MENYAKSIKAN
ALLAH SWT DENGAN HATI
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena
mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu
menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau
berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya ,
menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga
terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh.
Muslim yang memandang Allah ta’ala
dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang
selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid
untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya
selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa
melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang
membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah
ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah
melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin
Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau
menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”.
“Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang
memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya
Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai
oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan,
keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan
perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang
Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap
hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon
pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany
menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla
dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan
hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal
maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada
yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka,
tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar
sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala
perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa
Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di
RumahNya”.
Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam sebuah wawancara menyatakan
bahwa “untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan
pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang
tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus
benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui
rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang
diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah
ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki”.
Tidak semua manusia dapat melihat
Allah dengan hatinya.
shummun bukmun ‘umyun fahum laa
yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka
tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna
, “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka
(oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Orang-orang yang tidak dapat
menyaksikan Allah dengan hatinya atau orang-orang yang buta mata hatinya atau
orang-orang berakhlak buruk maka mereka tidak dapat mengenal Allah dengan
sebenar keagungan-Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Contoh orang-orang yang berakhlak
buruk adalah kaum Yahudi, kaum yang dimurkai Allah sebagaimana firmanNya yang
artinya
“yaitu orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi.” (QS al-Ma’idah
[5]:60)
“Katakanlah: apakah akan Aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi
Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada
yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk
tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah [5]: 60)
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari
Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi
wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda,
“Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang
sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
“Datang seorang pendeta (Yahudi)
kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah di hari kiamat
akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari, seluruh lapisan bumi
dengan satu jari, gunung-gunung dan pepohonan dengan satu jari”. Dalam satu
riwayat mengatakan: “Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggerakan
itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca firmanNya
yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar
keagungan-Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa
“Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau
terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (Musyabbihah). Lalu turunnya firman
Allah: “وما قدروا الله حق قدره” (“Dan tidaklah
mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar [39]:67)
) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (berkeyakinan)
dengan makna dzahir maka “jari Allah” berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash
berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari
sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan
memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini
menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika
diungkapkan “بين أصبعين”, artinya bahwa Allah
sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehendak untuk
“membolak-balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya
telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa
sallam memperbanyak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL QULUB TSABIT QALBI
‘ALA DINIK (Ya Allah, yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas
agamamu). Ia berkata; saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak
balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak
keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah.
Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan jika Allah
berkehendak, Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai
Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi
petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat
dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Sedangkan kaum muslim yang tidak
dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) sehingga tidak mengenal
Allah dengan sebenar keagungan-Nya adalah mereka yang terpengaruh oleh aqidah
kaum Yahudi yakni mereka yang berkata bahwa setiap yang ada harus mempunyai
arah dan tempat sehingga mereka beri’tiqod (berkeyakinan) bahwa Tuhan berada
(bertempat) di atas ‘Arsy. Arsy tidak kosong walaupun Tuhan turun setiap malam
ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Perkataan
mereka “Arsy tidak kosong” menunjukkan bahwa Tuhan mereka berada (bertempat)
dalam ruang di atas ‘Arsy dan mempunyai bentuk sehingga “tidak kosong” ruang di
atas ‘Arsy.
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika
ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa),
Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu,
Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia
tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan
dan segala keserupaan”
Jakarta 9/6/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar