PEMIMPIN YANG DIHARAPKAN ?
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali(mu)."(Ali Imran:28)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM."(Al-Maidah:51)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
PEMIMPINMU, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan,
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan
orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika
kamu betul-betul orang-orang yang beriman."(Al-Maidah:57)
Muqaddimah
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam
merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana
kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca
Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada
lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT
dikatakan bahwa Al-qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah
lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan
penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.
“ Telah sempurnalah kalimat
Tuhanmu (Al-qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat
mengubah kalimat-kalimat-Nya.”(Q.S Al-An’am:115).
Kepemimpinan dalam konsep
Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam.
Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada
kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah
melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan
dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya.
Seorang pemimpin harus
mengatahui keadaan umatnya, merasakan langsung penderitaan mereka. Seorang
pemimpin harus melebihi umatnya dalam segala hal: keilmuan dan perbuatan,
pengabdian dan ibadah, keberanian dan keutamaan, sifat dan prilaku, dan
lainnya.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa
seorang pemimpin tidak pantas mendapat petunjuk dari umatnya, seorang pemimpin
harus berpengetahuan dan memperoleh petunjuk sebelum umatnya. Bahkan Al-Qur’an
menegaskan seorang pemimpin harus mendapat petunjuk langsung dari Allah swt,
tidak boleh mendapat petunjuk dari orang lain atau umatnya.
Ciri-ciri
Pemimipinan Menurut Islam
Pemimpin dalam islam mempunyai beberapa ciri-ciri, diantaranya :
a. Niat yang
ikhlas
b. Laki-laki
c. Tidak
meminta jabatan
d. Berpegang dan
konsistan pada hukum Allah
e. Memutuskan
perkara dengan adil
f. Senentiasa
ada ketika diperlukan
g. Menasehati rakyat
h. Tidak menerima hadiah
i. Mencari
pemimpin yang baik
j. Lemah
lembut
k. Tidak meragukan
rakyat
l. Terbuka
untuk menerima idea dan kritikan
Kriteria pemimpin Dalam Al-Qur’an
Para pakar telah lama menelusuri Al-Quran dan
Hadits dan menyimpulkan minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh
seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam
empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
(1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan
bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah,
yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa
yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih
lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat. (3) Fathonah, yaitu kecerdasan,
cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi
persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian
secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya
(akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan)
dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat
yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiyaâ
(21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1).
Kesabaran dan ketabahan. "Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka
sabar/tabah". Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24. Kesabaran dan ketabahan
dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan
syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain
adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran)
tersebut. (2). Mampu menunjukkan jalan
kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S.
Al-Anbiyaâ (21): 73, "Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami".
Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu
gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekedar mengucapkan dan
menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri pribadi kemudian
mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai
kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang
pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang
terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah
membudaya pada diri mereka kebajikan. Lihat Q. S. Al-Anbiyaâ (21): 73,
"Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat".
Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan
telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan
ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.
Pemimpin
Indonesia Baru
Tahun ini
adalah tahun kepemimpinan. Pesta demokrasi 5 tahunan yang menghabiskan dana
kurang lebih 170 Triliyun untuk memilih pemimpin-pemimpin yang mewakili
aspirasi rakyat akan segera dihelat. Alangkah sayang jika dalam Pemilu ini
tidak menghasilkan pemimpin yang tepat. Oleh karena itu, izinkan saya
memberikan gambaran kriteria pemimpin Indonesia nanti.
Pertama, Indonesia butuh sosok pemimpin yang mampu memahami kemajemukan
(pluralistik) bangsa. Plural adalah keadaan di mana perbedaan secara prinsip
tidak bisa dihindarkan, namun keharmonisan hidup wajib dihadirkan. Masyarakat
plural membutuhkan pemimpin yang adil.
Pemimpin yang
adil konteks ini adalah yang menghormati pluralistik secara konsisten dengan
cara yang konsisten. Maksudnya adalah bahwa masyarakat diberikan aturan
sedemikian rupa sehingga saling menghargai prinsip masing-masing tanpa meminta
untuk diikuti, membiarkan prinsip masing-masing tanpa ada motif secara paksa
untuk mempengaruhi.
Jika aturan
tersebut dilanggar atas nama apapun, pemimpin harus tegas memberikan sanksi
hukum yang menjerakan. Maka pemimpin yang seperti inilah yang dibutuhkan oleh
Indonesia.
Kedua, yang harus dimiliki oleh calon pemimpin di Indonesia adalah yang memiliki
determenasi sosial tinggi. Ia mampu membaca peta perubahan sosial Indonesia
maupun dunia.
Yang ketiga, pemimpin Indonesia harus memiliki kapasitas membawa Indonesia menuju
masyarakat yang terjamin pendidikan dan adabnya. Karena pendidikan tanpa adab
hanya akan menghasilkan masyarakat yang tak bermoral. Ujung ujungnya
menghasilkan pemimpin yang banyak gelar tapi miskin hikmah dan rendah moralnya.
Terakhir
pemimpin Indonesia nanti harus memiliki kapasitas membangun Indonesia secara
ekonomi dan geopolitik menuju Indonesia yang mandiri.
Contoh Pemimpin Dalam Al-Qur’an:
Thalut
Alquran
kadang-kadang menyebut pemimpin sebagai “malik” yang bentuk jamaknya adalah
“muluk”. Kata ini diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan pemimpin, penguasa
atau raja. Dari akar kata ini juga diambil kata “al-milk” (kepemilikian), al-mulk
(kerajaan) dan lain-lain.
Biasanya,
kata “malik”ini digunakan untuk Allah seperti malik yawm al-din (Penguasa
hari pembalasan), malik al-nas (Yang Menguasai manusia). Kemudian kata
“malik” ini juga digunakan untuk manusia seperti Thaluta malika (Thalut
sebagai raja), qala al-malik (raja berkata) dan lain-lain.
Menurut Ibn ‘Asyur di dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir
bahwa pengertian “malik” untuk Allah ialah pengelolaan terhadap alam sebagai
bentuk kasih sayang-Nya. Secara global, pengelolaan tersebut dilakukan melalui
perintah dan larangan yang diimplementasikan-Nya melalui syariat. Adapun tujuan
pokoknya yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia baik umum maupun khusus.
Lebih
lanjut Ibn ‘Asyur menjelaskan, bahwa pengertian “malik” untuk manusia adalah
orang yang diberi legitimasi menegakkan keadilan tanpa adanya pilih kasih.
Legitimasi ini diberikan karena pekerjaan “malik” adalah mengatur dan
memelihara rakyat untuk menciptakan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, Allah
menjadikan sebagian manusia menjadi “malik” untuk memimpin manusia.
Di dalam
QS. al-Baqarah ayat 247 (ayat yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini)
menyebutkan bahwa Thalut diangkat Tuhan menjadi “malik” (pemimpin). Di dalam
ayat ini terdapat dua alasan yang dikemukakan oleh Tuhan ketika Thalut diangkat
sebagai raja (pemimpin).
Pertama,
Thalut sudah dianugerahi ilmu yang sangat luas. Adapun ilmu yang dimiliki oleh
Thalut, menurut Abu al-Su’ud dalam tafsirnya Irsyad al-‘Aql, adalah ilmu
yang berkenaan dengan tata negara. Selain ahli dalam ilmu tata negara, Thalut
juga paling mengetahui segala kemaslahatan untuk rakyatnya, demikian disebutkan
al-Baydhawi dalam tafsirnya Anwar al-Tanzil.
Kedua,
Thalut dianugerahi tubuh yang perkasa. Menurut Ibn ‘Adil di dalam tafsirnya al-Lubab
bahwa yang dimaksud dengan tubuh yang perkasa ialah kekuatan. Berdasarkan
komentar Wahbah al-Zuhayli dalam tafsirnya al-Wasith, kekuatan fisik
Thalut ini adalah sebagai bekal baginya melawan musuh di dalam
peperangan.
Keluasan
ilmu dan kekuatan fisik yang terdapat pada Thalut ini patut dijadikan sebagai
kriteria untuk memilih pemimpin yang ideal. Pemimpin harus berilmu luas supaya
mudah memakmurkan rakyatnya, dan juga harus kuat supaya dapat memberantas
tindakan-tindakan yang dapat menghancurkan bangsa. Ilmu dan kekuatan harus
berjalan secara sinergik dan bukan menunjukkan prioritas.
Pemimpin
yang bodoh akan mudah dipengaruhi oleh orang-orang yang punya kepentingan
sehingga tidak dapat membuat kebijakan-kebijakan yang signifikan untuk
kepentingan rakyat. Demikian juga pemimpin yang lemah baik fisik maupun mental
akan mudah dirong-rong oleh orang-orang yang jahat.
Ibn Katsir berkomentar di dalam tafsirnya Alquran al-‘Azhim,
bahwa ayat ini memberikan petunjuk tentang kriteria pemimpin yang ideal seperti
paling cerdas, paling gagah, paling kuat dan paling sabar di dalam peperangan.
Pemimpin ideal dimaksud seharusnya adalah sosok yang memiliki ilmu pengetahuan
dan bentuk tubuh yang serasi serta kekuatan yang dahsyat, baik pisik maupun
jiwanya.
BY ABI AZMAN.
2/6/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar