HUKUM MUSBIL ?
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (QS. Al Ahzab [60] : 21)
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegangteguhlah dengan sunnahku
dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal).
Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR.
Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits
ini hasan shohih. Syaikh
Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
ثلاثة
لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل
والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
“Ada tiga jenis manusia yang tidak
akan diajak biacar oleh Allah pada hari Kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan
disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga siksaan yang pedih. Itulah laki-laki
yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang melariskan
barang dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim, 106)
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)
Larangan Isbal
مَا
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِن الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka
(kaki tersebut).”
الْمُسْبِلُ
وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Orang musbil, orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan
orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad
Darb)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena
sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا
كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ
بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
“Pakaian yang berada di bawah mata kaki, ada di dalam neraka.
Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong,
Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya.”
Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ
أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ إِنَّكَ لَسْتَ :
ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
“Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku
selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR.
al- Bukhari no. 5447)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
memegang otot betisku dan bersabda,
هَذَا
مَوْضِعُ الْإِزَارِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلُ، فَإِنْ أَبَيْتَ، فَلاَ حَقَّ
لِلْإِزَارِ فِيْ الْكَعْبَيْنِ
‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di
bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk
sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan
sahih oleh al-Albani no. 99)
Makna Isbal
Isbal
Adalah Menurunkan Ujung kain Ke Bawah mata kaki. Hukumnya Adalah makruh JIKA TIDAK
DENGAN Maksud sombong Dan haram JIKA DENGAN Maksud sombong. Berikut Pendapat
ulama Mengenai hukum isbal, Yaitu ANTARA Lain:
1. Berkata Qalyubi:
"Disunatkan PADA Lengan baju memanjangnya Sampai
ditunjukan kepada pergelangan serbi Dan PADA Ujung kain Sampai ditunjukan
kepada Separuh betis. Makruh melebihi differences mata
kesemek Dan haram DENGAN Niat sombong ". [1]
2. Berkata An-Nawawi:
"Dhahir hadits Yang membatasi menurun kain DENGAN
adanya Sifat sombong, menunjukkan bahwa hukum haram ITU KHUSUS DENGAN adanya
Sifat sombong". [2]
3.
Berkata an-Nawawi hearts Raudhah al-Thalibin:
"Haram
memanjang pakaian melewati doa mata kesemek DENGAN kesombongan Dan makruh
DENGAN Tanpa kesombongan. TIDAK beda Yang demikian PADA
shalat ATAU lainnya. Celana Dan kain sarung PADA hukum pakaian. " [3]
Berdasarkan Keterangan di differences, Menurunkan Ujung kain
ditunjukan kepada Bawah mata kesemek (isbal), hukumnya Adalah makruh apabila
TIDAK DENGAN sombong Dan haram apabila DENGAN SIKAP sombong.
Isbal Menurut Imam
Madzhab
Madzhab
Maliki
Ibnu ‘Abdil Barr
dalam At Tamhid (3/249) :
وقد ظن قوم أن
جر الثوب إذا لم يكن خيلاء فلا بأس به واحتجوا لذلك بما حدثناه عبد الله بن محمد
بن أسد …. قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : «من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله
إليه يوم القيامة» فقال أبو بكر: إن أحد شقى ثوبي ليسترخي إلا أن أتعاهد ذلك
منه،فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «إنك لست تصنع ذلك خيلاء» قال موسى قلت
لسالم أذَكر عبد الله من جر إزاره،قال لم أسمعه إلا ذكر ثوبه،وهذا إنما فيه أن أحد
شقى ثوبه يسترخي، لا أنه تعمد ذلك خيلاء، فقال له رسول الله صلى الله عليه و سلم:
«لست ممن يرضى ذلك» ولا يتعمده ولا يظن بك ذلك
“Sebagian orang
menyangka bahwa menjulurkan pakaian jika tidak karena sombong itu tidak
mengapa. Mereka berdalih dengan riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Asad
(beliau menyebutkan sanadnya) bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan
dilihat oleh Allah pada hari kiamat’. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi
pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan benar’. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan itu karena
sombong’. Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan
lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengan
hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya‘.
Mazhab
Hambali
Abu Naja Al Maqdisi:
ويكره أن يكون
ثوب الرجل إلى فوق نصف ساقه وتحت كعبه بلا حاجة لا يكره ما بين ذلك
“Makruh hukumnya
pakaian seorang lelaki panjangnya di atas pertengahan betis atau melebihi mata
kaki tanpa adanya kebutuhan. Jika di antara itu [pertengahan betis sampai
sebelum mata kaki] maka tidak makruh” (Al Iqna, 1/91)
Ibnu Qudamah Al Maqdisi :
ويكره
إسبال القميص والإزار والسراويل ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بَرفْع الإزار
. فإن فعل ذلك على وجه الخيلاء حَرُم
“Makruh hukumnya isbal pada gamis, sarung atau sarowil (celana). Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
memerintahkan untuk meninggalkan ketika memakai izar (sarung). Jika melakukan
hal itu karena sombong, maka haram” (Al Mughni,
1/418)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
وإن
كان الإسبال والجر منهياً عنه بالاتفاق والأحاديث فيه أكثر، وهو محرم على الصحيح،
لكن ليس هو السدل
“Walaupun memang isbal dan menjulurkan pakaian itu itu terlarang
berdasarkan kesepakatan ulama serta hadits yang banyak, dan ia hukumnya haram
menurut pendapat yang tepat, namun isbal itu berbeda dengan sadl” (Iqtidha Shiratil Mustaqim, 1/130)
Madzhab
Hanafi
As Saharunfuri :
قال العلماء :
المستحب في الإزار والثوب إلى نصف الساقين ، والجائز بلا كراهة ما تحته إلى
الكعبين ، فما نـزل عن الكعبين فهو ممنوع . فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم
وإلا فمنع تنـزيه
“Para ulama berkata,
dianjurkan memakai sarung dan pakaian panjangnya sampai setengah betis.
Hukumnya boleh (tanpa makruh) jika melebihi setengah betis hingga mata kaki.
Sedangkan jika melebihi mata kaki maka terlarang. Jika melakukannya karena
sombong maka haram, jika tidak maka makruh” (Bazlul Majhud, 16/411)
Dalam kitab Fatawa Hindiyyah (5/333) :
تَقْصِيرُ
الثِّيَابِ سُنَّةٌ وَإِسْبَالُ الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ بِدْعَةٌ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ
الْإِزَارُ فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ إلَى نِصْفِ السَّاقِ وَهَذَا فِي حَقِّ
الرِّجَالِ، وَأَمَّا النِّسَاءُ فَيُرْخِينَ إزَارَهُنَّ أَسْفَلَ مِنْ إزَارِ
الرِّجَالِ لِيَسْتُرَ ظَهْرَ قَدَمِهِنَّ. إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ أَسْفَلَ
مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ
“Memendekkan pakaian (sampai setengah betis) hukumnya sunnah. Dan
isbal pada sarung dan gamis itu bid’ah. Sebaiknya sarung itu di atas mata kaki
sampai setengah betis. Ini untuk laki-laki. Sedangkan wanita hendaknya
menurunkan kainnya melebihi kain lelaki untuk menutup punggung kakinya.
Isbalnya seorang lelaki melebihi mata kaki jika tidak karena sombong maka
hukumnya makruh”
Madzhab
Syafi’i
An Nawawi:
فما نـزل عن
الكعبين فهو ممنوع ، ، فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم وإلا فمنع تنـزيه
“Kain yang melebihi
mata kaki itu terlarang. Jika melakukannya karena sombong maka haram, jika
tidak maka makruh” (Al Minhaj, 14/88)
Ibnu Hajar Al
Asqalani :
وحاصله: أن
الإسبال يستلزم جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء، ولو لم يقصد اللابس
الخيلاء، ويؤيده: ما أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه:
( وإياك
وجر الإزار؛ فإن جر الإزار من المخِيلة
“Kesimpulannya, isbal
itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu merupakan
kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi dengan
riwayat dari Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam
hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menjulurkan pakaian, karena
menjulurkan pakaian itu adalah kesombongan‘” (Fathul Baari, 10/264)
KESIMPULAN
1.
Menjulurkan Ujung kain Yang Menutup Mata
kaki
(isbal) TIDAK membatalkan shalat sebagaimana dipahami Oleh
ulama bermazhab Syafi'i selama ini.
2.
Nafi qabul shalat (TIDAK diterima shalat) Tidak dapat Serta Merta Menjadi Petunjuk sebagai
TIDAK sah shalat ITU.
3.Utamanya tidak melakukan isbal baik dibawah mata kaki maupun lebih diatas setengah betis kaki; haram melakukan isbal yang dilakukan dengan sombong dan makruh jika tidak sombong.
3.Utamanya tidak melakukan isbal baik dibawah mata kaki maupun lebih diatas setengah betis kaki; haram melakukan isbal yang dilakukan dengan sombong dan makruh jika tidak sombong.
Sumber:1.https://rumaysho.com
Catatan Kaki
[1] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 303
[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul
Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 259
[3] An-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, Maktabah
Syamilah, Juz. Aku, Hal. 170
Jakarta 29/3/2016
hukum isbal :
BalasHapushttps://amarmaruf-nahimungkar.blogspot.com/2019/01/celana-muslim-laki-laki-jangan-isbal.html