PEMIMPIN YANG AMANAH ?
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58-59)
Dan dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(Al-An’am:165)
Muqaddimah
Kepemimpinan
dalam Al-Qur’an disebutkan dengan istilah Imamah, pemimpin dengan istilah imam.
Al-Qur’an mengkaitkan kepemimpinan dengan hidayah dan pemberian petunjuk pada
kebenaran. Seorang pemimpin tidak boleh melakukan kezaliman, dan tidak pernah
melakukan kezaliman dalam segala tingkat kezaliman: kezaliman dalam keilmuan
dan perbuatan, kezaliman dalam mengambil keputusan dan aplikasinya.
Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam sudah
mengatur sejak awal bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi seorang
pemimpin. Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat
kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekedar
kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan
ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124,
"Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah
berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia.
Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt
menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh orang zalim".
Kepemimpinan
adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar
dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang
gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani
rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk
memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang
pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan
kemewahan di dunia.
Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin (imam) adalah seseorang yang ditunjuk untuk memiliki tanggungjawab
memimpin oleh karena kodrat alamiahnya sebagai Manusia.
Kepemimpinan menurut Kreiner adalah proses mempengaruhi orang lain
yang mana seorang pemimpin mengajak anak buahnya secara sukarela berpartisipasi
guna mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan merupakan satu ’seni’ yang mengarah kepada suatu proses untuk menggerakkan
sekumpulan manusia menuju ke suatu tujuan yang telah ditetapkan dengan
mendorong mereka bertindak dengan cara yang tidak memaksa yakni karena mereka
mau melakukannya.
Sifat Pemimpin
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002),
yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang
benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas
(`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah).
Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur
urusan-urusan duniawi.
Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan
memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak
diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti
(kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, "Kami tidak pernah
mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya". dan Q. S. At-Taubah
(9): 129, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan
bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.
Oleh karena itu, dalam pandangan
al-Qur'an, pemimpin yang diangkat
oleh masyarakat sebenarnya berada pada
posisi menerima amanah, sedangkan
masyarakat sebagai pemberi amanah. Tentu
saja, ajaran agama mengatur bahwa
penerima amanah, pada saatnya nanti,
harus mempertanggungjawabkan amanahnya
kepada si pemberi amanah, yaitu pada
"pengadilan" masyarakat di dunia, dan
"pengadilan" Allah swt di
Padang Mahsyar nanti.
Berkenaan dengan pemberian amanah, ada
satu ayat yang cukup
menyentak kita: "Sesungguhnya Kami
telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat zalim dan amat bodoh," QS 33:
72
Sejarah mencatat bahwa Daud bukan saja
Nabi tetapi juga penguasa
kerajaan ("Dan Kami kuatkan
kerajaannya dan Kami berikan kepadanya
hikmahS.QS. 38: 20). Allah
mengisyaratkan bahwa Daud bukan saja dipilih
oleh Allah tetapi juga diangkat oleh
masyarakat. Pada titik ini penafsiran
Imam al-Mawardi, terhadap ayat QS. 4:58,
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat," patut
dikedepankan.
Imam
al-Mawardi,
pengarang al-Ahkam al-Sulthaniyah,
menjelaskan bahwa karena ada yang
memberi amanah dan ada yang menerima
amanah, maka terjalinlah hubungan sosial
diantara kedua belah pihak.
Ratusan tahun setelah Imam Al-Mawardi
wafat, barulah muncul di Barat teori
kontrak sosial yang sebenarnya embrionya
telah dimulai oleh penafsiran
al-Mawardi.
Dr.
Wahbah Az-Zuhaili
dalam at-Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa
amanah yang dimaksud adalah ketaatan
dalam menjalankan kewajiban (taklif)
syar'i, seperti sholat, puasa dan
lainnya. Lebih jauh Az-Zuhaili
menafsirkan bahwa kata amanah dalam ayat
di atas juga mencakup amanah
terhadap harta, menjaga kemaluan,
menjaga pendengaran, penglihatan, lisan
batin, tangan dan langkah kaki.
Kegagalan menerima amanah ini (akibat
manusia itu amat zalim dan amat bodoh)
akan mengakibatkan manusia terbagi
menjadi tiga golongan (sebagaimana
diisyaratkan oleh ayat selanjutnya QS
33: 73): pertama, munafikin, yaitu sebagaimana
digambarkan dalam hadis:
kalau berkata selalu berdusta; kalau
berjanji selalu ingkar; dan kalau
diberi amanah berlaku khianat (Musnad
Ahmad, Hadis Nomor: 6583); kedua,
golongan musyrikin, yaitu golongan yang
baik tersembunyi maupun
terang-terangan telah berlaku syirik dan
menentang Rasul; ketiga Mu'minun,
yang dalam ayat ini digambarkan sebagai
mereka yang diterima taubatnya.
Pemimpin Memikul Tanggung
Jawab
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
- اخرجه البخارى فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah
pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang
laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita
adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang
hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia
kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua
adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya.(Al-Hadits)
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa
seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang
yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan
pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga
kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu
yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami
terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib
bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada
anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam
rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak
menghambur-hamburkannya.
Pemimpin yang agamis
Tentu bagi seorang pemimpin, tetap komitmen dengan
kebenaran memerlukan mujaahadah (kesungguhan), keberanian dan kesabaran yang
jauh lebih besar karena bisa dipastikan dirinya akan berhadapan dengan pihak
yang justru menginginkan tersebarnya kebathilan dan kemaksiatan di
tengah-tengah umat.
1.Memberi Petunjuk Dengan Perintah Allah
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim,
ciri utama yang disebutkan di awal kedua ayat yang berbicara tentang
kepemimpinan ideal adalah bahwa para pemimpin itu senantiasa mengajak rakyatnya
kepada jalan Allah dan kemudian secara aplikatif mereka memberikan keteladanan
dengan terlebih dahulu. Mereka mencontohkan pengabdian dalam kehidupan
sehari-hari yang dicerminkan dengan menegakkan shalat dan menunaikan zakat,
sehingga mereka termasuk kelompok ‘abid’ yang senantiasa tunduk dan patuh
mengabdi kepada Allah Ta’ala dengan merealisasikan ajaran-ajaranNya yang
mensejahterakan.
Tentunya, melahirkan pemimpin yang senantiasa “Memberi
Petunjuk dengan Perintah Allah” tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak
cukup dengan popularitas, pencitraan, kedekatan maupun faktor keturunan dan
seterusnya. Tapi memerlukan episode pembinaan kehidupan yang panjang untuk
mendapatkan kriteria pemimpin ideal.
2.Mereka Mengerjakan Kebajikan
Imam Asy-Syaukani Rahimahullahu dalam Tafsir Fathul
Qadir menambahkan bahwa kriteria pemimpin yang memang harus ada adalah
keteladanan dalam kebaikan secara universal sehingga secara eksplisit Allah
menegaskan tentang mereka: “Telah Kami wahyukan kepada mereka untuk
senantiasa mengerjakan beragam kebajikan”. Fi’lal khairat yang senantiasa
mendapat bimbingan Allah adalah beramal dengan seluruh syariat Allah secara
integral dan paripurna dalam seluruh segmen kehidupan.
Pemimpin sejati harusnya senantiasa berpikir secara
serius bahwa semua kebijakan dan keputusannya dipastikan mampu membawa kebaikan
dalam kehidupan agama umatnya, keluarga, ekonomi, sosial masyarakatnya dan lain
sebagainya. Ia tidak berpikir secara parsial, tetapi berpikir bagaimana
kebaikan tersebut ada dalam semua lini kehidupan masyarakatnya.
3.Mendirikan Shalat
Kenapa ketika menyinggung kriteria seorang pemimpin
menyinggung hal shalat? Karena mengukur kebaikan seseorang yang utama dalam
perspektif islam mau tidak mau haruslah melihat sejauh mana ia melaksanakan
shalat.
Ini penting, karena yang menyampaikan tentang
pentingnya shalat ini adalah Allah Ta’ala sendiri yang mengulang-ulang dalam
banyak ayat alquran ketika menyampaikan kriteria orang mukmin yang beruntung
dan berbahagia.
َدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ{1} الَّذِينَ هُمْ فِي
صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ{2} وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ{3}
وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ{4} وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan
orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya…,” (Al Mu’minun: 1-5)
Begitu juga ketika Allah Ta’ala menyampaikan tentang
kriteria calon penghuni neraka adalah mereka yang meninggalkan shalat.
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ{42} قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ
الْمُصَلِّينَ{43} وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”
Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan
shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin”. (Al Mudattsir: 42-44)
Kalau kita melihat pemimpin sudah tidak pernah
terlihat shalat, maka bagaimana kita berharap ia mampu menunaikan amanahnya
sebagai pemimpin. Padahal shalat adalah amalan pertama kali yang akan diuadit
oleh Allah Ta’ala kelak di akhirat. Hal yang sangat penting ini saja diabaikan,
bagaimana mungkin dirinya dijadikan pemimpin untuk keluarga dan masyarakat
kita?!
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu dia berkata: Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ
لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ
نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ
مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ
تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ
الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal
perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza
berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui-, “Periksalah
shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan
dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah
berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?”
Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan
yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya
semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nasai, dan Ibnu Majah. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’)
Oleh karena itu Umar bin Khatthab Radhiallahu Anhu
begitu sangat selektif dalam memilih atau mengangkat pejabat yang akan
membantunya dalam mensukseskan kepemimpinanya secara kolektif. Beliau hanya
akan mengangkat pejabat yang dikenal kebaikannya secara umum. Bahkan Umar
pernah marah kepada sahabat yang mengangkat pejabat dari orang yang tidak
dikenalnya. Umar bertanya memastikan pengenalannya terhadap seseorang yang
diangkatnya: “Sudahkah kamu pergi bersamanya? Sudahkah kamu bersilaturahmi ke
rumahnya? Sudahkah kamu berbisnis dengannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang
membuka sosok pemimpin yang akan dilantiknya tersebut”.
4. Menunaikan Zakat
Zakat adalah representasi simbol pengorbanan seseorang
apalagi bagi seorang pemimpin. Zakat itu diambil dari orang-orang yang mampu
kemudian dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maknanya,
seorang pemimpin harus berpikir bagaimana cara mendistribusikan kekayaan kepada
mereka yang membutuhkan. Ia berpikir agar kekayaan tidak dimonopoli oleh
pihak-pihak tertentu, tetapi ia berpikir untuk kemakmuran dan kesejahteraan
rakyatnya, salahsatu sumbernya adalah pendistribusian zakat dan sumber-sumber
lainnya.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (At Taubah: 103)
….. وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ……
“Dan dirikanlah shalat, dan bayarlah zakat hartamu”. (An Nisa’: 77)
5.Dan
Hanya Kepada Allah Mereka Selalu Menyembah
Allah Ta’ala berfirman: “Wakanu Lana Abidin”
bukan “Wakanu Abidin” merupakan penegasan bahwa perbuatan baik yang
mereka perbuat lahir dari rasa iman kepada Allah dan jauh dari kepentingan
politis maupun semata-mata malu dengan jabatannya. Maka kata ‘lana (hanya
kepada Kami)’ adalah batasan bahwa hanya kepada dan karena Allah mereka berbuat
kebaikan, membuat kebijakan dan keputusan selama masa kepemimpinannya bahkan
selama hidupnya.
Oleh karena itu, para pemimpin adalah harus dari
hamba-hamba Allah, bukan mereka yang menghamba dunia, jabatan, menghamba
kepentingan asing yang merugikan kaum muslimin dan sebagainya. Ini penting
untuk senantiasa kita perhatikan, karena hidup ini adalah amanah dan pilihan
kita pun adalah amanah. Dan seluruh aktivitas yang kita lakukan di dunia ini,
pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Petunjuk Memilih Pemimpin
Dalam Al Quran, Allah SWT telah memberi petunjuk untuk
memilih pemimpin sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Allah SWT berfirman yang
artinya, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya)”. (QS Al-A’raf: 3)
Oleh karena itu, sebagai hamba Allah SWT yang selalu
berusaha untuk menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya,
tidak pantas melakukan tindakan asal-asalan dalam memilih pemimpin. Tidak
pantas pula memilih pemimpin dengan cara spekulasi atau hanya karena diberikan
uang.
Tapi harus memilih pemimpin dengan penuh
kehati-hatian, dengan kecenderungann akal sehat dan mempertimbangkan dengan
hati nurani. Pililah pemimpin yang benar-benar dapat mengantarkan umat menuju
masyarakat yang rabbani, masyarakat utama yang diridhai Allah Swt yaitu bangsa
yang lebih berkeadilan, bangsa yang mandiri, bangsa yang besar.
Janganlah kita memilih pemimpin dari orang-orang
kafir, sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu) ?” (QS An-Nisa: 144)
Demikian pula jangan memilih orang musyrik atau mereka
yang akan menjadikan agama sebagai bahan ejekan dan permainan. Allah SWT
berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi
buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi
Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.(QS
Al-Maidah: 57)
Allah dan Rasul-Nya telah memberikan garis-garis yang
cukup tegas, tentang kriteria orang-orang yang pantas dipilih menjadi pemimpin
adalah orang beriman dan beramal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat
serta memiliki sifat: Shiddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah (STAF).
Shiddiq, artinya benar atau jujur, Sifat ini merupakan
mahkota kepribadian bagi orang yang mulia sehingga memperoleh limpahan nikmat
dan karunia-Nya. Kejujuran, baik dalam ucapan maupun tindakan, merupakan
indikator dari kwalitas kepribadian seseorang. Sebaliknya orang yang tidak
jujur akan menjadi pecundang, dijauhi, dicemohkan dan akhirnya tidak dipercaya
oleh masyarakat
Tabligh, berarti menyampaikan, yakni menyampaikan
seluruh risalah Ilahi. Seorang muslim yang berakhlak mulia hendaklah senantiasa
menyampaikan kebenaran dengan melakukan tabligh, secara hikmah sesuai firman-Nya
yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.(QS
An-Nahl: 125)
Amanah, artinya benar-benar bisa dipercaya, Jika satu
urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Allah swt berfirman yang artinya: “Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.(QS.
Al-Mu’minum: 8)
Demikian pula Rasulullah bersabda yang artinya:
“Tidak beriman orang yang tidak memenuhi janji” (Hr.
Ahmad dan Ibn Hibban)
Fathonah, artinya kecerdasan. Kecerdasan di sini
memiliki makna yang mendasar dan universal. Maka Fahonah merupakan kecerdasan
yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, yang berarti
pula kecerdasan di atas rata-rata. Dengan demikian pemilik sifat Fathonah tidak
hanya memiliki wawasan yang luas di segala bidang, tetapi juga berpijak pada
landasan ruhaniah yang kokoh.
BY ABI ANWAR. 3/6/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar