7 LANGIT DAN 7
MALAIKAT PENJAGA
Telah
diceritakan oleh Ibnu al-Mubarak tentang seorang laki-laki yang bernama Khalid
bin Ma’dan, dimana ia pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal ra., salah
seorang sahabat Nabi Muhammad saw.
“Wahai Mu’adz!
Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang telah engkau dengar langsung dari
Rasulullah saw., suatu hadits yang engkau hafal dan selalu engkau ingat setiap
harinya disebabkan oleh sangat kerasnya hadits tersebut, sangat halus dan
mendalamnya hadits tersebut. Hadits yang manakah yang menurut engkau yang
paling penting?”
Kemudian,
Khalid bin Ma’dan menggambarkan keadaan Mu’adz sesaat setelah ia mendengar
permintaan tersebut, “Mu’adz tiba-tiba saja menangis sedemikian rupa sehingga
aku menduga bahwa beliau tidak akan pernah berhenti dari menangisnya. Kemudian,
setelah beliau berhenti dari menangis, berkatalah Mu’adz: Baiklah aku akan
menceritakannya, aduh betapa rinduku kepada Rasulullah, ingin rasanya aku
segera bersua dengan beliau”
Selanjutnya
Mu’adz bin Jabal ra. mengisahkan sebagai berikut, “Ketika aku mendatangi
Rasulullah saw., beliau sedang menunggangi unta dan beliau menyuruhku untuk
naik di belakang beliau. Maka berangkatlah aku bersama beliau dengan
mengendarai unta tersebut. Sesaat kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke
langit, kemudian bersabdalah Rasulullah saw.:”
“Alhamdulillah,
segala puji hanya bagi Allah yang memberikan ketentuan (qadha) atas segenap
makhluk-Nya menurut kehendak-Nya, ya Mu’adz!”. Aku menjawab, “Labbaik yaa
Sayyidal Mursaliin”.
“Wahai Mu’adz!
Sekarang akan aku beritakan kepadamu suatu hadits yang jika engkau mengingat
dan tetap menjaganya maka (hadits) ini akan memberi manfaat kepadamu di
hadhirat Allah, dan jika engkau melalaikan dan tidak menjaga (hadits) ini maka
kelak di Hari Qiyamah hujjahmu akan terputus di hadhirat Allah Ta’ala!”
“Wahai Mu’adz!
Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan tujuh Malaikat sebelum
Dia menciptakan tujuh lelangit dan bumi. Pada setiap langit tersebut ada satu
Malaikat yang menjaga khazanah, dan setiap pintu dari pintu-pintu lelangit
tersebut dijaga oleh seorang Malaikat penjaga, sesuai dengan kadar dan
keagungan (jalaalah) pintu tersebut.
Maka naiklah
al-Hafadzah (malaikat-malaikat penjaga insan) dengan membawa amal perbuatan
seorang hamba yang telah ia lakukan semenjak subuh hari hingga petang hari.
Amal perbuatan tersebut tampak bersinar dan menyala-nyala bagaikan sinar
matahari, sehingga ketika al-Hafadzah membawa naik amal perbuatan tersebut
hingga ke Langit Dunia mereka melipat gandakan dan mensucikan amal tersebut.
Dan ketika mereka sampai di pintu Langit Pertama, berkatalah Malaikat penjaga
pintu kepada al-Hafadzah: “Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya!(1)
Akulah ‘Shaahibul Ghiibah’, yang mengawasi perbuatan ghiibah (menggunjing orang),
aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal ini melewatiku
untuk menuju ke langit yang berikutnya!”
Kemudian
naiklah pula al-Hafadzah yang lain dengan membawa amal shalih diantara
amal-amal perbuatan seorang hamba. Amal shalih itu bersinar sehingga mereka
melipat-gandakan dan mensucikannya. Sehingga ketika amal tersebut sampai di
pintu Langit Kedua, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, karena
ia dengan amalannya ini hanyalah menghendaki kemanfaatan duniawi belaka! (2)Akulah
‘Malakal Fakhr’, malaikat pengawas kemegahan, aku telah diperintah Rabb-ku
untuk tidak membiarkan amal perbuatan ini melewatiku menuju ke langit
berikutnya, sesungguhnya orang tersebut senantiasa memegahkan dirinya terhadap
manusia sesamanya di lingkungan mereka!”. Maka seluruh malaikat mela’nat orang
tersebut hingga petang hari.
Dan naiklah
al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba yang lain. Amal tersebut demikian
memuaskan dan memancarkan cahaya yang jernih, berupa amal-amal shadaqah,
shalat, shaum, dan berbagai amal bakti (al-birr) yang lainnya. Kecemerlangan
amal tersebut telah membuat al-Hafadzah takjub melihatnya, mereka pun
melipat-gandakan amal tersebut dan mensucikannya, mereka diizinkan untuk
membawanya. Hingga sampailah mereka di pintu Langit Ketiga, maka berkatalah
Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah
amal ini ke wajah pemiliknya!(3) Akulah ‘Shaahibil Kibr’, malaikat pengawas
kesombongan, aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal
perbuatan seperti ini lewat dihadapanku menuju ke langit berikutnya!
Sesungguhnya pemilik amal ini telah berbuat takabbur di hadapan manusia di
lingkungan (majelis) mereka!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah yang lainnya dengan membawa amal seorang hamba yang
sedemikian cemerlang dan terang benderang bagaikan bintang-bintang yang
gemerlapan, bagaikan kaukab yang diterpa cahaya. Kegemerlapan amal tersebut
berasal dari tasbih, shalat, shaum, haji dan umrah. Diangkatlah amalan tersebut
hingga ke pintu Langit Keempat, dan berkatalah Malaikat penjaga pintu langit
kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah,
punggung, dan perut dari si pemiliknya! (4)Akulah ‘Shaahibul Ujbi’, malaikat
pengawas ‘ujub (mentakjubi diri sendiri), aku telah diperintah oleh Rabb-ku
untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku menuju ke langit
berikutnya! Sesungguhnya si pemilik amal ini jika mengerjakan suatu amal
perbuatan maka terdapat ‘ujub (takjub diri) didalamnya!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba hingga mencapai ke Langit
Kelima, amalan tersebut bagaikan pengantin putri yang sedang diiring diboyong
menuju ke suaminya. Begitu sampai ke pintu Langit Kelima, amalan yang demikian
baik berupa jihad, haji dan umrah yang cahayanya menyala-nyala bagaikan sinar
matahari. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya dan
pikulkanlah pada pundaknya! (5)Akulah ‘Shaahibul Hasad’, malaikat pengawas hasad
(dengki), sesungguhnya pemilik amal ini senantiasa menaruh rasa dengki (hasad)
dan iri hati terhadap sesama yang sedang menuntut ilmu, dan terhadap sesama
yang sedang beramal yang serupa dengan amalannya, dan ia pun juga senantiasa
hasad kepada siapapun yang berhasil meraih fadhilah-fadhilah tertentu dari
suatu ibadah dengan berusaha mencari-cari kesalahannya! Aku telah diperintah
oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku untuk menuju
ke langit berikutnya!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang
memancarkan cahaya yang terang benderang seperti cahaya matahari, yang berasal
dari amalan menyempurnakan wudhu, shalat yang banyak, zakat, haji, umrah,
jihad, dan shaum. Amal perbuatan ini mereka angkat hingga mencapai pintu Langit
Keenam. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu ini kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya,
sesungguhnya sedikitpun ia tidak berbelas kasih kepada hamba-hamba Allah yang
sedang ditimpa musibah (balaa’) atau ditimpa sakit, bahkan ia merasa senang
dengan hal tersebut!(6) Akulah ‘Shaahibur-Rahmah’, malaikat pengawas sifat rahmah
(kasih sayang), aku telah diperintahkan Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal
perbuatan seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya!”
Dan naiklah
al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang lain, amal-amal
berupa shaum, shalat, nafaqah, jihad, dan wara’ (memelihara diri dari perkara-perkara
yang haram dan subhat/meragukan). Amalan tersebut mendengung seperti dengungan
suara lebah, dan bersinar seperti sinar matahari. Dengan diiringi oleh tiga
ribu malaikat, diangkatlah amalan tersebut hingga mencapai pintu Langit
Ketujuh. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, pukullah
anggota badannya dan siksalah hatinya dengan amal perbuatannya ini! (7)Akulah
‘Shaahibudz-Dzikr’, malaikat pengawas perbuatan mencari nama-diri (ingin
disebut-sebut namanya), yakni sum’ah (ingin termashur). Akulah yang akan
menghijab dari Rabb-ku segala amal perbuatan yang dikerjakan tidak demi
mengharap Wajah Rabb-ku! Sesungguhnya orang itu dengan amal perbuatannya ini
lebih mengharapkan yang selain Allah Ta’ala, ia dengan amalannya ini lebih
mengharapkan ketinggian posisi (status) di kalangan para fuqaha (para ahli),
lebih mengharapkan penyebutan-penyebutan (pujian-pujian) di kalangan para
ulama, dan lebih mengharapkan nama baik di masyarakat umum! Aku telah
diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini lewat
dihadapanku! Setiap amal perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlash karena
Allah Ta’ala adalah suatu perbuatan riya’, dan Allah tidak akan menerima segala
amal perbuatan orang yang riya’!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba berupa shalat,
zakat, shaum, haji, umrah, berakhlak baik, diam, dan dzikrullah Ta’ala. Seluruh
malaikat langit yang tujuh mengumandang-kumandangkan pujian atas amal perbuatan
tersebut, dan diangkatlah amalan tersebut dengan melampaui seluruh hijab menuju
ke hadhirat Allah Ta’ala. Hingga sampailah dihadhirat-Nya, dan para malaikat
memberi kesaksian kepada-Nya bahwa ini merupakan amal shalih yang dikerjakan secara
ikhlash karena Allah Ta’ala.
Maka berkatalah
Allah Ta’ala kepada al-Hafadzah, “Kalian adalah para penjaga atas segala amal
perbuatan hamba-Ku, sedangkan Aku adalah Ar-Raqiib, Yang Maha Mengawasi atas
segenap lapisan hati sanubarinya! Sesungguhnya ia dengan amalannya ini tidaklah
menginginkan Aku dan tidaklah mengikhlashkannya untuk-Ku! Amal perbuatan ini ia
kerjakan semata-mata demi mengharap sesuatu yang selain Aku! Aku yang lebih
mengetahui ihwal apa yang diharapkan dengan amalannya ini! Maka baginya
laknat-Ku, karena ini telah menipu orang lain dan telah menipu kalian, tapi
tidakklah ini dapat menipu Aku! Akulah Yang Maha Mengetahui perkara-perkara
yang ghaib, Maha Melihat segala apa yang ada di dalam hati, tidak akan samar
bagi-Ku setiap apa pun yang tersamar, tidak akan tersembunyi bagi-Ku setiap apa
pun yang bersembunyi! Pengetahuan-Ku atas segala apa yang akan terjadi adalah
sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang baqa (kekal), Pengetahuan-Ku
tentang yang awal adalah sama dengan Pengetahuan-Ku tentang yang akhir! Aku
lebih mengetahui perkara-perkara yang rahasia dan lebih halus, maka bagaimana
Aku dapat tertipu oleh hamba-Ku dengan ilmunya? Bisa saja ia menipu segenap
makhluk-Ku yang tidak mengetahui, tetapi Aku Maha Mengetahui Yang Ghaib, maka
baginya laknat-Ku!”
Maka berkatalah
malaikat yang tujuh dan 3000 malaikat yang mengiringi, “Yaa Rabbana, tetaplah
laknat-Mu baginya dan laknat kami semua atasnya!”, maka langit yang tujuh
beserta seluruh penghuninya menjatuhkan la’nat kepadanya.
Setelah
mendengar semua itu dari lisan Rasulullah saw. maka menagislah Mu’adz dengan
terisak-isak, dan berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau adalah utusan Allah
sedangkan aku hanyalah seorang Mu’adz, bagaimana aku dapat selamat dan
terhindar dari apa yang telah engkau sampaikan ini?”
Berkatalah
Rasulullah saw., “Wahai Mu’adz! Ikutilah Nabi-mu ini dalam soal keyakinan
sekalipun dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan. Wahai Mu’adz! Jagalah
lisanmu dari kebinasaan dengan meng-ghiibah manusia dan meng-ghiibah saudara-saudaramu
para pemikul Al-Qur’aan. Tahanlah dirimu dari keinginan menjatuhkan manusia
dengan apa-apa yang kamu ketahui ihwal aibnya! Janganlah engkau mensucikan
dirimu dengan jalan menjelek-jelekan saudara-saudaramu! Janganlah engkau
meninggikan dirimu dengan cara merendahkan saudara-saudaramu! Pikullah sendiri
aib-aibmu dan jangan engkau bebankan kepada orang lain”
“Wahai Mu’adz!
Janganlah engkau masuk kedalam perkara duniamu dengan mengorbankan urusan
akhiratmu! Janganlah berbuat riya’ dengan amal-amalmu agar diketahui oleh orang
lain dan janganlah engkau bersikap takabbur di majelismu sehingga manusia takut
dengan sikap burukmu!”
“Janganlah
engkau berbisik-bisik dengan seseorang sementara di hadapanmu ada orang lain!
Janganlah engkau mengagung-agungkan dirimu dihadapan manusia, karena akibatnya
engkau akan terputus dari kebaikan dunia dan akhirat! Janganlah engkau berkata
kasar di majelismu dan janganlah engkau merobek-robek manusia dengan lisanmu,
sebab akibatnya di Hari Qiyamah kelak tubuhmu akan dirobek-robek oleh
anjing-anjing neraka Jahannam!”
“Wahai Mu’adz!
Apakah engkau memahami makna Firman Allah Ta’ala: ‘Wa naasyithaati nasythan!’
(‘Demi yang mencabut/menguraikan dengan sehalus-halusnya!’, An-Naazi’aat
[79]:2)? Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Apakah itu wahai
Rasulullah?”
Rasulullah saw.
bersabda, “Anjing-anjing di dalam Neraka yang mengunyah-ngunyah daging manusia
hingga terlepas dari tulangnya!”
Aku berkata,
“Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Ya Rasulullah, siapakah manusia yang bisa
memenuhi seruanmu ini sehingga terhindar dari kebinasaan?”
Rasulullah saw.
menjawab, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya hal demikian itu sangat mudah bagi siapa
saja yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala! Dan untuk memenuhi hal tersebut,
maka cukuplah engkau senantiasa berharap agar orang lain dapat meraih sesuatu
yang engkau sendiri mendambakan untuk dapat meraihnya bagi dirimu, dan membenci
orang lain ditimpa oleh sesuatu sebagaimana engkau benci jika hal itu menimpa
dirimu sendiri! Maka dengan ini wahai Mu’adz engkau akan selamat, dan pasti
dirimu akan terhindar!”
Khalid bin
Ma’dan berkata, “Sayyidina Mu’adz bin Jabal ra. sangat sering membaca hadits
ini sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Qur’aan, dan sering mempelajari
hadits ini sebagaimana seringnya beliau mempelajari Al-Qur’aan di dalam
majelisnya”.(SUMBER KISAH SUFI)
BY ABI
AZMAN.18/6/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar