Ibnul Qayyim,
hal. 461 dan yang setelahnya.
[8] Idem
[9] Al-Insaf, al-Wardawi (2/123, 214)
[10] Al-Muhalla (4/265)
[11] Mukhatashar al-Fatawa
al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, hal. 52
jakarta 31/3/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar