HUKUM DAN HIKMAH SHALAT TARAWIH
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam
Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Muqaddimah
Shalat tarawih adalah shalat yang
hukumnya sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Shalat tarawih merupakan shalat malam
atau di luar Ramadhan disebut dengan shalat tahajud. Shalat malam merupakan
ibadah yang utama di bulan Ramadhan untuk mendekatkan diri pada Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Lathoif Al Ma’arif berkata, “Ketahuilah bahwa
seorang mukmin di bulan Ramadhan memiliki dua jihadun nafs (jihad pada jiwa)
yaitu jihad di siang hari dengan puasa dan jihad di malam hari dengan shalat malam.
Barangsiapa yang menggabungkan dua ibadah ini, maka ia akan mendapati pahala
yang tak hingga.”
Sayyidah Aisyah r.a, menerangkan bahwa Rasulullah
s.a.w, melaksanakan shalat malam termasuk di dalamnya shalat tarawih dengan
sebelas rakaat; delapan rakaat tarawih atau tahajud dan tiga rakaat witir.
Riwayat aisyah r.a, yang kedua menyebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat malam tiga belas rakaat; delapan rakaat tarawih atau tahajjud dan lima rakaat witir.Dari kedua riwayat tersebut dapat diambil suatu pemahaman, bahwa jumlah rakaat shalat malam atau shalat tarawih tidak harus sebelas rakaat, bisa juga lebih misalnya tiga belas rakaat, seperti disebutkan dalam riwayat Aisyah r.a, yang kedua.
Riwayat aisyah r.a, yang kedua menyebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat malam tiga belas rakaat; delapan rakaat tarawih atau tahajjud dan lima rakaat witir.Dari kedua riwayat tersebut dapat diambil suatu pemahaman, bahwa jumlah rakaat shalat malam atau shalat tarawih tidak harus sebelas rakaat, bisa juga lebih misalnya tiga belas rakaat, seperti disebutkan dalam riwayat Aisyah r.a, yang kedua.
Dengan demikian yang dimaksud dari
riwayat Aisyah r.a, yang menyebutkan bahwa Nabi s.a.w, tidak pernah shalat
malam lebih dari sebelas rakaat, baik dalam bulan Ramadhan atau bulan-bulan
lain, tidak berarti tidak boleh lebih ari sebelas rakaat.
Hukum Shalat Tarawih
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa
shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berselisih pendapat apakah shalat
tarawih itu afdhol dilaksanakan sendirian atau berjama’ah di masjid. Imam
Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah, juga Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan
sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang afdhol adalah shalat tarawih
dilakukan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan
sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus ikut melaksanakannya
seperti itu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39).
Tata Cara Shalat Tarawih
Shalat tarawih lebih afdhol
dilakukan dua raka’at salam, dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari no.
990 dan Muslim no. 749).
Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi
ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua
raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah
bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam
baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk
salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada
dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja,
maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:30)
Para ulama sepakat tentang
disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun
dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika
itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika istirahat.
(Lihat Al Inshof, 3/117)
Tidak ada riwayat mengenai bacaan
surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam
dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar
meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang
panjang-panjang, maka itu lebih baik. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1:420)
Menutup Shalat Malam dengan Witir
Shalat witir adalah shalat yang dilakukan dengan
jumlah raka’at ganjil (1, 3, 5, 7 atau 9 raka’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat
witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751). Jika shalat witir dilakukan
dengan tiga raka’at, maka dapat dilakukan dengan dua cara: (1) tiga raka’at,
sekali salam [HR. Al Baihaqi], (2) mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu
kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam [HR. Ahmad 6:83].
Dituntunkan pula ketika witir untuk
membaca do’a qunut. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, ” Apa hukum membaca
do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?” Jawaban beliau
rahimahullah, “Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah
sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca
qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat
qunut untuk shalat witir (Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman
‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii
syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu
man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait, -pen) [HR. Abu Daud no. 1425, An
Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464, shahih kata Syaikh Al Albani]. Ini
termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap
malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu
waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak
mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan
untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak
mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada
cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut
pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut
witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb,
2:1062)
Setelah witir dituntunkan membaca,
“Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan mengeraskan suara pada bacaan ketiga (HR. An
Nasai no. 1732 dan Ahmad 3/406, shahih menurut Syaikh Al Albani). Juga bisa
membaca bacaan “Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi
mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik,
anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu
dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung
kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan
kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu
sendiri] (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An Nasai no. 1100 dan Ibnu
Majah no. 1179, shahih kata Syaikh Al Albani)
Pendapat Ulama bilangan Tarawih
Mayoritas ulama terdahulu dan ulama
belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat
malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah
shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa
saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan
banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Apabila dikompromikan dengan riwayat-riwayat lain
seperti riwayat Ibnu Umar r.a, yang menyebutkan bahwa shalat malam itu dua
rakaat � dua rakaat tanpa menyebutkan
jumlahnya, hanya kalau khawatir masuk shubuh segera melaksanakan witir satu
rakaat, menunjukkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih atau shalat malam tidak
harus sebelas, tetapi boleh lebih dari jumlah tersebut. Apalghi kalau dipadukan
dengan kenyataan yang dilakukan para sahabat Nabi dan para tabi'in, mereka
mengerjakan shalat tarawih dengan 20 rakaat , tiga witir dan ada pula yang
mengerjakan sampai 36 rakaat dan 40 rakaat.
Berkata Yazid bin Ruman: "Di zaman Umar bin Khattab, orang-orang melaksanakan shalat malam di bulan ramadhan (shalat tarawih) dengan 23 rakaat " (H.R. Imam Muslim). Ibnu Abbas melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, dengan tidak berjamaah. (H.R. Baihaqy).
Berkata Atho':"Aku jumpai mereka (para sahabat) mengerjakan shalat pada (malam-malam) Ramadhan 23 rakaat dan 3 witir". (H.R. Muhammad bin Nashir).
Berkata Daud bin Qais: "Aku jumpai orang-orang di zaman Abas bin Utsman bin Abdul Aziz (di Madinah), mereka shalat 36 rakaat dan mereka bershalat witir 3 rakaat ". (H.R. Muhammad bin Nashir).
Imam Malik menjelaskan: "Perkara shalat (tarawih) di antara kami (di Madinah) dengan 39 rakaat , dan di Makkah 23 rakaat tidak ada suatu kesulitanpun (tidak ada masalah) dalam hal itu". Al- Tirmidzi menjelakan: "sebanyak-banyak (rakaat) yang diriwayatkan, bahwa Imam Malik shalat 41 rakaat dengan witir". (Bidayatul Hidayah, Ibn Rusyd, hal.152. bandingkan dengan A. Hasan, Pengajaran Shalat, hal. 290-192).
Pada masa Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib r.a, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Para ulama Jumhur (mayoritas) juga menetapkan jumlah shalat tarawih seperti itu, demikian juga al-Tsauri, Ibn al-Mubarok dan al-Syafi'i. Imam Malik memetapkam bilangan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Ibnu Hubban menjelaskan, bahwa shalat tarawih pada mulanya adalah sebelas rakaat. Para ulama salaf mengerjakan shalat itu dengan memanjangkan bacaan, kemudian dirasakan berat, lalu mereka meringankan bacaannya dengan menambah rakaat menjadi 20 rakaat, tidak termasuk witir. Ada lagi yang lebih meringankan bacaannya sedangkan rakaatnya ditetapkan menjadi 36 rakaat, selain witir". (Hasby As-Shiddiqy, Pedoman Shalat, hal. 536-537).
Berkata Yazid bin Ruman: "Di zaman Umar bin Khattab, orang-orang melaksanakan shalat malam di bulan ramadhan (shalat tarawih) dengan 23 rakaat " (H.R. Imam Muslim). Ibnu Abbas melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, dengan tidak berjamaah. (H.R. Baihaqy).
Berkata Atho':"Aku jumpai mereka (para sahabat) mengerjakan shalat pada (malam-malam) Ramadhan 23 rakaat dan 3 witir". (H.R. Muhammad bin Nashir).
Berkata Daud bin Qais: "Aku jumpai orang-orang di zaman Abas bin Utsman bin Abdul Aziz (di Madinah), mereka shalat 36 rakaat dan mereka bershalat witir 3 rakaat ". (H.R. Muhammad bin Nashir).
Imam Malik menjelaskan: "Perkara shalat (tarawih) di antara kami (di Madinah) dengan 39 rakaat , dan di Makkah 23 rakaat tidak ada suatu kesulitanpun (tidak ada masalah) dalam hal itu". Al- Tirmidzi menjelakan: "sebanyak-banyak (rakaat) yang diriwayatkan, bahwa Imam Malik shalat 41 rakaat dengan witir". (Bidayatul Hidayah, Ibn Rusyd, hal.152. bandingkan dengan A. Hasan, Pengajaran Shalat, hal. 290-192).
Pada masa Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib r.a, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Para ulama Jumhur (mayoritas) juga menetapkan jumlah shalat tarawih seperti itu, demikian juga al-Tsauri, Ibn al-Mubarok dan al-Syafi'i. Imam Malik memetapkam bilangan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Ibnu Hubban menjelaskan, bahwa shalat tarawih pada mulanya adalah sebelas rakaat. Para ulama salaf mengerjakan shalat itu dengan memanjangkan bacaan, kemudian dirasakan berat, lalu mereka meringankan bacaannya dengan menambah rakaat menjadi 20 rakaat, tidak termasuk witir. Ada lagi yang lebih meringankan bacaannya sedangkan rakaatnya ditetapkan menjadi 36 rakaat, selain witir". (Hasby As-Shiddiqy, Pedoman Shalat, hal. 536-537).
Shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para
ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya
karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk
witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy
Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat
lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk
witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin
Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih
Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk
witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat
malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin
Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan
sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil
Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Tarawih yang Paling Utama
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk
mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan
boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih
ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”
(HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang
shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di
atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam
shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di
atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika
membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom,
Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Keutamaan Shalat Tarawih
Sudah sepantasnya setiap muslim mendirikan shalat
tarawih tersebut secara berjama’ah dan terus melaksanakannya hingga imam salam.
Karena siapa saja yang shalat tarawih hingga imam selesai, ia akan mendapat pahala shalat semalam penuh. Padahal ia hanya
sebentar saja mendirikan shalat di waktu malam. Sungguh inilah karunia besar
dari Allah Ta’ala. Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga imam
selesai, maka ia dicatat seperti melakukan shalat semalam penuh.” (HR.
Tirmidzi no. 806, shahih menurut Syaikh Al Albani)
Shalat tarawih mengampuni dosa yang telah lewat. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman
dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR.
Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat
tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, 6:39).
Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat dilakukan
karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari
pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya (Lihat Fathul Bari,
4:251). Imam Nawawi menjelaskan, “Yang sudah ma’ruf di kalangan fuqoha bahwa
pengampunan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa kecil, bukan dosa besar.
Dan mungkin saja dosa besar ikut terampuni jika seseorang benar-benar menjauhi
dosa kecil.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:40).
Hikmah Shalat Tarawih Berjama’ah
Pelaksanaan shalat Tarawih secara berjamaah mengandung
beberapa hikmah. Pelaksanaan shalat secara berjamaah dapat menambah pahala bagi pelaksananya sampai 25 atau 27 kali lipat
ganda. Kelipatan pahala berjamaah bertambah lagi karena shalat itu
dikerjakan pada bulan Ramadhan. Di antara keutamaan bulan Ramadhan adalah
pelaksanaan shalat sunat mendapat pahala seperti melaksanakan shalat wajib.
Pelaksanaan shalat berjamaah membuat kehidupan kaum muslimin lebih akrab. Para jamaah saling
bertemu, menyapa dan saling menanyakan keadaan masing-masing. Seorang wali
murid misalnya, dapat menanyakan tentang keadaan anaknya pada seorang guru yang
menjadi jamaah tetap di sebuah masjid.
Para anggota jamaah shalat Tarawih mendengar bacaan imam dengan penuh perhatian mengikuti arahan Alquran: "Apabila
dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat
rahmat."
Mendengar bacaan imam berbeda tingkatan pahalanya. Ada
anggota jamaah hanya mendengar bacaan imam tanpa mengetahui letak kesalahan
bacaan karena berbeda dengan ketentuan Ilmu Tajwid. Ada anggota jamaah yang
mengetahui tata cara bacaan Alquran dan mengetahui artinya.
Terakhir ada anggota jamaah yang menyimak bacaan imam dan
berupaya untuk menerapkan kandungan ayat yang dibaca imam dalam kehidupan
sehari-hari. Dia terus dengan tekun mengikuti bacaan imam dari juz pertama
sampai dengan juz terakhir dan terus berusaha meningkatkan pemahaman dari
bacaan ayat yang didengar dalam shalat Tarawih dari malam pertama hingga malam
terakhir. Hal ini terjadi bila para imam shalat Tarawih hafal Alquran 30 juz
dilakukan secara berganti-ganti.
Pelaksanaan shalat Tarawih secara berjamaah berarti menghidupkan syiar Islam. Syiar
Islam harus dirawat dan dikembangkan dengan cara melaksanakannya sepenuh hati.
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda: "Umat ini terus berada dalam
kebaikan selama mereka mengagungkan syiar Islam dengan sepenuh hati. Seandainya
mereka meremehkan syiar Islam mereka akan binasa."
Syiar Islam yang terwujud dalam pelaksanaan shalat taraweh
adalah kebersamaan semua lapisan
umat dalam melaksanakan ibadat di masjid. Rasa bangga dalam hati sebagai umat
Islam perlu ditumbuhkembangkan pada masa sekarang ini.
Do’a Usai Shalat Tarawih
أَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَئِضِ مُؤَدّيِنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَاعِنْدَكَ طَالِبِيْنَ وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ وَبِالْهُدَى مُتَّسِكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِى الْآ خِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنِ وَلِلنَّعْمَاءِ الشَّاكِرِيْنَ وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ وَتَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ وَ فِى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَمَةِ قَاعِدِيْنَ وَمِنْ حُوْرِعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِسِيْنَ وَاِلَى طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفَّيْنِ شَارِبِيْنَ بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مَنْ مَعِيْنٍ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مَنِ النَّبِيِيْنَ وَالصِّدِّقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلَأْشقِيَاِء الْمَرْدُوْدِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
"Wahai Allah, jadikanlah kami orang-orang yang
imannya sempurna, dapat menunaikan segala fardhu, memelihara shalat,
menegeluarkan zakat, mencari kebaikan di sisi-Mu, senantiasa memegang teguh
petunjuk-petunjukMu, terhindar dari segala penyelewengan-penyelewengan, zuhud
akan harta benda, mencintai amal untuk bekal di akhirat, tabah menerima
ketetapanMu, mensyukuri segala nikmatMu, tabah dalam menghadapi cobaan,dan
semoga nanti pada hari kiamat kami dalam satu barisan dibawah panji-panji Nabi
Muhammad s.a.w, dan sampai pada telaga yang sejuk, masuk dalam surge, selamat
dari api neraka, dan duduk di atas permadani yang indah bersama para bidadari,
berpakaian sutra, menikmati makanan surge, meminum susu dan madu yang murni
dengan gelas, ceret dan sloki (yang diambil ) dari air yang mengalir bersama
orang-orang yang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka dari golongan para
Nabi, orang-orang jujur, para shuhada dan orang-orang yang shalih. Merekalah
teman yang terbaik. Demikianlah karunia Allah s.w.t, dan cukuplah Allah yang
mengetahui. Wahai Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan penuh berkah
ini menjadi orang yang berbahagia dan diterima (amal ibadahnya). Dan janganlah
Engkau jadikan kami sebagaian dari orang-orang yang sengsara dan ditolak (amal
ibadahnya). Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan
kepada NAbi besar Muhammad s.a.w, beserta keluarga dan segenap sahabatnya.
Segala puji milik Allah, Tuhan seru sekalian alam".
BY ABI AZMAN.25/6/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar