Di
Kudus pada waktu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk
mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Juga mereka yang
masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya
tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq harus berjuang
menegakkan agama.
Pada
suatu hari Sunan Kusus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat
lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para
pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi
itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan
beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan
Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci
yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang
dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus ?
Apakah
Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru
memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai
hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri
rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah
penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur
yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus membuka
suara. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab
di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang
menyusui saya.”
Mendengar
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden
Jakfar Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan
ceramahnya.
“Salah
satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat
Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin
tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak
dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan
Sunan Kudus.
Demikianlah,
sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan
Kuduspun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah
Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh
dunia karena keanehannya. Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama
Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi,
binatang yang dikeramatkan ummat Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menyaring
ummat Budha.
Caranya?
memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid
berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang
berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca diatasnya.
Hal
ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta
Sanghika Marga” yaitu
1.
|
Harus
memiliki pengetahuan yang benar.
|
2.
|
Mengambil
keputusan yang benar.
|
3.
|
Berkata
yang benar.
|
4.
|
Hidup
dengan cara yang benar.
|
5.
|
Bekerja
dengan benar.
|
6.
|
Beribadah
dengan benar.
|
7.
|
Dan
Menghayati agama dengan benar.
|
Usahanya
itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan
Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu.
Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal
mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti
diketahui bersama Rakyat Jawabanyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan,
selamatan mitoni, neloni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan
upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau
mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga
dan Sunan Muria.
Contohnya,
bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara
selamatan yang disebut yang mitoni sembari minta kepada Dewa bahwa bila anaknya
lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik
seperti Dewi Ratih.
Adat
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan
dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan
sekedar kirim sesaji kepada para Dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk
setempat dan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah
dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf,
dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan
ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur’an.
Berbeda
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan,
kemudian di ikrar hajatkan di ikrarkan oleh sang dukun atau tetua masyarakat
dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan
melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau ditempat-tempat sunyi di
lingkungan rumah tuan rumah.
Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau
mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke
dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni
dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Setelah
masuk masjid, rakyat harus membasuh kakinya dan tangannya di kolam yang sudah
disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat
yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan
Kudus. Beliau hanya bermaksud mengenalnya syariat berwudhu kepada masyarakat
tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya ? Karena iman mereka atau
tauhid mereka belum terbina.
Maka
pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini
masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya
sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat
itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan
menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat
tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu
sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri
ceramahnya.
Cara
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi
ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi
ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu
demikian besar mereka tak perduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus
yaitu membasuh kaki dan tangannya
lebih
dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan
Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati
dan menghormatinya.
Cara-cara
yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung
melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam
tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.(SUMBER
KISAH SUFI)
BY
ABI AZMAN.18/6/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar